Seperti kemarin, Cakya tidak kesekolah, melainkan langsung ke lapangan pemda. Hari ini seleksi terakhir untuk Pasukan Pengibar Bendera 17-an.
Cakya dan teman-teman yang sama-sama ikut seleksi, menjalani seleksi yang sangat ketat. Karena bukan hanya dari sekolah Cakya saja, semua peserta berasal dari seluruh SMA se-Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Diawali Pemanasan dengan lari keliling lapangan, lanjut LKBB. Semua dijalankan dengan sepenuh hati oleh Cakya. Bukan hanya Cakya sendiri dari sekolahnya, ada 5 Putri dan 4 putra teman sekolahnya yang ikut.
Saat istirahat, Cakya memilih duduk terpisah dari yang lain. Seorang gadis mendekati Cakya, dan menyerahkan sebotol minuman.
Cakya menatap bingung ke arah botol minum. "Minum bang", gadis itu tersenyum.
Cakya menerima pemberian gadis ini, "Kok bisa disini...?", Cakya bertanya pelan saat menenggak minumannya.
"Putri sekolah masuk siang, papa harus mampir kesini dulu karena dipanggil panitia seleksi. Katanya hari ini seleksi terakhir", Putri menjelaskan mengapa dia ada disini saat ini.
Cakya hanya mengangguk pelan.
"Semoga bang Cakya beruntung, bisa lolos seleksi", Putri bicara lagi.
"Terima kasih", Cakya bicara tanpa menatap kearah Putri.
Semua peserta diminta berkumpul. Cakya langsung pamit kepada Putri dengan menggunakan isyarat. Putri hanya mengangguk dan menatap Cakya yang kembali latihan dari tempat duduknya.
***
Saat jam istirahat Mayang menghampiri Erfly, "Erfly...", Mayang bicara pelan.
"Yah... Kenapa Mayang...?", Erfly menutup buku yang ada dihadapannya.
"Erfly... Mayang mau laporin Pembukuan ketringan", Mayang membuka buku yang dibawanya.
Erfly membaca dengan teliti Pembukuan yang dibuat oleh Mayang, Erfly tersenyum sambil manggut-manggut pelan.
"Rapi amat ini Pembukuan, bakat nih jadi sekretaris. Hehehe...", Erfly tertawa renyah, kemudian mengembalikan buku Mayang.
"Bisa aja Erfly, jangan berlebihan", Mayang tersenyum malu.
"Erfly bicara jujur kok", Erfly bicara pelan. "Hem... Ketringannya gimana...? Lancar...?", Erfly bertanya lagi.
"Alhamdulillah g'ak ada masalah sejauh ini", Mayang menjawab apa adanya.
"Dek...", Gama menghampiri Erfly.
"Kenapa bang...?", Erfly mengalihkan tatapannya kearah Gama.
"Em... Mayang ke kantin dulu. Ntar keburu bel", Mayang meninggalkan Erfly dan Gama.
"Hati-hati", Erfly bicara pelan.
"Erfly udah pesan lemari dan tempat tidurnya. Kata papa lusa baru selesai. Lebih baik ntar kita rapiin sekat rumah aja. Kayaknya bisa dibuat jadi 10 kamar bang. Kan lumayan buat tambah-tambah", Erfly bicara serius.
Gama langsung mengacak rambut Erfly, "Kamu itu dek, bukan lumayan lagi. Lebih malah dek", Gama tersenyum melihat wajah kesal Erfly yang melihat rambutnya berantakan.
"Berantakan abang, kesal ih", Erfly bergumam manja.
Gama malah tertawa puas melihat wajah kesal Erfly.
***
Pulang sekolah Cakya sudah menunggu Erfly di tukang bakso di sudut parkiran. "Cakya...? Kok disini...?", Erfly duduk disamping Cakya setelah memesan satu mangkuk bakso.
"Kangen sama sekolahan", Cakya menjawab asal.
"Kangen sekolahan, atau kangen salah satu anak di sekolahan...?", Erfly mulai kumat isengnya.
"Apaan sih", Cakya bicara malas, tetap fokus pada makanannya.
Setelah makan, Cakya mengantarkan Erfly pulang. Setelah sampai di teras rumah Erfly, Cakya turun dari motor dan duduk diteras rumah Erfly. Sedangkan Erfly langsung masuk kedalam rumah, kembali keluar dengan membawa minuman dingin untuk Cakya.
"Cakya lolos seleksi, mungkin kedepannya Cakya g'ak bisa sering sama-sama", Cakya bicara lirih.
"Selamat ya, Cakya jangan capek-capek latihannya, ntar malah sakit lagi", Erfly memberi saran.
Cakya hanya mengangguk pelan.
***
Sinta menjenguk Candra seperti biasanya. Candra seperti biasa selalu antusias memakan makanan bawaan Sinta.
"Mbak kenapa...?", Candra bertanya pelan setelah suapan pertamanya masuk kedalam mulutnya.
"Apanya dek...?", Sinta bertanya bingung.
"Candra lihat mbak g'ak kayak biasanya", Candra bicara pelan, disela mengunyah makanannya.
"Biasa aja dek", Sinta menjawab asal.
