Candra memutuskan untuk kembali kekamarnya, menunggu waktu magrib. Candra memilih untuk mandi, menyirami kepalanya agar lebih dingin dan merasa tenang. Setelah mandi, Candra meraih HPnya yang sudah bernyanyi nyaring diatas meja.
"Assalamu'alaikum mbak...", Candra bicara pelan.
"Wa'alaikumsalam... Gimana liburan kamu dek...?", Sinta memulai pembicaraan dengan basa-basinya.
"Ada apa mbak...?", Candra bertanya lembut. Candra sudah sangat mengenal Sinta, tidak mungkin kalau Sinta menelfonnya tiba-tiba kalau tidak ada sesuatu yang gawat.
Candra sudah cukup lelah menghadapi sikap Dirga, yang selalu bisa menguras emosinya, masih dengan tema yang sama 'Malaikat kecil dan Tasya'. Candra tidak pernah mengerti bagaimana jalan pikiran Dirga, dia tidak pernah mau mengakui kesalahannya, akan tetapi tidak rela, kalau Tasya dan malaikat kecil menjalani kebahagiaan tanpa dirinya.
"Rumah karyawan kita yang di Jambi mengalami kebakaran dek", Sinta bicara dengan nada suara sepelan mungkin, Sinta tidak ingin Candra kaget.
"Ada korban...?", Candra bertanya seketika, memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
"Alhamdulillah nya g'ak dek", Sinta menggantung ucapan selanjutnya.
"Alhamdulillah...", Candra mengucap syukur, karena tidak ada korban. "Lalu...?", Candra kembali bertanya, Candra membaca dari nada suara Sinta yang bergetar, masih ada yang belum dia sampaikan.
"Tapi... Perumahan habis dek, untuk sementara karyawan mengungsi ke masjid terdekat", Sinta menjelaskan dengan perlahan.
"Nanti Candra telfon lagi mbak, assalamu'alaikum", Candra bicara pelan, kemudian menutup hubungan telfon.
"Wa'alaikumsalam...", Sinta tidak berani melanjutkan ucapan selanjutnya lagi.
Candra langsung mengetuk pintu kamar Tasya. Tidak perlu menunggu lama, Tasya muncul di balik daun pintu.
"Kenapa Cand...?!", Tasya bertanya pelan, melihat muka Candra yang terlihat panik.
"Malaikat kecil tidur kak...?", Candra bertanya pelan, kemudian duduk di bangku teras yang tersedia.
"Baru saja, mungkin dia kecapean, habis main seharian", Tasya menjawab disela senyumnya, kemudian duduk di samping Candra.
"Hem...", Candra menggumam pelan. Kepalanya manggut-manggut perlahan.
Kemudian mengeluarkan rokok dari kantong bajunya, menyalakan sebatang rokok, kemudian menjepit diantara jemari tangan telunjuk dan jari tengah kanannya, Candra menghisap perlahan rokok yang telah dinyalakannya.
Tasya meraih jemari tangan Candra yang ada dihadapannya, "Ada apa Cand...?", Tasya bertanya lembut.
"G'ak ada apa-apa kak", Candra kembali menghindar, dia tidak mau Tasya ikutan cemas.
"Kamu yakin...?", Tasya kembali bertanya tidak yakin dengan jawaban Candra sebelumnya.
Candra memaksakan bibirnya untuk tersenyum, "Em... Kak Tasya sama malaikat kecil besok... Pulang sama teman Candra g'ak apa-apa kak...?", Candra bertanya pelan, nada suaranya terdengar begitu ragu-ragu.
"Kamu mau kemana memangnya...?", Tasya kembali bertanya.
"Itu kak... Candra lupa, Candra harus berangkat ke Jambi malam ini. Candra ada rapat direksi besok dengan perusahaan cabang disana", Candra cengengesan. Berusaha menghilangkan jejak kekhawatiran diwajahnya.
"Astagfirullah Cand... Kamu itu. Tahu gitu kita langsung pulang aja tadi", Tasya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Candra.
"Maaf kak, Candra lupa. Barusan mbak Sinta nelpon. Katanya orang direksi Jambi nelpon dia barusan, mau konfirmasi soal rapat besok jadinya jam berapa", Candra menundukkan kepalanya selama berbicara. Dia tidak berani menatap wajah Tasya sedikitpun.
"Kamu berangkat pakai apa...?", Tasya bertanya lagi.
"Udah pesan tiket pesawat kak, nanti malam jam 9", Candra bicara pelan.
"Astagfirullah Cand... Kalau gitu kita langsung pulang sekarang", Tasya langsung mengambil keputusan.
"G'ak usah kak. Kak Tasya sama malaikat kecil disini aja. Besok teman Candra bakal kesini jemput kak Tasya dan malaikat kecil", Candra kembali menahan Tasya. Candra tidak tega melihat liburan malaikat kecil harus rusak karena dia.
"G'ak, aku ikut kamu pulang. Aku siap-siap dulu, 15 menit lagi kita berangkat", Tasya membuat keputusan. Kemudian berlalu dari hadapan Candra.
Candra langsung mengetik wa kepada Sinta.
'Mbak siap-siap, hubungi pengacara, Candra udah pesan tiket pesawat jam 9'
Candra bergerak cepat masuk kedalam kamarnya, membereskan semua barang-barangnya. Kemudian beranjak keluar kamar menuju resepsionis. Candra mengembalikan kunci, disusul dengan Tasya yang menggendong malaikat kecil yang masih mengantuk.
