webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Ayah kemana saja...?

Satia segera berbalik badan, pergi semakin menjauhi Erfly dan Cakya. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

Pasya hanya mengekor dibelakang Satia, bahkan Pasya tidak mempunyai keberanian untuk bertanya mengapa Satia mengurungkan niatnya untuk menemui Erfly. Pasya yang lebih tahu seberapa besar Satia mencintai Erfly. Satu-satunya perempuan yang mampu merubah sikap dingin Satia, menjadi begitu perhatian.

Satia selalu meletakkan prioritas Erfly diatas segalanya. Bahkan Satia bersedia meninggalkan pekerjaannya yang demikian penting, jika itu berhubungan dengan kepentingan Erfly.

Satia memilih untuk kembali ke markas sementara, tidak ada satupun yang berani mendekati Satia dengan aura pembunuhnya. Satia memilih duduk sendirian di dalam sebuah ruangan yang disiapkan untuk dirinya, Satia menghisap rakus rokok yang ada di antara jemari tangannya.

Berkali-kali Satia berusaha melupakan pemandangan yang baru saja dilihatnya, akan tetapi tetap saja bayangan itu bermain cantik di pikiran Satia layaknya kaset rusak.

Pasya hanya berdiri mematung di depan daun pintu Satia. Hingga konsentrasinya teralihkan karena suara telfon masuk. Pasya menatap nama yang muncul, sebelum meletakkan telfon di daun telinganya.

"Assalamu'alaikum buk...", Pasya bicara sangat sopan.

"Wa'alaikumsalam, kamu dimana...?", terdengar suara perempuan dari ujung lain telfon.

"Saya ada di kantor kesatuan buk", Pasya bicara dengan jujur.

"Mas Satia...?", suara perempuan di ujung lain telfon kembali bertanya.

"Pak Satia ada pertemuan sejak 2 jam yang lalu, apa ibu mau saya panggilkan...?", Pasya kali ini memilih untuk berbohong.

"G'ak perlu, saya minta tolong kejadian hari ini jangan sampai mas Satia tahu. Saya tidak mau dia khawatir, saya baik-baik saja saat ini", perempuan di ujung lain telfon mengajukan permohonan.

"Baik buk", Satia menjawab sekenanya.

"Terima kasih Pasya", perempuan di ujung lain telfon mengucapkan terima kasih, sesaat sebelum mengucapkan salam untuk mengakhiri hubungan telfon.

Pasya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pasya masih memilih untuk diam mematung di depan daun pintu, menunggu perintah selanjutnya dari atasannya yang sedang mengurung diri di dalam ruangan.

***

Erfly menatap kosong kearah perkemahan, Erfly memilih untuk pulang setelah dokter memastikan dia hanya mendapatkan luka gores.

Erfly menerima telfon yang masuk kedalam HPnya.

"Assalamu'alaikum, ada apa teh...?", Erfly bertanya pelan.

"Wa'alaikumsalam, tadi ada Candra menelfon", Nadhira bicara dari ujung lain telfon.

"Candra...?", Erfly tidak yakin yang dimaksud oleh Nadhira orang yang sama yang sedang dia pikirkan saat ini.

"Candra Wiratama", Nadhira meyakinkan kalau Erfly tidak salah orang.

"Ada apa...?", Erfly bertanya bingung.

"Candra ingin bertemu kamu Len", Nadhira tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

"Bertemu...? Ilen rasa kita tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan Candra. Bahkan kita ada di dua bisnis yang berbeda", Erfly mulai protes.

"Teteh tidak tahu pastinya, apa Candra punya tujuan khusus dibalik keinginannya bertemu kamu dek. Apa... Teteh perlu mencari alasan untuk menolak...", Nadhira tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena Erfly sudah kembali menyela.

"Beritahu tahu Ilen di mana, kalau dia mau ketemu di Lombok, minta dia menunggu 1 bulan", Erfly memberikan keputusan.

"Baik", Nadhira mengiakan. "Dek... Semua baik-baik saja bukan...?!", Nadhira tiba-tiba bertanya diluar dugaan Erfly.

"Maksud teteh...?", Erfly bertanya tidak yakin kali ini.

"Kamu, anak-anak, Satia...", Nadhira sengaja menggantung ucapannya, karena ingin melihat reaksi Erfly.

"Ilen g'ak apa-apa teh", Erfly bicara lirih.

"Saat kamu bilang kamu tidak apa-apa, itu artinya kamu sedang ada apa-apa", Nadhira bicara dengan penuh keyakinan.

"Percuma ya bohong sama teteh", Erfly tersenyum kecut.

"G'ak ada yang jauh lebih mengenal kamu dibanding teteh", Nadhira bicara dengan keyakinan penuh. "Ada apa...?", Nadhira bertanya lembut.

"Cakya ada di sini teh", Erfly bicara dengan nada suara paling rendah.

Nadhira hanya diam tidak merespon ucapan Erfly.

"Tadi... Ilen ketemu Cakya bersama seorang perempuan, sejauh yang Ilen ingat dia Putri anaknya pak Jendral.

Dia perempuan yang baik, Ilen senang Cakya akhirnya menemukan perempuan seperti dia", Erfly mulai bercerita panjang lebar.

"Lalu apa masalahnya...?", Nadhira bertanya to the poin.

"Apa ya...? Ilen senang Cakya bertemu perempuan sebaik dia. Tapi... Apa ya...? Ilen sendiri tidak tahu teh", Erfly bicara berputar-putar.

