webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Sekolah lagi...?

Candra masih menatap lekat wajah Dirga yang tertunduk malu. Kata-kata Candra tepat mengenai luka Dirga yang bernanah.

"Kenapa bang...? Candra bener kan...?!", Candra kembali menantang batas kesabaran Dirga.

"Kamu itu bodoh banget bang, menyia-nyiakan orang sebaik kak Tasya", Candra kembali memprovokasi Dirga. Kemudian berlalu pergi dari kamar, meninggalkan Dirga dengan sejuta penyesalannya.

Candra sengaja melangkah agak jauh dari vila, duduk menghisap rokoknya dengan rakus. Tasya yang sedari tadi memperhatikan Candra, menguatkan tekat untuk menghampiri Candra. Kebetulan malaikat kecil lagi asik bermain bersama teman-teman barunya.

Tasya duduk disamping Candra. "Kenapa kamu...?", Tasya tiba-tiba bertanya, tatapannya menatap dalam ke bola mata Candra.

Candra langsung mematikan rokoknya yang baru dihisapnya setengah. "Eh... Kak... Malaikat kecil mana...?", Candra menoleh kiri dan kanan.

"Kamu kenapa...?", Tasya kembali bertanya dengan suara paling lembut.

Candra hanya menunduk, menghindari tatapan mata Tasya. "G'ak apa-apa kak. Hanya soal kerjaan", Candra menjawab asal.

"Aku g'ak tahu pasti masalah yang kamu hadapi sekarang. Tapi... Kalau aku boleh kasih saran, kamu coba berdamai dengan amarah kamu", Tasya bicara pelan, wajahnya menatap lembut wajah Candra.

"Maksudnya kak...?", Candra mengerutkan keningnya.

"Terkadang ada satu masa, kita merasa kita tidak bisa berbuat apa-apa. Marah, kesal, benci, mengutuk keadaan. Tapi... Dari pada melakukan itu semua, lebih baik kita berdamai dengan amarah kita sendiri. Itu akan membuat kita jauh merasa lebih tenang", Tasya melemparkan senyum lembutnya.

"Apa kak Tasya sendiri juga begitu...? Kak Tasya sudah berdamai dengan amarah kak Tasya...? Kak Tasya udah bisa memaafkan bang Dirga...?", Candra kembali menagih jawaban.

Tasya tersenyum lembut sebelum menjawab pertanyaan Candra, "Awalnya aku marah. Tapi... Mbak Sinta yang menguatkan aku. Hingga akhirnya aku berusaha berdamai dengan amarah aku sendiri. Kalau aku belum berdamai dengan amarahku sendiri, g'ak akan mungkin ada malaikat kecil Cand", Tasya tertawa renyah.

"Kok Candra yang g'ak ikhlas ya...? Mendengar kak Tasya udah memaafkan bang Dirga...", Candra menjawab sengit.

Tasya kembali tertawa renyah. "Untuk aku saat ini, bagaimana menjadi ibu yang baik untuk malaikat kecil. Bagaimana caranya semua kebutuhan malaikat kecil terpenuhi, dan dia bisa tumbuh dengan baik. Itu aja", pikiran Tasya menerawang.

"Kak Tasya jangan takut. Kebutuhan malaikat kecil udah jadi tanggung jawab Candra kak. Bahkan Candra udah menyisihkan uang untuk sekolah malaikat kecil, dia harus sekolah yang tinggi, biar jadi orang hebat", Candra memberikan jaminan kepada Tasya akan masadepan malaikat kecil.

"Kamu itu g'ak perlu sampai segitunya Cand", Tasya tertawa pahit.

Candra menggenggam jemari tangan kanan Tasya. "Kak Tasya g'ak boleh nolak. Bahkan Kalaupun nanti kedepannya kak Tasya sudah menikah, malaikat kecil tetap jadi tanggung jawab Candra", Candra kembali meyakinkan Tasya.