"Tita mau temana...?", malaikat kecil bertanya pelan, saat melihat Candra ada dihadapannya.
"Maaf, kita pulang sayang", Candra mengambil alih menggendong malaikat kecil.
"Tatana betok...?", malaikat kecil protes.
"Maaf, papi lupa. Papi ada kerjaan malam ini. Nanti kita liburan lagi ya cantik", Candra membuat janji.
"Danji...?", malaikat kecil mengacungkan jari kelingking kirinya.
"Janji", Candra mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking malaikat kecil.
Malaikat kecil merangkul leher Candra, merebahkan kepalanya dipundak kanan Candra. Tasya tersenyum lembut melihat tingkah malaikat kecil yang begitu manja kepada Candra. Sosok Candra mampu mengisi kekosongan peran seorang ayah dalam diri malaikat kecil, walaupun Candra bukanlah ayah biologis malaikat kecil.
***
Candra, Sinta dan pengacara perusahaan tiba dilokasi kebakaran hampir tengah malam. Candra dijemput oleh supir perusahaan.
"Apa ada korban saat kebakaran terjadi...?", Candra kembali memastikan kepada supir perusahaan yang jauh lebih tahu keadaan dilapangan.
"Saat kejadian karyawan masih kerja diperusahaan. Hanya ada pengurus rumah dan satpam yang ada dilokasi kejadian", supir perusahaan menjelaskan dengan perlahan.
"Dimana mereka sekarang...?", Candra bertanya pelan.
"Dirumah sakit", supir perusahaan bicara ragu.
"Kita kesana sekarang", Candra memberi perintah, kemudian langsung masuk kedalam. Mobil.
Candra melangkah tergesa-gesa mengikuti langkah kaki supir perusahaan. Langkah Candra semakin ragu, saat membaca yang tertulis di atas pintu, kamar zenazah. Langkah kaki Candra terasa berat, mendekati sebuah tempat tidur, dimana perempuan terbaring kaku.
"G'ak mungkin...", Candra menutup mulutnya karena merasa kaget dengan pemandangan yang ada dihadapannya saat ini.
Sinta melingkarkan lengan tangan kanannya ke leher Candra dari belakang, kemudian jemari tangan kirinya liletakkan dipundak kiri Candra, meletakkan kepalanya bertopangkan dengan punggung tangan kirinya. Berusaha memberi kekuatan kepada Candra.
"Saat kejadian, kunci pintu macet, mungkin karena terlalu panas, jadi tidak bisa dibuka. Jadi... Meninggal karena kehabisan oksigen, paru-parunya terlalu banyak menghirup asap", supir kantor kembali menjelaskan panjang lebar.
"Dimana keluarganya...?", Candra bertanya pelan, berusaha keras agar air matanya tidak jatuh.
"Beliau berumur 54 tahun, suaminya sudah meninggal 3 tahun yang lalu. Beliau punya 5 orang anak, yang paling besar masih SMA kelas 2, sedangkan yang paling kecil berumur 3 tahun 6 bulan. Sekarang mereka dirumah neneknya, ibu dari pihak suami. Karena beliau yatim piatu, sejak umur 12 tahun", supir kantor menjelaskan panjang lebar.
"Astagfirullah...", Candra mengusap kasar mukanya, menghapus air mata yang keluar tanpa permisi.
"Siapkan pemakaman. Perusahaan yang akan bertanggung jawab atas semuanya", Candra memberi perintah kepada supir kantor.
"Baik pak", supir kantor bicara hormat, menganggukan pelan kepalanya.
"Kita ke rumah mertuanya", Candra memberi perintah selanjutnya.
"Silakan pak", supir kantor kembali menuntun Candra, pengacara kantor, dan Sinta kearah parkiran.
Dalam waktu cukup singkat, mereka sudah sampai dirumah yang dimaksud. Candra langsung memperkenalkan diri kepada mertua pegawainya yang bernasib malang nian.
"Saya tahu, saya tidak akan bisa mengembalikan ibu mereka. Tapi... Saya harap ibu jangan khawatir dengan masadepan cucu-cucu ibu, mulai sekarang mereka menjadi tanggung jawab perusahaan", Candra bicara kata perkata dengan perlahan, berharap wanita tua yang ada dihadapannya saat ini agar tidak perlu risau lagi dengan biaya sekolah cucunya.
Wanita tua renta itu menggenggam jemari tangan kanan Candra, "Terima kasih nak... Semoga tuhan menjaga setiap langkahmu nak", wanita tua renta itu mendoakan Candra, air matanya mengalir dengan deras bagai air terjun.
Candra segera pamit, dan menuju tempat pengungsian sementara pegawai perusahaan.
"Pak Candra...", hampir seluruh karyawan yang melihat Candra bicara dengan kebingungan, dan berjuta tanya dibenaknya mereka, mengapa bos besar perusahaan malah memilih untuk menemui mereka yang bukan siapa-siapa, yang tak kalah mencengangkan, sang putra mahkota menemui mereka yang hanya rakyat jelata. Serentak mereka berdiri sebagai penghormatan, menyambut bos besar mereka.
"Istirahat saja", Candra mengacungkan jemari tangan kanannya, meminta para pegawai duduk kembali.
"Apa ada yang terluka...?", Candra bertanya lantang. Kemudian menyapu tatapannya kepada seluruh karyawan yang sedang duduk manis. Mereka ada sekitar 20 orang, karena rumah kantor hanya dihuni oleh karyawan baru saja, untuk kepentingan melakukan pelatihan, untuk masa uji coba selama 3 bulan.