webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Boleh saya tanya sesuatu...?

Hampir 2 jam, akhirnya peserta KPA yang di pandu oleh Cakya sampai ke puncak gunung tujuh. Semua peserta berteriak kegirangan begitu melihat danau.

Cakya memilih duduk menyendiri, tanpa melepaskan tatapannya dari gadis kecil yang di panggil 'Erfly'.

Erca sudah bisa menyesuaikan diri bersama peserta KPA, tak jarang terdengar tawa Erca yang berkelakar dengan peserta KPA.

Bagus duduk disamping Cakya. "Kerinci syurga yang tersembunyi, saking tersembunyinya butuh orang-orang yang punya nyali besar untuk datang menghampiri", Bagus bicara pelan.

Cakya hanya tersenyum mendengar ucapan Bagus.

"Tapi... Semuanya terbayar setelah tiba di tujuan. Oh ya, kalau mau ke Gunung Kerinci berapa jam bang...?", Bagus tiba-tiba melemparkan pertanyaan.

"Tergantung ketahanan teman-teman kamu. Ke sini saja, kalau normalnya 1 jam tembus harusnya. Tapi... Kita malah hampir 2 jam", Cakya menjawab dengan suara paling pelan.

Bagus tidak melanjutkan ucapannya, hanya mengangguk pelan mengiakan ucapan Cakya.

"Boleh saya tanya sesuatu...?", Cakya bertanya dengan kurang yakin.

"Silakan bang, jangan sungkan", Bagus menjawab santai.

"Semua anggota KPA yang ikut ke sini, semuanya asli orang Lombok...?"Cakya bertanya pelan.

"G'ak semua bang. Ada yang dari luar Lombok juga, kebetulan tinggal di sana. Malah ada yang orang Jambi lho bang", Bagus bicara dengan antusias.

"Jambi...?", Cakya bertanya bingung.

"Iya, ada 3 orang. Kembar tiga gitu", Bagus bicara dengan antusias. "Hasan, Husen, Erfly...!", Bagus bicara setengah berteriak.

"Ya...", yang dipanggil namanya langsung menoleh.

"Kesini sebentar", Bagus memberikan instruksi.

Hanya dalam hitungan detik yang dipanggil sudah datang menghampiri. "Duduk", Bagus bicara pelan. Dengan patuh Hasan, Husen dan Erfly duduk tepat dihadapan Bagus dan Cakya.

"Katanya orang tua kalian dari Jambi...? Jambi mana...?", Cakya bertanya dengan perlahan, jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang saat menatap lekat wajah gadis kecil yang ada di hadapannya ini.

"Hasan pernah dengar Bunda cerita, kalau dia asli dari Sungai Penuh", si kembar yang sulung menjawab santai.

Cakya menelan ludah pahit, "Sungai Penuh...? Saya juga Sungai Penuh, dimananya...?", Cakya kembali berusaha sekeras mungkin untuk bersikap senatural mungkin.

Hanya gelengan kepala kompak dari si kembar tiga yang menjadi jawaban.

"Kalian sudah puas foto-fotonya...? Kalau udah, beritahu yang lain kita siap-siap turun, bahaya kalau kemalaman", Cakya berusaha mengalihkan topik pembicaraan, takut si kembar tiga akan curiga.

Cakya memilih untuk tetap berada di sekitar peserta KPA, setelah sholat isya berjamaah, peserta KPA memutuskan untuk duduk mengelilingi api unggun. Cakya memilih untuk menghampiri Erfly, gadis kecil yang duduk agak jauh dari teman-temannya, memeluk gitar dipangkuannya, sesekali gadis kecil itu memainkan jemari lentiknya di senar gitar.

"Boleh duduk...?", Cakya bertanya pelan.

"Silakan, tempat umum kok Om", Erfly tertawa renyah, memamerkan lesung pipinya.

"Kok g'ak gabung sama yang lain...?", Cakya berusaha untuk membuka tema pembicaraan, agar lebih akrab dengan gadis kecil ini.

"Enakan disini, kalau mau jujur sebenarnya Erfly g'ak suka keramaian, berisik", gadis kecil itu kembali tertawa renyah.

"Kok malah gabung KPA...?!", Cakya bertanya bingung.

"Bunda selalu cerita soal Gunung Tujuh, dan itu yang membuat Erfly penasaran sama gunung tujuh. Sampai akhirnya, Erfly dengar bang Hasan mau melakukan ekspedisi ke Kerinci. Salah satu tujuannya kesini. Makanya Erfly nekat ikut seleksi peserta KPA", Erfly bicara panjang lebar.

"O... Bundanya Erfly juga suka ke gunung tujuh...?", Cakya kembali menyelidiki.

"Katanya dia jatuh cinta sama tempat ini", gadis kecil itu tersenyum hangat.

Sebelum Cakya bisa bicara lagi, gadis kecil itu memetik senar gitarnya. Cakya hafal nada yang keluar dari petikan gitar gadis kecil ini.

