webnovel

Diary 2

16 Januari 2042. Aku memasuki fase remaja, dan bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri 02, setara dengan sekolah menengah pertama.

Di sekolah, aku mendapatkan kelas 7F, dimana siswa-siswi yang ada di kelas tersebut adalah titipan dari seseorang maupun siswa ,yang nilai ujian nasionalnya di bawah persyaratan untuk diterima oleh sekolah itu.

Hari pertama dilewati dengan berkenalan dan menentukan geng yang secara natural terbentuk oleh manusia itu sendiri.

Beberapa bulan setelahnya. Aku merasakan intimidasi dari geng-geng yang ada di kelas, sebab diriku memiliki kekurangan dalam wicara—dengan tempo berbicara yang cepat dan tak jarang menyebabkan gagap.

Harus aku akui, mental yang rapuh akibat pola asuh orang tua kepada sang anak, sangat berpengaruh dalam pandangan hdiup dan kehidupannya.

"Woy, Donald Bebek. Sini PR Lu, gue pengen nyontek." Ucap seseorang di belakangku.

Aku segera membalikan badan dan melihat orang tersebut.

"Kamu tau sendiri nilai PR-ku selalu kecil, bener masih pengen nyontek?" Aku bertanya sembari memberikan buku kepadanya.

"Ada kijang makan bekicot. Udah, jangan banyak bacot!"

Ia segera mengambil buku milikku, lalu mengerjakan tugas sekolah dengan menyontek.

Bel waktu istirahat sudah berbunyi, seseorang di belakang memukul kepala menggunakan buku yang sudah ia tekuk.

*Plak*

"Eh kutil babi, kenapa PR Lu yang jawaban yang bener cuma dua?!" Ia berucap, sambil merangkul dan mencengkeram pundak kiriku.

"Tadi pagi kan aku udah ngomong ke kam …."

"Iya, Lu udah ngomong, tapi Lu sengaja biar gak dicontekin sama gue lagi, kan?

"Engga git …."

Mulutku dipukul menggunakan buku yang lumayan tebal, saat mencoba membela diri.

"Engga apa, hah! Lu kira gue goblok? Nilai ulangan Lu selalu besar dan kadang sampe nilai 100, masa setiap ngerjain PR cuma dapet nilai 30 sampe 50."

Kalau memang ia tidak bodoh, kenapa masih mengandalkan orang lain? dan biasanya manusia seperti itu selalu memagut penderitaan.

Aku hanya diam, karena apa yang diucapkannya benar. Aku memang sengaja melakukan itu, sebab teringat oleh ajaran orang tua dan guru agamaku. Pada intinya aku menggabungkan nasihat dari mereka, yang ingin diriku membimbing orang lain secara tidak langsung. Namun, cara yang aku ambil ternyata kurang tepat, sehingga tulang hidungku patah oleh pukulan telak mengenai hidung dan bibir bagian atas.

Tubuh ini lemas tatkala melihat kentalnya darah, sehingga aku tak kuasa untuk membela diri ketika dadaku ditendangi oleh pria, yang tak terima selalu dibodohi olehku.

Kaum hawa berteriak karena panik, sementara yang lainnya berusaha memisahkan pertengkaran itu.

Setelah berhasil memisahkanku, aku dibawa ke ruang UKS untuk diobati dan beristirahat, akan tetapi salah seorang siswi yang mendaptkan jadwal menjaga UKS mendatangiku.

"Nih teh angetnya, Dek."

Wanita manis berkulit putih dan berwajah seperti suku arab, menaruh teh hangat di atas meja modular—sementara aku menaruh rasa teh yang terlihat manis itu kepadanya.

Aku berterima kasih dan mencoba mengajak wanita itu untuk mengobrol, akan tetapi kekuranganku dalam wicara membuat malas untuk berinteraksi dengannya. Ya, itulah diriku yang selalu terkena mental, sebelum berperang dalam hal berkomunikasi.

Wanita itu berjalan membelakangiku yang tengah duduk di atas ranjang dinding, meninggalkan sebuah rasa penasaran dan sebuah perasaan.

Tak lama berselang, seorang pria paruh baya mendatangiku dan memperkenalkan dirinya sebagai guru BK yang bernama Pak Tikno.

"Gimana hidungnya, masih sakit?" ucapnya.

"Hamdallah engga, Pak." Sahutku.

Dia menanyakan kronologi perundungan yang dialami olehku, lalu aku menjawab sesuai fakta yang sudah terjadi.

"Kalau gitu, Bapak akan manggil orang tuamu dan orang tua dia juga ya."

Sontak itu membuat bulu roma langsung bereaksi dan jantungku berdegup dengan kencang.

"Eng engak usah, Pa … Pak!?" Aku menyahut dengan cepat, hingga kekurangan wicaraku semakin memburuk.

"Tarik nafas dulu, gak usah buru-buru ngomongnya."

Akhirnya, aku menjelaskan pada Pak Tikno tentang kekuranganku dalam hal wicara, dan mengatakan kepadanya bahwasanya aku sudah memaafkan pria yang sekelas denganku. Aku berharap masalah itu tidak sampai memanggil kedua wali siswa, karena tindakan represif tidak akan bisa diterima sepenuhnya oleh salah satu pihak. Namun jika pihak sekolah mau berbenah diri, maka benahi terlebih dahulu tindakan preventif yang masih kurang efektif.

