Suara azan subuh membuat Cakya terbangun dari tidur panjangnya. Cakya membuka mata perlahan, kemudian melirik kiri kanan menyapu pandangannya ke setiap sudut ruangan.
"Udah bangun kamu", Gama muncul dari daun pintu.
"Om kapan kesini...?", Cakya bertanya dengan suara serak, khas suara orang bangun tidur, Cakya memijit keningnya pelan yang masih terasa pusing.
"Semalam kak Vira nelpon panik, bilang kamu pingsan. Makanya Om sama Mayang langsung kesini", Gama menjawab santai, kemudian merebahkan dirinya diatas tempat tidur Cakya.
"Lho... Mayang kesini juga...?", Cakya menatap Gama bingung, sebenarnya Cakya ingin bertanya bagaimana keadaan Nanya, akan tetapi gengsinya jauh lebih tinggi hanya untuk bertanya.
"Setelah menghabiskan 2 botol infus, Nanya sudah baik-baik saja. Makanya Mayang berani memutuskan untuk kesini semalam", Gama menjelaskan dalam satu nafas.
Cakya berdehem pelan, segera mengalihkan tatapannya, karena dia merasa tertangkap basah oleh Gama.
"Tante Mayang kemana...?", Cakya mengalihkan topik pembicaraan.
"Pulanglah, anak-anak mau sekolah cakep", Gama menjawab dengan bercanda. "Sholat gih", Gama kembali menambahkan.
Cakya hanya mengangguk pelan, kemudian pergi meninggalkan Gama.
Cakya keluar dari kamar berniat menuju kamar mandi, untuk wudhu.
"Abang... Abang mau kemana...?", Ibu Cakya bertanya bingung, karena melihat Cakya tiba-tiba keluar kamar.
"Wudhu ma", Cakya menjawab pelan.
"Memangnya abang sudah kuat untuk keluar-keluar...?", ibu Cakya bertanya heran.
"InsyaAllah", Cakya menjawab pelan.
***
Pak Lukman segera berangkat ke kantor. Begitu duduk di meja kerjanya, pak Lukman mendengar suara ketukan pintu.
"Masuk", pak Lukman bicara setengah berteriak.
Detik berikutnya, Devi muncul dari balik daun pintu.
"Sarapan pak Jendral", Devi bicara dengan pelan, kemudian meletakkan kantong plastik yang dia bawa keatas meja.
"Kamu sama adikmu sama saja, lama-lama kalian berdua bisa lupa kalau aku ini ayah kalian, bukan atasan kalian", pak Lukman bicara kesal.
Devi malah tertawa renyah mendengar ayahnya yang kesal.
"Iya...", Devi bicara santai, kemudian menyiapkan sarapan untuk ayahnya. "Ayah mau dibuatkan teh apa kopi...?", Devi bertanya pelan.
"Air putih saja", pak Lukman bicara pelan, menarik makanan mendekat kearahnya. "Kamu coba ajak ngobrol adikmu", pak Lukman bicara pelan, setelah melakukan suapan besar.
"Putri...? Memangnya ada apa...?", Devi meletakkan minum untuk ayahnya, kemudian kembali duduk di hadapan ayahnya.
"Sepertinya dia lagi ada masalah, tapi... G'ak mau cerita ke ayah. Terus... Semalam juga, Cakya tidur di teras karena jagain dia", Pak Lukman bicara pelan.
"Cakya...? Kok bisa...? Apa kata istri dan anaknya nanti", Devi bicara bingung.
"Cakya sudah pisah sama istrinya, tinggal menunggu surat dari pengadilan", pak Lukman menjawab santai.
"Kapan...? Kok bisa...?", Devi bertanya bingung.
"Dari awal pernikahan Cakya dengan Nanya juga udah salah. Cakya itu tidak pernah menyukai Nanya. Selama hidupnya, Cakya itu hanya menyukai satu gadis Erfly", pak Lukman bicara pelan.
"Terus... Kenapa dia akhirnya menikah dengan Nanya...?", Devi bertanya semakin bingung.
"Ayah juga tidak tahu bagaimana ceritanya", pak Lukman menjawab asal.
Pak Lukman kembali konsentrasi dengan sarapannya, "Kamu coba tanya Putri, dia masih suka sama Cakya g'ak...?", pak Lukman bicara dengan nada suara paling pelan.
"Ayah... Kok bisa tahu Putri suka sama Cakya...?", Devi bertanya bingung.
"Walau bagaimanapun saya ini ayah kalian, bukan berarti saya cuek saya tidak tahu tentang kalian", pak Lukman memberi penekanan pada setiap ucapannya.
"Putri masih punya perasaan buat Cakya. Sejak Cakya menolong dia dari Candra waktu itu. Sepertinya Cakya selalu punya tempat spesial dihatinya Putri.
Devi... Pernah mau coba menjodohkan dia sama temen Devi, beda pelton Yah. Ibunya sudah meminta dia untuk menikah, tidak perduli dia milih siapa saja, selama itu perempuan keluarganya tidak akan keberatan katanya.
Waktu Devi cerita ke Putri seperti itu, dia langsung menolak Yah. Katanya mau serius sama kuliah dulu. Tapi... Devi rasa masalahnya tidak sesederhana itu Yah. Devi pernah sekali tidak sengaja melihat HP Putri, dan... Itu foto Cakya di layar utamanya dia", Devi menjelaskan panjang lebar.
