webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Kita mulai dari awal

"Kamu tenang dek, iya... kita langsung pulang sekarang", Satia bicara dengan nada suara paling rendah.

Hatinya terasa terhiris melihat air mata Erfly tumpah lagi. Dan lagi-lagi karena orang yang sama.

Erfly memperbaiki posisi duduknya, Satia menyusul masuk kedalam mobil. Satia meraih HPnya begitu duduk di dalam mobil, jemari Satia menari diatas kipet HP.

"Maaf ko, bisa langsung ke rumah sakit DKT...?", Cakya bertanya pelan.

Alfa hanya mengangguk pelan tanpa bertanya lagi.

Hanya butuh 10 menit Alfa sudah parkir di halaman parkir rumah sakit DKT.

Satia mengangkat tubuh Erfly dengan kedua tangannya, Erfly memilih memeluk Satia, menyembunyikan wajahnya sehabis menangis.

Begitu Satia turun dari mobil, Satia sudah di sambut oleh beberapa anggota TNI. Satia hanya menganggukkan kepalanya begitu mereka memberi hormat.

Satia diarahkan langsung ke atap rumah sakit, sebuah helikopter sudah menunggu kedatangan mereka. Satia segera membawa Erfly masuk kedalam helikopter, memastikan Erfly bisa duduk dengan nyaman selama perjalanan.

Satia kembali turun setelah memastikan Erfly telah duduk dengan nyaman.

"Alfa... Boleh bicara sama Erfly...?", Alfa bicara penuh keraguan.

Satia hanya mengangguk pelan. Kemudian Satia menghampiri anggota TNI yang masih setia menunggu helikopter lepas landas.

"Sampaikan ucapan terima kasih saya sama pak Jendral, sudah mengizinkan memakai landasan rumah sakit lagi", Satia bicara dengan wibawanya.

"Siap pak Jendral, salam dari pak Jendral. Beliau minta maaf tidak bisa kesini, karena beliau sedang ada tugas di perbatasan", salah satu anggota bicara pelan.

Satia hanya mengangguk pelan. Kemudian beralih ke Nazwa yang berdiri sendirian agak menjauh dari helikopter.

"InsyaAllah besok barang-barangnya saya paketkan ke Lombok", Nazwa bicara pelan, begitu Satia mendekat.

"Terima kasih sebelumnya, maaf harus pamit seperti ini", Satia merasa tidak enak karena harus pergi dengan cara seperti ini.

***

Begitu Alfa masuk kedalam Helikopter, Alfa disuguhi pemandangan Erfly yang bersandar di kaca helikopter, bahkan matanya tertutup rapat.

Alfa duduk dihadapan Erfly, "Dek...", Alfa bicara dengan suara paling rendah.

Erfly membuka matanya, begitu melihat Alfa yang berada di hadapannya saat ini, Erfly memperbaiki duduknya agar lebih sopan berbicara dengan Alfa.

"Koko minta maaf dek...", Alfa bicara dengan nada suara paling rendah.

"G'ak apa-apa ko", Erfly bicara pelan.

"Gara-gara koko kamu jadi...", Alfa tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Erfly kembali menyela.

"Ini bukan kesalahan koko", Erfly segera menyela.

"Koko...", Alfa bicara lirih.

"Erfly baik-baik saja ko", Erfly kembali meyakinkan Alfa.

"Alfa minta maaf", Alfa bicara tertunduk.

"Justru Erfly yang harusnya minta maaf, Erfly jadi merusak acara spesial koko", Erfly bicara lirih.

"Koko baik-baik saja dek", Alfa bicara pelan. "Barang-barang kamu koko paketkan besok saja ya dek, ke Lombok", Alfa kembali menambahkan.

"G'ak usah, koko bawa aja ke Lombok", Erfly bicara pelan.

"Maksudnya...?!", Alfa bertanya bingung.

Erfly meraih HPnya, kemudian mengetik sesuatu.

"Cek HPnya", Erfly memberi perintah.

Alfa melihat HPnya dengan segera, membaca dengan teliti wa yang baru saja masuk dari Erfly.

Alfa tertawa renyah, "Kapan kamu menyiapkan semua ini dek...?", Alfa bertanya tidak percaya.

"Sebelum berangkat kesini, Erfly sudah meminta teh Nadhira untuk menyiapkan semuanya. Hitung-hitung bulan madu ko", Erfly bicara pelan.

"Terima kasih dek", Alfa bicara disela senyumnya.

Alfa memutuskan untuk turun dari helikopter, Alfa disambut oleh Satia tepat di bawah tangga.

"Terima kasih ko atas semuanya", Satia bicara lirih.

Alfa hanya tersenyum, "Aku titip Erfly. Kamu harus lebih sabar menghadapi dia", Alfa kembali mengingatkan Alfa.

