webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

G'ak pernah ada yang namanya mantan anak

Cakya menghabiskan waktu bersama Erca hingga matahari terbenam. Ayah dan anak itu tidak banyak mengeluarkan suara, hanya duduk diam membisu menghirup rakus udara yang demikian segar.

Kemudian memutuskan untuk pulang, sepanjang perjalanan Cakya dan Erca hanya fokus kepada jalanan. Cakya langsung mengantarkan Erca pulang kerumah ibunya, Cakya sampai didepan rumah tepat saat azan isya berkumandang.

"Papa... G'ak mau masuk dulu...?", Erca bertanya penuh harap.

"Lain kali ya nak", Cakya menjawab pelan, sembari menerima helm dari tangan Erca.

"Papa hati-hati pulangnya", Erca akhirnya memutuskan untuk tidak mempersulit ayahnya.

Erca meraih jemari tangan kanan Cakya, kemudian menyalaminya dengan penuh rasa takzim.

"Papa pulang ya, assalamu'alaikum", Cakya mengucap salam sebelum berlalu pergi dari hadapan Erca.

"Wa'alaikumsalam", Erca menjawab lirih. Erca memutuskan untuk melihat ayahnya hingga menghilang dari pandangannya.

"Erca... Kamu sudah pulang nak...?", ibunya muncul dari balik daun pintu.

Erca segera meraih tangan kanan ibunya, kemudian melakukan salim seperti biasanya.

"Mama... Mau kemana...?", Erca bertanya pelan.

"Mama ada kelas sampai jam 10 nak", Nanya menjawab dengan penuh keraguan.

"Erca ikut mama boleh...?", Erca bertanya dengan suara paling rendah.

"Tapi... Mama takut kamu bosan sayang. Mama antar kamu ke rumahnya oma Mayang saja bagaimana...?", Nanya kembali menawarkan.

"Erca ikut mama saja. Nanti Erca bisa tunggu di mobil saja. Erca malas dirumah sendirian. Lagian... Erca g'ak enak kalau harus merepotkan oma Mayang dan opa Gama", Erca bicara dengan suara paling pelan, nyaris seperti sedang berbisik.

"Ya sudah sayang, kalau kamu maunya seperti itu", Nanya memutuskan untuk mengalah, Nanya segera mengunci pintu rumahnya, kemudian masuk kedalam mobil.

Nanya mengendarai mobilnya dengan sangat pelan, sesampainya di kampus. Nanya kembali menatap wajah putranya.

"Kamu benar tidak mau masuk saja sayang...?", Nanya bertanya bimbang.

"Erca disini saja ma. Tadi... Erca lihat ada yang jualan juga di depan kampus. Erca mau cari makan saja nanti disana", Erca bicara pelan.

"Kamu mau makan apa sayang...? Biar mama minta tolong satpam saja yang belikan", Nanya kembali menawarkan.

"G'ak usah ma, Erca baik-baik saja. Mama mengajar saja dengan tenang", Erca kembali menolak.

"Ya sudah, kalau ada apa-apa kamu telfon mama ya sayang", Nanya bicara pelan.

Erca hanya mengangguk pelan.

Nanya mengecup lembut kening Erca, kemudian keluar dari mobil menuju ruang kelas.

"Om Tio...", Erca berteriak begitu melihat Tio yang baru saja mau menaiki motornya, Erca segera keluar dari mobil.

"Kenapa kamu disini...?", Tio bertanya dengan kening berkerut.

"Ikut mama mengajar. Om Tio... Kuliah...?", Erca malah balik bertanya.

"Baru saja selesai kelas, rencananya mau pulang ini", Tio menjawab santai.

"Om Tio sudah makan belum...? Kalau belum temenin Erca makan", Erca langsung memasang jurus mata anjing.

"Kamu mau makan apa...? Om Tio beliin, kamu tunggu di mobil saja", Tio langsung menengahi.

"Apa ajalah Om", Erca menjawab pelan.

"Ya udah, Om ke depan dulu. Kamu tunggu di dalam mobil saja. Om g'ak akan lama kok", Tio kembali memberi perintah.

Tio menghilang dalam sekejap mata, kembali hanya dalam hitungan menit. Tio mengetuk kaca mobil, Erca segera membuka pintu mobil.

Tio menyodorkan sepiring nasi goreng gila ketangan Erca. Kemudian Tio mencari posisi duduk yang nyaman. Erca sengaja memilih duduk di bangku penumpang di belakang supir.

"Terima kasih Om", Erca bicara pelan, menerima sepiring nasi goreng gila dari tangan Tio.

"Om g'ak makan...?", Erca bertanya bingung, karena Tio hanya membawa satu piring nasi goreng saja.

Belum juga Tio menjawab, terdengar suara ketukan pada kaca mobil, Tio menurunkan kaca mobil dengan segera. Kemudian menerima semangkok mie ayam, dan 2 botol air mineral.