"Putri juga terlihat sangat terpukul saat Cakya menikah dengan Nanya, makanya waktu itu dia lebih memilih untuk traveling sama teman-temannya, alasannya untuk menyelesaikan tugas kampus.
Devi nanya sendiri sama teman sekampusnya yang masih adik tingkatan Devi, katanya mereka tidak ada tugas lapangan Yah", Devi kembali menambahkan.
"Sekarang keadaannya sudah berbeda, Cakya udah duda dan punya anak satu. Apa Putri tidak masalah dengan itu...?", pak Lukman bertanya pelan.
"Harusnya tidak ada masalah Yah, selama orang itu Cakya", Devi menjawab dengan wajah serius.
"Kamu coba ngobrol deh sama dia. Putri pasti lebih terbuka sama kamu, apa lagi kalian sama-sama perempuan", pak Lukman bicara pelan.
***
Cakya duduk di kantornya, karena jadwal piket di Damkar, Cakya harus stanbye 24 jam. Cakya duduk di sudut ruangan, sibuk dengan HPnya.
Tiba-tiba panggilan masih, kening Cakya berkerut karena yang muncul nama Putri. Cakya menempelkan HP ke daun telinganya, setelah menerima telfon masuk.
"Assalamu'alaikum, kenapa dek...?", Cakya bertanya pelan.
"Wa'alaikumsalam, abang dimana...?", Putri bertanya pelan, lebih seperti suara orang yang sedang berbisik.
"Kantor, kamu kenapa...?", Cakya bertanya bingung.
"Putri... Di puskesmas Pelompek", Putri bicara dengan nada suara paling rendah.
"Kamu tunggu di situ", Cakya memberi perintah, segera menutup telfon.
Cakya meminta izin kepada atasannya, detik berikutnya Cakya sudah meluncur dengan kecepatan tinggi. Butuh 30 menit untuk Cakya sampai ke tempat tujuannya. Setelah memarkirkan motornya, Cakya menyerbu masuk kedalam Puskesmas.
Terlihat Putri yang sedang terbaring diatas tempat tidur, tangan kirinya diperban dan menggantung bertumpu dengan lehernya. Mukanya masih pucat seperti mayat hidup saja.
Di sudut ruangan ada lelaki yang kemarin malam dilihat oleh Cakya di rumah pak Jendral.
"Putri...", Cakya bicara pelan, duduk di samping tempat tidur.
"Bang Cakya udah datang...?", seorang perempuan muncul dari arah pintu samping puskesmas.
"Kenapa Putri bisa begini...?", Cakya bertanya dingin.
"Tadi.... Kita di jalan mau ke Aroma Peco. Tu orang tiba-tiba ngejar, maksa minta kita berhenti. Putrinya ngeyel, dia g'ak mau bicara lagi sama tu orang. Akhirnya tu orang malah maksa, mepetin motor kita, Putri kehilangan kendali, jatoh udah. Tangannya kebentur pohon, patah kata bidannya", perempuan itu bicara panjang lebar.
Cakya segera naik pitam setelah mendengar penjelasan sahabatnya Putri. Cakya segera meraih kerah baju lelaki yang sedari tadi duduk di sudut ruangan.
"Dari kemarin sudah saya peringatkan, jangan dekati Putri lagi", Cakya bicara dingin.
"Maaf bang, tapi saya... G'ak bisa kehilangan Putri", lelaki itu bicara tergagap. Mukanya pucat pasi melihat amarah Cakya.
Cakya melempar lelaki itu asal, hingga tersungkur ke lantai. "Persetan sama perasaan kamu. Kalau sekali lagi saya dengar kamu dekat-dekat dengan Putri, saya patahkan kaki kamu", Cakya melemparkan ancamannya.
Lelaki itu langsung lari terbirit-birit meninggalkan ruangan.
Cakya segera melakukan pembayaran untuk pengobatan Putri, selanjutnya memutuskan untuk segera mengantarkan Putri pulang kerumahnya.
Begitu sampai di depan rumah, pak Lukman sudah menunggu bersama Devi dan Ardi. Putri seger di bawa masuk oleh Devi, Ardi malah mengekor di belakang.
"Duduk nak, Devi... Bikin kopi", pak Lukman bicara setengah berteriak.
Cakya tidak punya pilihan lain, selain duduk mengikuti perintah Pak Lukman.
"Terima kasih nak, kamu sudah mau membantu Putri", pak Lukman bicara pelan.
"Kebetulan Cakya ada di sana tadi pak Jendral", Cakya terpaksa berbohong. Cakya tidak memberitahukan kejadian yang sebenarnya, Cakya hanya bicara Putri jatuh terpeleset di WC kampus.
"Bagaimana perceraian kamu dengan Nanya...?", pak Lukman bicara diluar dugaan Cakya.
"Menunggu surat keputusan saja pak Jendral", Cakya menjawab pelan.
"Kamu... Tidak memikirkan untuk menikah lagi...?", pak Jendral memberanikan diri untuk bertanya.
"Cakya belum tahu. Untuk saat ini, Cakya hanya ingin menata hati. Dan... Membesarkan Erca", Cakya bicara lirih.
Pak Lukman memutuskan untuk tidak melanjutkan ucapannya lagi setelah melihat respon Cakya.