Satia melemparkan senyuman terbaiknya kepada Alfa, Satia memeluk singkat Alfa, kemudian masuk kedalam helikopter. Duduk di samping Erfly, helikopter perlahan mulai mengudara.

Erfly tiba-tiba melingkarkan tangannya kelengan Satia, merebahkan kepalanya di pundak Satia.

"Erfly minta maaf mas, selalu saja ngerepotin mas", Erfly bicara pelan, matanya tertutup rapat, tidak punya keberanian untuk menatap wajah Satia.

Satia memutar tubuhnya hingga bisa menatap lekat wajah Erfly. "Kita mulai dari awal", Satia bicara dengan suara paling rendah.

***

Cakya memilih untuk ke gunung, menyendiri menenangkan pikirannya. Begitu Cakya keluar dari hutan belantara, Cakya melihat seluet punggung seseorang yang dia kenal dengan sangat baik.

Cakya melangkah perlahan, mendekati danau gunung tujuh. Merendam kakinya ke air danau seperti biasanya.

"Kamu sudah lama disini nak...?", Cakya bertanya pelan.

Erca mengalihkan tatapannya, menatap wajah ayahnya yang berada beberapa meter di hadapannya.

"Erca berangkat pakai mobil pertama yang menuju balai", Erfly menjawab santai.

"Bagaimana kabar ibu kamu...?", Cakya kembali bertanya dengan suara yang hampir tenggelam.

"Alhamdulillah mama udah pulih dengan baik, mama lagi ke kampus", Erca menjelaskan pelan.

"Kampus...? Kenapa...?", Cakya bertanya bingung, kemudian melangkah mendekati Erca.

Erca segera meraih jemari tangan Cakya, kemudian menciumnya dengan penuh rasa takzim.

"Mama dapat tawaran mengajar lagi. Kemarin temannya mama datang kerumah, rektor minta mama kembali mengajar. Karena ada salah satu dosen yang mengundurkan diri, pindah keluar kota ikut suaminya", Erca menjelaskan panjang lebar.

"Alhamdulillah, setidaknya ibu kamu jadi ada kegiatan", Cakya merespon dengan suara paling rendah.

"Papa sendiri bagaimana...?", Erca tiba-tiba bertanya.

"Papa...? Memangnya ada apa sama papa...?", Cakya bertanya bingung.

"Hati papa sudah baik-baik saja...?", Erca bertanya lirih.

"Tahu apa kamu soal hati papa", Cakya tertawa geli mendengar ucapan putranya yang seperti orang dewasa saja.

"Erca tahu, papa menikah sama mama bukan karena saling suka. Mama mungkin iya suka sama papa, tapi... Erca rasa papa tidak demikian ke mama. Ada orang lain yang menghalangi papa sama mama", Erca mengucapkan kata perkata dengan penuh penekanan.

"Dasar bocah sok tau kamu", Cakya kembali tertawa pelan.

"Kalau papa sama mama menikah karena saling suka, papa tidak akan segampang itu melepaskan mama", Erca kembali memberikan pukulan telak kepada ayahnya sendiri.

Cakya hanya diam membisu kali ini, tidak tahu harus merespon apa tentang ucapan putra semata wayangnya ini.

"Oh iya, papa pernah kerumah oma g'ak...?", Erca tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

Cakya hanya menggeleng pelan, dengan kening berkerut. Karena Cakya tidak tahu pasti siapa yang Erca maksud.

"Kan lusa kemarin baru ketemu", Cakya menebak yang dimaksud oleh Erca adalah Mayang.

"Oma Londo", Erca kembali menegaskan, kalau yang dia maksud bukannya Mayang, melainkan istri tua ayahnya Cakya.

"Ehem... Papa... Lagi sibuk, ntar kalau ada waktu Papa... Kesana", Cakya bicara terbata-bata.

"Erca ikut seleksi jalan santai. Rutenya kemarin melewati depan rumah Oma Londo, kebetulan oma Londo sedang menyiram tanamannya.

Oma Londo bilang, sejak pulang kerumah kakek sakit. Dia sama sekali tidak bisa bangun dari tempat tidur", Erca bicara panjang lebar. Melihat Cakya tidak merespon sama sekali, Erca kembali melanjutkan ucapan selanjutnya.

"Selesai seleksi, Erca mampir ke rumah oma Londo. Kakek sudah kurus sekali, kata oma Londo kakek kena struk. Jadi tidak bisa kemana-mana, hanya berbaring diatas tempat tidur saja.

Kata oma Londo, kakek tidak bisa bicara dan susah bergerak. Tapi... Setiap hari kakek hanya menangis, memegang foto papa, Ounty Wulan dan Om Tio.

Sering kali kakek berusaha nyebut nama papa. Sepertinya kakek kangen sama papa, Ounty dan Om", Erca bicara dengan suara paling pelan, menatap lekat wajah ayahnya yang tepat berada disampingnya.