Pertemuan kedua keluarga tertawa kecil bersama-sama melihat tingkah kami berdua—Aku dan Unsiy, dan akhirnya kita semua pergi menuju kediaman keluarga Al-Furqon.
Satu jam setelahnya, sampailah kita di depan rumah yang bisa dibilang sederhana bagi pemilik perusahaan ternama. Namun begitulah seharusnya orang-orang yang diberi rejeki lebih oleh Tuhan, harus memiliki pola hidup sederhana. Kenapa? Karena kebanyakan orang yang memiliki kelebihan—harta, tahta dan kemampuan, itu biasanya tamak dan serakah.
Bisa dilihat dari peperangan yang terjadi di setiap negara, memperebutkan sesuatu yang menguntungkan bagi mereka beserta golongannya. Di tambah, sistem hukum yang ditegakkan lebih condong membela para penguasa yang haus akan kekuasaan, kekayaan, dan kenikmatan duniawi. Ya, hatiku lebih sakit dibandingkan apa yang dirasakan oleh rakyat yang menjadi korbannya, karena ayahku sendiri adalah penguasa daerah di kota Caireborn.
Aku tidak memiliki kuasa untuk melawan para penguasa, terlebih lagi melawan orang tuaku sendiri. Terkadang aku bertanya dan sesekali mengingatkan ayah, agar tidak menjadi penguasa yang menjual moral, hati dan nurani—demi mendapat kenikmatan. Mengapa aku seakan peduli dengan rakyat, akan hirarki penguasa yang tak ada habisnya? Itu karena mataku melihat secara langsung penderitaan yang terjadi di sekitar hidupku. Telingaku sering mendengar kekecewaan dan kekesalan masyarakat, terhadap fakta polemik yang diakibatkan tingkah laku penguasa yang semena-mena—kurang memperhatikan dan jarang mendengarkan aspirasi rakyatnya. Lidahku keluh, hati terasa sakit tatkala kesejahteraan yang seharusnya untuk semua warga negara, malah realita di lapangan terjadi sebaliknya.
"Hey, kok ngelamun?"
Pikiranku dibuyarkan oleh tepukan Maya yang berada tepat di wajahku. Dengan segera aku memundurkan tubuh—karena wajah Maya terlalu dekat dengan wajahku, dan aku tersipu malu karena mengingat karangan cerita golongan Cingkrang.
"Jadi ini ya orangnya, yang bikin teman satu sekolah kritis di rumah sakit?"
Seorang pria paruh baya yang berjalan mendekatiku, lalu berlutut sambil mengelus rambutku yang berwarna tembaga.
"Gak bisa diragukan lagi kalau bocah ini mampu menghabisi lawan-lawannya, apalagi struktur tubuhnya udah terbentuk menjadi petarung. Woy, Mr. John. Jangan bilang Anda yang ngelatih anakmu dari kecil!"
Ia berjalan melewatiku yang tengah duduk di atas sofa, setelah puas mengacak-ngacak rambutku dan menyelesaikan ucapannya.
Aku tidak tahu siapa pria paruh baya tadi, aku hanya mengetahui seragam yang ia kenakan adalah seragam militer negara Amarika. Namun, aku lebih penasaran dengan rasa cokelat yang lagi viral di negara Amarika, karena siapa tahu gadis yang aku cintai suka cokelat. Di tambah cokelat Amarika berkualitas premium, jadi rasa dan manfaatnya tak diragukan lagi.
Tak lama, ayah dan Al-Furqon jalan beriringan—mendatangiku.
Al-Furqon memberikanku sebuah telepon pintar, lalu berkata apa yang sedang kucari ada di dalam benda elektronik berbentuk jam tangan.
"Jam tangan itu prodak uji coba Gua, jadi kalau tiba-tiba meledak jangan salahin Gua ya, Bocah Kampret!" ujar Al-Furqon.
Aku tercengang, melihat sebuah hologram berbentuk tiga dimensi mengapung di atas telepon pintar. Aku mencoba satu persatu fitur yang ada di dalamnya, lalu sampailah aku menemukan apa yang kucari. Ya, keluargaku berkunjung di kediaman Al-Furqon tidak lain hanya untuk memuaskan rasa penasaranku, tentang latar belakang dan rekam jejak dunia sebelum aku lahir.
Aku fokus membaca dokumen-dokumen yang dirumorkan rahasia, ternyata benar adanya. Di dalamnya berisi tentang kejadian perang dunia ketiga , yang di dalangi oleh sebuah sekte bernama LINUMENANTI. Sekte itu berhasil meluluhlantakkan satu dunia dengan menghancurkan lapisan atmosfer bumi, sampai membutuhkan waktu tiga tahun untuk membuat sebuah mesin yang sistem kerjanya mirip seperti kubah menyelimuti penjuru dunia, dari sinar ultraviolet yang sangat mematikan pada kala itu, dan peristiwa itu dinamakan 'Bencana ultraungu'.