Pak Tikno mendengarkan semua perkataanku dari awal sampai akhir. Dia mengelus pundakku sembari tersenyum, lalu pergi dari ruangan UKS.

Setelah merasa baikkan, aku berjalan mencari kamar mandi untuk mencuci gelas teh yang sudah kuhabiskan.

Ketika hendak masuk ke dalam kamar mandi, dengan pintu yang tertutup. Aku ditahan oleh wanita yang membawakan teh hangat padaku, dan tidak sengaja menyikut payudaranya yang berukuran 36DD.

Aku langsung meminta maaf kepadanya, dan kejadian itu membuatku pasrah akan penilaian wanita itu.

"Iya gak apa-apa, Dek. Soalnya temen Kakak ada di dalem kamar mandi, dan pintunya gak bisa dikunci."

Suaranya yang halus juga lembut, membuat jiwa ini menjadi tenang.

"Kalau boleh tau, nama Teteh siapa?"

Aku memberanikan diri untuk bertanya, meskipun kesan pertamaku dengannya tidak mengenakkan---karena menyentuh payudara yang sedikit lebih besar dari teman seusianya.

Wanita itu bernama Claire Ad-Dawiyah, kelas 8A yang terkenal dihuni oleh orang-orang pintar dan berbakat. Lalu aku juga mengenalkan namaku kepadanya, dan memberanikan diri untuk meminta nomor teleponnya.

Claire menolak permintaanku secara halus, dia berkata akan memberikan nomornya jika sudah mengenalku sepenuhnya. Ya, alasan yang kurang logis tapi aku sadar diri akan perbedaan penampilan. Aku yang memiliki penampilan biasa saja dan hanya mengandalkan kulit putih bersih, jauh berbeda dengannya yang memiliki bentuk wajah dan tubuh sangat ideal untuk dikatakan bidadari. Ya, semua itu berdasarkan persepsiku saja. Jadi, aku tak terlalu perduli dengan benar atau tidaknya, selagi itu masih persepsi yang berupa asumsi maka tidak ada kewajiban untuk patuh terhadap hal itu.

Akhirnya aku pergi dari ruangan UKS, setelah mencuci gelas bekas teh hangat paling nikmat sepanjang masa---bagi orang yang tengah jatuh cinta pada pandangan pertama.

Beberapa jam kemudian, jam sekolah berakhir dan semua siswa segera keluar dari dalam sekolah. Namun di tengah perjalanan pulang, aku melihat laki-laki yang mematahkan hidungku berdiri bersama dua orang.

Aku berjalan mendekati mereka, tapi salah satu dari mereka menarik tas bermerek 'SUCI'.

Aku berkata pada mereka ada apa, akan tetapi mereka menjawab untuk ikut sambil merangkulku.

Aku dibawa ke sudut lapangan bola, dekat sekolahku. Ya, lapangan itu adalah tempat dimana teman-teman masa kecil ditangkap polisi, dan rumahku masih satu desa dengan tempat itu.

Aku mendengar laki-laki berambut keriting menyulut emosi pria yang mematahkan hidungku.

"Kamu satu kelas sama aku, kan" aku bertanya kepada pria yang membuatku dapat bertemu dengan Claire---bidadari surgaku.

"Lu pikun atau pura-pura lupa, hah!? Sama temen sekelas sendiri malah gtw. Nama gue Robby Pertateian."

Laki-laki berambut putih berkata bahwa aku berpura-pura lupa, agar bisa menjatuhkan harga diri Robby secara tidak langsung. Sontak, hal itu membuat Robby mencengkeram kerah baju sambil mengeluarkan perkataan yang mengintimidasiku.

Aku tersenyum tipis atas celotehannya itu, sampai-sampai telapak tangan mendarat pada pipi kiriku.

"Wah parah, Ente diremehin tuh sama dia."

"Lo goblok atau dungu Robby, masa temanmu masih senyam-senyum gitu, mana harga diri Lo?"

Aku menatap manik mata Robby yang nampak terpancing oleh hasutan kedua temannya.

"Anjing! Kirik! Asu!" Robby berkata sambil menampari pipiku dengan keras.

"Kenapa Cuma diem, Hah!? Mana senyum Lu yang tadi."

Dia masih menampari pipi, lalu berlanjut menampar kepalaku.

"Udah cukup, gak asik ah. Kuy kita main ps aja di Bi Bena." Laki-laki berambut keriting menyela, sambil menarik pundak Robby.

Akhirnya mereka bertiga berjalan meninggalkanku, akan tetapi ocehan dan hinaan masih terlontar dari muncung Robby tentangku, sampai dia berani menjelek-jelekkan orang tua yang sangat kuhormati.

"Coba katakana sekali lagi orang tuaku menyesal, karena sudah ngelahirin anak prematur sepertiku!" Aku berseru dengan suara keras dan nada yang lembut lembut.

"Emang bener, kan? orang tua Lu nyesel ngelahirin anak premature yang kalau ngomong gak jelas dan gagu!"

Aku mendatangi Robby beserta kedua temannya, lalu ....