webnovel

Episode 18

Dua puluh tiga tahun kemudian, dimasa kini.

Butuh waktu berjam-jam untuk kembali ke kota.

Malam itu, cahaya lampu kota memantulkan bayangan pada kaca restoran mewah di ibu kota, tempat pertemuan penting diadakan. Di dalam, atmosfernya penuh dengan ketegangan dan harapan, sebuah kontras dengan kelezatan hidangan yang disajikan.

Aku duduk di restoran itu, menatap satu per satu wajah di sekelilingku. Cahaya lampu yang redup memberikan kesan hangat, namun atmosfer yang kubaca dari setiap wajah menunjukkan ketegangan.

Sharman, berdiri dengan postur yang menunjukkan ketegasannya, tampak berdiskusi dengan serius bersama Dewan Militer. Lucia, di sisi lain, duduk dalam diam, matanya sering melirik ke arahku, seolah mencari jawaban dari tatapanku.

Tiba-tiba, Ciel, pengguna Buku Kehidupan masa kini, yang penampilannya telah mengubah dinamika pertemuan sebelumnya, memasuki ruangan. Langkahnya yang anggun seketika menarik perhatian semua orang.

"Aku yang mengusulkan pertemuan ini," ujar Ciel dengan suara tenang yang memecah kesunyian. "Kita harus mengambil tindakan bersama melawan pengguna Buku Kematian."

Sharman tampak ragu. "Meski kita memiliki tujuan yang sama, tapi cara kita mungkin berbeda. Apa yang kamu usulkan?"

Ciel menatap Sharman, lalu ke arahku. "Lutfi, kau juga harus terlibat. Ini bukan hanya tentang kita, tapi tentang masa depan yang akan kita hadapi."

Aku merasa terjepit di antara mereka. "Aku hanya ingin kembali ke masaku," ucapku, suaraku hampir tidak terdengar.

Lucia akhirnya bersuara, "Kita semua memiliki alasan sendiri. Tapi, bukankah lebih baik jika kita bisa mencari jalan bersama?"

Diskusi berlanjut dengan perbedaan pendapat. Sharman dan Dewan Militer lebih fokus pada strategi dan kekuatan militer, sedangkan Ciel menekankan pentingnya kecerdasan dan kehati-hatian. Aku, di sisi lain, merasa terbagi antara keinginan untuk kembali ke masa laluku dan tanggung jawab yang kini kubawa.

Saat pertemuan berakhir, aku merasa ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Kami semua berdiri dan meninggalkan restoran dengan pikiran masing-masing yang kacau. Langit malam di atas kami tampak begitu luas dan misterius, seperti takdir yang masih menyimpan banyak rahasia.

Malam itu, setelah meninggalkan restoran, aku berjalan menyusuri jalanan yang tenang, langkahku terasa berat. Angin malam yang sejuk menyapu wajahku, membawa denganinya pertanyaan dan keraguan yang menggelayuti pikiranku. Aku merenung, memikirkan setiap kata yang terucap dalam pertemuan tadi, setiap tatapan yang bertemu, dan setiap harapan yang tergantung pada keputusan kami.

Sharman, dengan pandangan yang tajam dan teguh, memiliki kepercayaan pada kekuatan dan strategi. Dewan Militer, yang lebih pragmatis, menekankan pentingnya tindakan yang terkoordinasi. Lucia, tampaknya, lebih melankolis, seolah meratapi takdir yang telah mempertemukan kami semua di titik ini.

Dan Ciel, dengan aura misteriusnya, membawa pesan yang lebih dalam, seolah mengerti alur takdir yang belum terungkap sepenuhnya. Dia telah mengusulkan pertemuan ini, tapi apa tujuannya sebenarnya? Aku tahu sedikit tentang buku kematian, tapi apakah situasinya benar-benar serius. Apakah dia sangat berbahaya?

Aku mendengar dia mempunyai rencana yang gila. Rencana yang bahkan akan menghancurkan dunia, itu terdengar sedikit di lebih-lebihkan untukku.