"Oh gitu, ya? Ternyata Abhi mantan pasukan khusus dalam perang melawan sekte Linumenati beserta sekutunya."
Semakin dalam membaca, semakin aku menemukan fakta bahwa ayahku adalah subjek tikus percobaan pemerintahan pada masanya. Dari uji coba itu, ayah tidak bisa merasakan rasa sakit dan tidak bisa merasakan dirinya sendiri maupun orang lain. Mungkin penyakit yang di deritaku—CIPA, adalah faktor keturuanan dari gen ayah yang mengalami masa lalu lebih pahit dariku.
Aku melihat ke arah ayah yang tengah berbincang-bincang dengan Al-Furqon. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya ayahku dari kecil hingga sekarang tidak bisa merasakan apapun. Namun tiba-tiba muncul satu pertanyaan, jika ayah tidak bisa merasakan apapun, lantas kenapa bisa mempunyai anak. Apakah aku anak angkatnya? Tapi aku melihat banyak kemiripan antara diriku dengan kedua orang tua, salah satu contohnya adalah warna rambutku sama seperti warna rambut ibu yang berwana tembaga.
Aku yang masih penasaran langsung berjalan ke arah Al-Furqon dan membisikkan rasa penasaranku kepadanya.
"Wahahaha, John. Anak Lu penasaran, kenapa manusia yang dijuluki mayat hidup bisa menghasilkan anak."
Memang benar, jika kita tidak bisa meletakkan sesuatu dengan tepat, maka akan membawa petaka.
Aku hanya tertunduk malu sambil mengepalkan tanganku dengan kencang—meluapkan rasa kesal , setelah Al-Furqon membocorkan pertanyaanku ke semua orang yang ada disitu.
Ayahku langsung menyuruhku duduk di sampingnya, dan berkata bahwa jika Tuhan sudah berkehendak, manusia bisa apa.
"Bang Furqon sudah pernah ribuan kali mencoba menyembuhkan Abhi, dan anehnya selalu gagal. Tapi ketika Abhi sudah bisa benar-benar ikhlas, ridho menerima dan menjalankan hidup ini dengan berpasrah total kepada Tuhan, semuanya berubah total. Pasti ada sebuah jalan yang terduga maupun tak terduga, untuk mengubah sesuai dengan kehendak-Nya" Ujar ayahku.
*PLTAAK!*
Al-Furqon memukul kepalaku, seraya berkata bahwa setiap makhluk adalah potongan puzzle, kita harus mengumpulkan semuanya untuk mengetahui gambaran yang bisa dijadikan jalan keluar.
Otakku sudah terasa panas, nampaknya aku telalu banyak menerima dan mencerna informasi-informasi yang berat.
"Jadi gimana dengan penawanku?" Tanya Al-Furqon.
"Penawaran apa, Om?" Aku menjawab sambil memejamkan mata—tengah mendinginkan otak.
"Tck, ayahnya punya daya ingatan yang luar biasa, malah anaknya biasa-biasa saja." Ucap Al-Furqon.
"Iya-iya, aku inget kok. Cuma otakku lagi panas, Om. Jadi aku belum bisa baca dokumen tawarannya sekarang," Aku menyahut dengan nada yang sedikit kesal, karena dibanding-bandingkan dengan ayahku.
"Aku terima tawaran dari Om, asalkan Om traktir aku beliin coklat yang lagi viral itu, ya." Aku berkata sambil merebahkan diri ke sofa berwarna putih, lalu membenamkan wajah pada bantal kecil.
"Dasar Kampret, Gua traktirin cokelat sampe Lu mampus kena diabetes. Intinya isi tawaran dari Gua tugasnya cuma Lu harus nguasain sekolah-sekolah yang ada di kota Cairebon dulu, sampe angka pembullyan menurun, dan setelah itu reformasi sistem pendidikan Gua yang urus," Ujarnya.
Aku rasa penilaian tentang Al-Furqon yang bisa dijadikan sosok panutan selain ayah ternyata kurang tepat, karena dia itu gila. Ya, sekalinya melakukan hal dengan serius, bisa mengguncang sistem tatanan dunia yang sudah ada dari dulu. Aku membayangkan bagaimana ayah bersamanya sejak dari bangku SMK, pasti apa yang dilakukan oleh Al-Furqon dengan serius menimbulkan banyak polemik dan tak sedikit mengorbankan sesuatu. Sialnya aku, jika aku yang dikorbankan untuk mencapai apa yang diinginkan oleh Al-Furqon.
"Om udah gila, ya? .....