Lagunya Ari Laso yang berjudul 'Hampa', setelah menyanyikan satu baris reff lagu itu dengan sendu. Gadis kecil itu menghentikan petikan gitarnya.

"Kamu... Tahu dari mana lagu itu...?", Cakya bertanya dengan suara tercekat.

"Bunda yang ngajarin. Kata Bunda, ini lagu pertama yang dinyanyikan oleh orang spesial Bunda saat berada di gunung tujuh", Erfly menjawab dengan kepolosannya.

"Om... Em... Kamu punya foto Bunda kamu...?", Cakya bertanya dengan terbata.

"Memangnya kenapa Om...?", gadis kecil itu bertanya dengan muka polosnya.

"Em... G'ak... Kamu itu cantik, pasti Bundanya juga jauh lebih cantik", Cakya melontarkan alasan sekenanya.

Erfly mengeluarkan HP dari saku celananya, kemudian mencari foto yang ada di HPnya. Kemudian menyerahkan ketangan Cakya.

Cakya menatap layar HP gadis kecil yang ada disampingnya. Detak jantung Cakya semakin keras, air matanya bahkan menyerbu ingin keluar, tidak mampu di bendungnya lagi.

"Butterfly...?", Cakya bicara lirih.

"Om kenal Bunda...? Berarti Om juga kenal ayah, dulunya ayah pernah tugas disini juga", gadis kecil itu bertanya antusias.

"Si... Siapa...?", Cakya bertanya, dengan sekuat tenaga, Cakya menahan untuk tidak menangis.

"Jendral Rully", gadis kecil itu bicara dengan antusias.

"Jendral Rully...?", Cakya kembali bertanya bingung, karena merasa tidak mengenal nama itu.

Akan tetapi, sejauh ingatan Cakya, nama Rully melekat diingatannya dengan sangat baik, sebagai orang yang membawa Erfly dengan paksa dari rumah sakit DKT terakhir kali.

Gadis kecil itu kembali meraih HPnya, kemudian memperlihatkan foto seorang lelaki kehadapan Cakya.

"Satia...?", Cakya bertanya penuh tanya.

"Om kenal ayah...?", gadis kecil itu bertanya dengan antusias.

"Itu... Ayah kamu...?!", Cakya kembali bertanya dengan penuh tanya.

"Iya, ini ayah Om. Jendral Rully Satia", gadis kecil itu menegaskan.

"Astagfirullah...", Cakya berusaha keras menahan perasaannya.

Rasa sakit, kecewa, sedih datang menyerbu secara bersamaan. Ditambah kejutan yang baru saja dia terima, Erfly meninggalkannya demi menikah dengan Satia. Langit seakan runtuh untuk Cakya.

Hari dimana dia mendapatkan titik terang keberadaan Erfly, malah dia harus menerima kenyataan kalau Erfly meninggalkannya demi bersama lelaki lain.

"Om... Om g'ak apa-apa...?", bocah kecil itu menepuk pelan tangan Cakya.

"G'ak, Om g'ak apa-apa. Hanya... Hanya... Mengantuk", Cakya memberikan alasan sekenanya.

Gadis kecil itu menatap jam di HPnya, "Oh iya, udah malam. Erfly istirahat dulu kalau gitu. Om juga harus istirahat", gadis kecil itu bicara lembut.

Gadis kecil itu beranjak untuk meninggalkan tempat duduknya semula. "Om...", gadis kecil itu berbalik menatap Cakya.

"Ya...", Cakya menjawab lirih.

"Senang bisa ngobrol sama Om. Terima kasih atas hari ini", gadis kecil itu bicara disela senyumnya.

"Om... Juga senang bisa ngobrol sama kamu", Cakya menjawab lirih.

Setelah gadis kecil itu menghilang masuk kedalam salah satu tenda. Suasana terasa hening seketika, tangisan Cakya pecah. Sekuat tenaga Cakya berusaha untuk tidak mengeluarkan suara.

Dunianya runtuh dalam sekejap.

Bertahun-tahun dia bertahan dengan keyakinannya, Erfly masih mencintainya.

Bertahun-tahun dia berusaha keras untuk mencari jejak Erfly.

Bahkan Cakya memutuskan untuk menikah dengan bu Nanya, karena bu Nanya sepakat untuk tidak menganggu posisi Erfly di hatinya.

Walaupun akhirnya Erca lahir, untuk memenuhi tuntutan ibunya yang menginginkan cucu.

Setelah Erfly pergi hanya dengan selembar surat, Candra bahkan memutuskan pertunangan dengan Wulan. Ibunya jatuh sakit, setidaknya Cakya bisa menghibur dengan kehadiran cucu, untuk menemani hari-hari ibunya.

Kalau kenyataannya seperti ini, lalu untuk apa dia berjuang bertahan selama ini...?