"Kamu cemburu", Nadhira bicara pelan, akan tetapi kata-kata itu sudah sangat cukup untuk memukul titik kelemahan Erfly.

"Apa... Ini karena jantung Asri...? Hahahaha.... Lagi-lagi jantung ini membuat masalah", Erfly berusaha tertawa renyah.

"Bagaimana kalau kamu benar-benar mencintai Cakya...? Dan bukan hanya karena jantung Asri...?", Nadhira bertanya diluar dugaan Erfly, menyudutkan Erfly seperti tikus yang terjebak di sudut ruangan oleh seekor kucing.

"Teteh bicara apa...? Kita sudah pernah bahas ini berkali-kali. Kita tidak bisa berandai-andai, Ilen pakai jantungnya Asri. Teteh boleh ajukan pertanyaan itu lagi, saat Ilen tidak memakai jantung Asri lagi, Ilen akan pikirkan ucapan teteh", Erfly menjawab dengan candaannya, kemudian tertawa renyah.

"Len... Ada...", Nadhira tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Erfly sudah kembali menyela.

"Sudah magrib teh, Ilen tutup dulu. Assalamu'alaikum", Erfly mengakhiri hubungan telfon secara sepihak.

"Wa'alaikumsalam...", Nadhira menjawab enggan.

Erfly menatap jam yang ada di dinding, sudah hampir isya, Satia masih belum ada kabarnya.

Erfly menekan nomor Satia, setelah menunggu beberapa saat, tidak kunjung ada yang menjawab. Erfly kembali menelfon Pasya.

"Assalamu'alaikum buk ada apa...?", Pasya bertanya sangat sopan.

"Wa'alaikumsalam... Em... Saya mau minta tolong", Erfly bicara lirih.

"Iya buk", Pasya menjawab santun.

"Tolong pastikan mas Satia tidak melewatkan jam makannya", Erfly bicara pelan.

"Baik buk", Pasya menjawab dengan penuh keyakinan.

"Terima kasih Pasya, assalamu'alaikum", Erfly mengakhiri hubungan telfon.

"Jangan sungkan buk, wa'alaikumsalam", Pasya menjawab pelan.

***

Wajah Satia melunak setelah mendengar percakapan Pasya dan Erfly, saat panggilan Erfly masuk Pasya sedang duduk tepat dihadapan Satia. Pasya sengaja membuat mode speaker, agar Satia bisa mendengarkan semuanya.

"Maaf pak, sepertinya bu Ilen khawatir. Apa tidak sebaiknya bapak pulang...?", Pasya bertanya dengan nada suara paling rendah, matanya bahkan tidak berani menatap kearah Satia.

"Saya butuh waktu", Satia menjawab singkat, kembali menghisap dalam rokoknya.

"Kalau begitu saya keluar dulu, bapak mau makan apa...? Sekalian saya belikan", Pasya tidak berani mengambil resiko melanjutkan percakapannya dengan Satia.

"Apa saja", Satia menjawab sesingkat mungkin.

"Kalau begitu, saya permisi dulu pak", Pasya segera pamit, meninggalkan Satia dengan aura pembunuhnya.

Sudah dua hari setelah kejadian di rumah sakit, Satia memilih untuk mengurung diri di ruangan sementara yang telah disiapkan oleh kesatuan khusus. Semua pekerjaan langsung diambil alih oleh Pasya selaku tangan kanan Satia. Tidak ada satupun yang berani mendekati pintu ruangan Satia, kecuali Pasya yang sekali-kali masuk menemui Satia. Itupun Satia bicara tidak pernah lebih dari 3 kata, semakin membuat Pasya merasa frustrasi menghadapi atasannya yang satu ini. Kalau mau jujur, Pasya lebih memilih untuk di hukum mati dari pada harus menghadapi aura pembunuh Satia.

Satia keluar dari ruangannya setelah 50 jam berdiam diri di dalam ruangannya. Satia memutuskan untuk pulang melihat keadaan si kembar, sesuai jadwal perkemahan selesai hari ini.

Sesampainya dirumah, Satia disambut si kecil Erfly yang langsung berlari menyerbu kepelukan Satia.

"Ayah kemana saja...?", si kecil Erfly merangkul manja dalam pelukan Satia.

"Ada kerjaan", Satia menjawab lembut, kemudian mengecup kening Erfly kecil.

"Abang sama kakak dimana...?", Satia bertanya lembut.

"Di kamar, lagi istirahat", Erfly kecil menjawab pelan.

"Tolong bilangin, siapin barang-barangnya. Si kembar sama bunda pulang duluan, ayah masih ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan", Satia memberi perintah.

Erfly kecil langsung berlari menuju kamar kembarannya, saat ayahnya sudah mengeluarkan ucapan itu perintah untuk mereka, tidak ada satupun yang bisa membantah.

"Mas... Ada apa...?", Erfly yang mendengar ucapan Satia bertanya bingung, bukankah rencana awal mereka akan berada disini selama sebulan. Mengapa tiba-tiba Satia berubah fikiran, bahkan Satia tidak pulang selama 2 hari.

"Mas...", Erfly berusaha meraih jemari tangan Satia.

Akan tetapi Satia langsung berdiri, berlalu menghilang di balik daun pintu kamar.

"Astagfirullah halazim...", Erfly berusaha menenangkan diri.