"Terima kasih Cand", Tasya meneteskan air mata tanpa dia sadari.

***

Dirga berusaha mengambil botol minumnya yang jatuh kelantai. Dengan susah payah Dirga berusaha menjangkau botol minumnya, akan tetapi tetap tidak bisa. Sebuah tangan mungil meraih botol minum Dirga, kemudian menyerahkannya kehadapan Dirga.

"Ini... Punya Om...?", bocah kecil itu tersenyum lebar, memamerkan giginya yang tersusun rapi.

Dirga tidak menjawab, air matanya segera menyerbu kepelupuk matanya.

Bocah kecil itu menghapus lembut air mata Dirga. "Om tok nanis...? Ada yang tatit...?", bocah kecil itu bertanya dengan keningnya dikerutkan, sudah seperti orang dewasa saja.

"G'ak... G'ak... Om g'ak sakit", Dirga meraih botol minumnya kembali dari jemari mungil bocah kecil itu.

"Terima kasih", Dirga melemparkan senyumnya.

"Tama-tama Om", bocah kecil itu kembali memamerkan giginya yang rata.

"Nama kamu siapa cantik...?", Dirga kembali bertanya lembut.

"Malita Om", bocah kecil itu menyebutkan namanya dengan kurang sempurna.

"Malita...? Nama yang cantik", Dirga memuji nama bocah kecil itu.

"Butan... Ma... Li... Ta", bocah kecil itu malah protes.

"Malika...?", Dirga berusaha memperbaiki ucapan sang bocah.

"Pintel", bocah kecil malah mengacungkan kedua jempolnya girang.

"Udah sore, ibu kamu kemana...?", Dirga kembali menyelidiki.

"Pelgi, nanti bunda juda balik ladi", Malika merasa tidak terganggu ditinggal oleh Tasya.

"Om capek, Om masuk istirahat dulu ya", Dirga bicara pelan, karena melihat seluet Tasya akan mendekat.

"Talo ditu, atu ke tana. Dadah Om", Malika melambaikan tangan mungilnya kehadapan Dirga. Kemudian kembali ke vilanya sendiri.

Malika malah menyerbu kepelukan Candra, bukan ibunya Tasya.

"Kamu dari mana...?", Tasya bertanya bingung, karena saat ditinggalkan Malika sedang main diteras bersama teman barunya.

"Tana", Malika menunjuk vila yang bersebrangan dengan vila Mereka.

"Kok kesana...?!", Tasya bertanya bingung.

"Tadi ada Om kulsi loda. Botol minumnya datoh, aku tolonin", malaikat kecil menjelaskan dengan antusias.

***

Salwa sudah menyiapkan makan malam untuk Erfly. Setelah dari kafe, Erfly kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Salwa mengetuk pintu ruang kerja Erfly perlahan. Setelah diizinkan masuk, Salwa muncul dari balik daun pintu.

"Makan malam sudah siap", Salwa bicara sopan.

"Mbak masuk, duduk deh. Ada yang mau ilen tanyain", Erfly mengayuh kursi rodanya kearah kursi tamu.

Salwa memilih duduk di lantai. Agar lebih sopan.

"Di atas mbak", Erfly memberi perintah, setelah melihat Salwa duduk dilantai.

"Ndak apa-apa, dibawah aja", Salwa berusaha menolak.

"Mbak...", Erfly melemparkan tatapan bembunuhnya.

Sekujur tubuh Salwa langsung berkeringat dingin, Salwa beranjak perlahan pindah keatas sofa.

"Ada... Apa teh...?", Salwa bertanya sungkan.

"Ilen aja", Erfly kembali menegaskan.

"Iyah...", Salwa tersenyum canggung.

"Mbak sekolah tanaman apa...?", Erfly bertanya pelan, nada suaranya terdengar ringan, sehingga membuat Salwa tidak merasa canggung lagi.

"SMP", Salwa menjawab sambil tertunduk malu.