"Om lagi malas makan nasi", Tio menjawab pelan. Tanpa aba-aba langsung menyantap mie ayamnya.

"Gimana sekolah kamu...?", Tio bertanya setelah menelan makanan yang memenuhi mulutnya.

"Sejauh ini g'ak ada masalah Om", Erca menjawab seperti orang dewasa saja.

"Kamu ini, kadang om sering lupa bicara sama anak 10 tahun. Omongan kamu itu tidak seperti anak seusia kamu", Tio mengacak rambut Erca.

"Om bukan orang yang pertama ngomong seperti itu", Erca menjawab santai.

"Oh iya, Om hampir lupa. Kemarin pelatih silat nanyain kamu, kenapa sudah lama tidak latihan", Tio bertanya pelan.

"Erca habis seleksi jalan santai Om", Erca menjawab pelan, kemudian memasukkan suapan besar nasi goreng gila ke dalam mulutnya.

"Wah... Kemajuan ini keponakan Om. Udah lulus seleksi panjat tebing, sekarang malah ikut seleksi jalan santai. Hebat...", Tio mengacungkan dua jempolnya kearah Erca.

"Erca mengundurkan diri dari panjat tebing om", Erca menjawab dengan suara paling pelan.

"Lho... Kenapa...?", Tio bertanya bingung.

"Gara-gara kakaknya Om sama mama lagi perang dingin. Mana bisa konsentrasi Erca latihan. Dari pada mengganggu yang lain, mending Erca yang mundur om", Erca menjawab santai.

Tio kembali mengacak rambut Erca, "Kamu selalu selangkah di depan Om cara berfikirnya. Coba saja Om bisa seperti kamu, Om g'ak akan...", Tio memutuskan untuk tidak melanjutkan ucapannya.

"G'ak akan apa Om...?", Tio kembali mengejar jawaban.

"G'ak apa-apa, cepat habiskan makanan kamu", Tio segera mengalihkan topik pembicaraan.

"Kamu pernah ketemu papa kamu...?", Tio tiba-tiba bertanya pelan.

"Baru tadi ketemu di gunung Om, malah Erca pulang diantar papa sehabis isya tadi", Erca menjawab dengan mulut yang penuh makanan.

***

Cakya duduk di meja makan setelah mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Wulan yang melihat Cakya duduk di meja makan, langsung menghampiri Cakya.

"Abang mau makan...? Wulan ambilkan piring", Wulan menawarkan.

Cakya hanya mengangguk pelan.

Wulan segera menghilang menuju dapur mengambil piring, gelas dan sendok untuk Cakya.

Wulan memasukkan nasi kedalam piring, kemudian menyerahkan ketangan Cakya.

"Mama mana...?", Cakya bicara pelan, melirik kiri kanan.

"Kerumah Om Gama. Ada anak temannya mama yang mau menitipkan anaknya di kosannya Om Gama", Wulan menjawab apa adanya.

"Papa sakit. Kena struk. Dia g'ak bisa bangun dari tempat tidur", Cakya bicara kata perkata dengan sangat hati-hati.

Wulan tidak menjawab, akan tetapi air matanya mulai menyerbu ingin keluar.

"Terus apa hubungannya dengan Wulan", Wulan berusaha keras untuk tidak menangis, Wulan hanya mampu tertunduk di hadapan Cakya.

"Kamu masih marah sama papa...?", Cakya berusaha menyelidiki, kemudian memasukkan suapan besar kedalam mulutnya.

"Wulan... Abang sendiri bagaimana...? Apa sudah tidak marah sama papa...?", Wulan kali ini malah memilih untuk menyerang balik Cakya.

"Abang g'ak pernah marah sama papa", Cakya bicara lirih.

"Bohong", Wulan menjawab sengit.

"Abang tidak pernah marah sama papa. Kecewa iya", Cakya kembali menambahkan.

"Assalamu'alaikum", Tio muncul dari balik daun pintu.

"Wa'alaikumsalam", Cakya dan Wulan menjawab hampir bersamaan.

"Tio duduk", Cakya memberi perintah, begitu Tio selesai membuka sepatunya.

"Tio sudah makan bang", Tio menjawab santai.

"Duduk, abang mau ngomong", Cakya kembali memberi perintah.

Tio tidak membantah, malah duduk tepat di samping Wulan.

Cakya segera menyelesaikan makannya, kemudian mendorong piringnya kesamping. Setelah minum, Cakya menatap kedua adiknya.

"Papa struk. G'ak bisa bangun dari tempat tidur. Tapi... Setiap hari papa selalu menangis, dia coba panggil nama kita. Mungkin dia kangen sama kita", Cakya bicara dengan nada suara paling pelan.

"Tio g'ak mau ketemu papa", Tio tiba-tiba bicara diluar dugaan.

"Wulan juga bang", Wulan malah menimpali ucapan Tio.

"G'ak pernah ada yang namanya mantan anak", Cakya mengucapkan kata perkata dengan penuh penekanan.