"Jangan bohong mbak. Ada masalah apa...?", Candra bertanya lagi.
"Sebenarnya mbak bingung dek", Sinta bicara jujur.
"Kenapa...?"
"Wika g'ak bisa dihubungi udah hampir sebulan"
"Memangnya ada apa mbak...?"
"Ini soal perusahaan dek... "
"Kenapa mbak...?"
"Perusahaan kelilit hutang dek. Beberapa investor sudah mengundurkan diri"
"Terus... Bagaimana mbak...?"
"Itu yang jadi pikiran mbak dek. Kamu tahu sendiri Dirga sekarang masih belum bisa diajak bicara serius. Makanya mbak berusaha menghubungi Wika, mbak mau mendiskusikan masalah ini"
"Mbak sudah coba telfon mama...?"
"Udah dek"
"Terus mama bilang apa...?"
"Dia udah g'ak perduli sama perusahaan, semua saham sudah dipindahkan atas nama kamu dek"
"Candra...?"
"Iya, mbak udah konfirmasi sama pengacara ayah kamu. Katanya itu udah dilakukan sebelum mama kamu kerumah kakek, dia g'ak mau terikat lagi sama ayah kamu dek"
"Menurut mbak sendiri gimana...?"
"Kalau seperti ini terus, jujur perusahaan bisa colaps dek"
"Kasihan buruh kecil yang bergantung hidup sama perusahaan mbak. Solusi yang mbak tawarin...?"
"Kalau menurut mbak, kita harus jual perusahaan ayah kamu di beberapa kota"
"Berapa perusahaan yang bisa diselamatkan dengan itu...?"
"Paling 3 dek"
"Berapa saham yang Cakya punya mbak...?"
"Kamu punya 20% saham ibu kamu dek. Kalau ditambah saham almarhum ayah kamu semuanya jadi 35%"
"Jual mbak"
"Maksud kamu...?"
"Jual perusahaan yang ada. Kita selamatkan 3 yang punya potensi lebih besar untuk bertahan dan berkembang"
"Kamu yakin dek...?"
"Candra yakin mbak. Ini jalan terbaik. Candra g'ak mau jerih payah ayah lenyap begitu saja. Nanti kita bangun pelan-pelan mbak"
Sinta tersenyum, "Kamu udah dewasa dek", Sinta memuji Candra.
"Mbak apaan sih...? Candra masih anak kemarin sore mbak. Kalau mbak Wika ada disini dia pasti akan lebih baik dari Candra"
"Dek... Mbak bangga sama kamu, kamu udah jauh berubah. Bukan Candra anak manja yang harus dituruti semua keinginannya lagi. Tapi... Kamu sudah mampu berdiri diatas kaki kamu sendiri sekarang", Sinta menggosok punggung tangan kanan Candra.
"Mbak yang luar biasa, udah mendidik Candra jadi seperti sekarang ini", Candra merendah.
***
Erfly mengangkat telfon yang masuk kedalam HPnya, Erfly diam sejenak karena tidak tahu nomor siapa yang menelfonnya.
"Assalamu'alaikum", terdengar suara laki-laki dari ujung telfon sebrang.
"Wa'alaikumsalam", Erfly menjawab pelan.
"Apa betul ini Erfly...?"
"Iya, saya sendiri"
"Saya Andrian, teman kerjanya dokter Alfa"
"Oh... Iya, ada apa ya pak...?"
"Panggil abang saja, saya masih belum menikah dek...! Hahahaha"
"Maaf bang, Erfly g'ak tahu"
"Kemaren abang pas acara pelantikan pimpinan rumah sakit, katanya ketringannya ngambil sama kamu dek...?"
"Iya bang, itu ketringannya teman Erfly. Ada apa bang...?"
"Gini dek, 3 hari lagi itu abang ada acara sunatan si bungsu. Orang rumah g'ak mau repot, minta dicariin ketringan saja. Kira-kira bisa g'ak dek...?"
"Untuk berapa porsi bang...?"
"Rencananya mau mengadakan pengajian mengundang anak-anak panti asuhan, dan teman-teman sekolahnya si bungsu. Sekitar 300 nasi kotak dek. Kira-kira bisa g'ak dek...?"
"Erfly harus tanya dulu bang sama yang ngurus ketringan. InsyaAllah nanti Erfly kabari bagaimana-bagaimananya"
"Ditunggu ya kabar baiknya. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam", Erfly kembali memasukkan HP kedalam tas.
Erfly memutuskan kerumah Mayang sebelum berangkat kesekolah.
"Ada apa nak...?", ibu Mayang keluar dari arah dapur, karena tidak biasa-biasanya pagi-pagi buta Erfly susah muncul dirumahnya.
"Kita dapat pesanan 300 nasi boxs buk", Erfly bicara ragu.
"Alhamdulillah. Untuk hari apa nak...?", ibu Mayang bicara antusias.
"Acara sunatan pegawai rumah sakit yang pakai ketringan kita kemarin. Acaranya 3 hari lagi", Erfly bicara pelan.
Ibu Mayang manggut-manggut pelan, "300 nasi kotak ya...?", ibu Mayang bicara ragu.