"Kenapa tidak di lanjutkan...?", Erfly bertanya heran.

"Sempat nyambung SMA, tapi... Ndak tamat", Salwa kembali menjelaskan dengan suara paling pelan.

"Lho... Kenapa...?", Erfly bertanya bingung.

"Ndak ada biaya. Waktu kelas 2 semester 1 bapak meninggal, jadi... Salwa harus kerja, bantu ibuk membiayai adik-adik sekolah", Salwa menjelaskan panjang lebar.

"Mbak g'ak mau ikut ujian paket C gitu...?", Erfly bertanya lagi.

"Udah, tahun kemarin...", Salwa kembali menjelaskan dengan malu-malu.

"Lha... Itu berarti tamatan SMA dong mbak", Erfly malah protes mendengar jawaban Salwa.

Salwa hanya nyengir kuda, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Mbak g'ak kepikiran buat sekolah lagi...?!", Erfly kembali menyelidiki.

"Sekolah lagi...?", Salwa bertanya bingung.

"Iya", Erfly menjawab pelan.

"Saya... Ndak punya biaya teh", Salwa tertunduk.

"ILEN aja...", Erfly kembali menekankan.

"I... Iya", Salwa tergagap.

"Kalau punya kesempatan sekolah lagi. Mbak Salwa mau kuliah apa...?", Erfly bertanya ringan.

"Sebenarnya... Saya ingin kuliah Sistem Informasi", Salwa menjawab pelan, dengan kepala tertunduk.

"Kenapa...?!", Erfly berusaha mengorek informasi lebih dari Salwa.

"G'ak tahu ya, kayaknya menarik saja, lihat orang yang pinter ngotak-atik komputer", Salwa tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri.

Erfly hanya mengangguk pelan. "Ya udah, makasih mbak", Erfly bicara pelan.

"Kalau begitu saya permisi kebelakang dulu", Salwa berlalu dari hadapan Erfly.

Erfly menelfon Nadhira setelah Salwa berlalu dari hadapannya.

"Assalamu'alaikum Len, ada apa...?", suara Nadhira terdengar panik.

"Wa'alaikumsalam, teteh punya Link orang dalam di kampus AMIK deket sini...?", Erfly bertanya langsung to the poin.

"Kebetulan rektornya Om teteh. Ada apa Len...?", Nadhira kembali bertanya.

"Teteh kira-kira bisa usahain mbak Salwa kuliah disana g'ak...? Ambil kelas sabtu minggu aja. Sistem Informasi", Erfly mengajukan permintaan.

"Nanti teteh coba tanya dulu. Mudah-mudahan bisa", Nadhira bicara tidak yakin.

"Terima kasih teh", Erfly bicara pelan.

"Jangan sungkan Len", Nadhira membalas santun.

"Oh ya teh, mengenai proposal yang diajukan itu, Ilen bisa ketemu orangnya langsung teh...?", Erfly kembali bertanya.

"Iya, nanti teteh jadwalkan sama mereka. Kamu tenang saja", Nadhira memberikan janji.

"Terima kasih teh, assalamu'alaikum", Erfly memutuskan hubungan telfon. Kemudian beranjak menuju meja makan.

"Mbak...", Erfly bicara setengah berteriak.

"Iya...", Salwa muncul dari arah ruang cuci.

"Mbak udah makan...?", Erfly bertanya pelan.

"Nanti saja, gampang", Salwa tersenyum malu.

"Duduk mbak, makan sekalian sama Ilen", Erfly kembali memberi perintah, yang membuat Salwa salah tingkah.

"Nanti saja, dibelakang", Salwa nyengir kuda, berusaha menolak permintaan Erfly.

"Apa harus Ilen ulang yang kedua kalinya...?", Erfly bicara dingin, menatap Salwa dengan tatapan membunuhnya.

Nyali Salwa langsung ciut. Salwa segera menarik kursi, kemudian duduk dengan manis disamping Erfly.