Di tengah keheningan malam, aku berhenti sejenak dan menatap langit. Bintang-bintang bersinar dengan cahaya yang lembut, namun jauh di balik cahaya itu, ada gelap yang tak terukur. Aku merasa seperti terombang-ambing di antara masa lalu dan masa depan, terjebak dalam pergulatan internal yang tak kunjung usai.

"Aku hanya ingin kembali," gumamku pelan. "Kembali ke tempat dan waktu dimana semuanya masih sederhana, dimana aku belum terbebani oleh keputusan dan pertempuran yang menentukan nasib dunia."

Tapi, apakah itu benar-benar mungkin? Atau apakah aku sudah terlalu jauh terseret dalam arus takdir yang tak bisa kutolak? Aku mengingat kembali wajah-wajah di restoran tadi - setiap wajah membawa kisahnya sendiri, setiap wajah menunjukkan kekuatan dan ketakutan.

Aku melanjutkan langkahku, merenung dalam kesunyian. Suara langkahku di jalanan kosong ini seperti irama yang monoton, mengiringi pikiranku yang terus berputar. Aku sadar bahwa perjuangan ini lebih dari sekadar pertarungan fisik; ini adalah perjuangan untuk menemukan arti, untuk memahami peran kita dalam alur besar kehidupan.

Malam itu, aku akhirnya tiba di penginapan yang kusewa, tubuhku lelah, pikiranku penuh dengan pemikiran. Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit yang gelap, dan membiarkan diriku tenggelam dalam dunia pikiranku sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan yang mungkin tidak pernah kutemukan.

Episode berakhir dengan adegan aku yang tenggelam dalam dunia pikiran, dengan wajah yang terpantul samar di jendela kamar, mencerminkan pergulatan batin yang kuhadapi. Di luar, malam semakin larut, dan bintang-bintang terus bersinar, seolah menjadi saksi bisu atas pergulatan yang kualami.

Di tengah malam yang semakin larut, aku, Lutfi, merasa ada yang mengganggu tidurku. Aku bangun, hatiku gelisah. Di luar jendela penginapanku, bintang-bintang masih terpantul di langit yang kelam. Aku merasa perlu berbicara dengan seseorang, membagi beban pemikiranku.

Dengan langkah yang masih ragu, aku memutuskan untuk menemui Sharman dan Lucia. Aku tahu mereka menginap di penginapan yang sama, hanya beberapa pintu dari kamarku. Aku mengetuk pintu Sharman terlebih dahulu.

Sharman membuka pintu, wajahnya tampak terkejut tapi kemudian berubah menjadi ekspresi pengertian. "Lutfi? Ada apa? Kamu tidak bisa tidur?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku... Aku hanya merasa perlu berbicara."

Sharman mempersilakan aku masuk, dan kami duduk di ruang kecil itu. Tidak lama kemudian, Lucia juga bergabung dengan kami setelah Sharman mengirim pesan kepadanya. Wajah Lucia tampak lelah, namun matanya masih menunjukkan kepedulian.

"Ada apa, Lutfi?" tanya Lucia dengan lembut.

Aku menghela napas. "Aku merasa terbebani. Pertemuan tadi, semua rencana yang kita buat... Aku tidak yakin apakah kita benar-benar bisa mengalahkan pengguna Buku Kematian. Dan... Aku masih bingung dengan peranku di sini."

Sharman menatapku, matanya menunjukkan kekuatan dan pengertian. "Kita semua merasakan hal yang sama, Lutfi. Ini bukan pertarungan yang mudah. Tapi, kita tidak punya pilihan lain selain melawan."

Lucia menambahkan, "Kau lebih dari sekadar pengguna Buku Kehidupan, Lutfi. Kau telah membawa kami semua bersama. Tanpa kau, kita mungkin tidak akan pernah bersatu seperti ini."

Aku menatap mereka berdua, merasakan kehangatan dari kata-kata mereka. Mungkin mereka benar. Mungkin ini memang takdirku.

"Terima kasih," kataku, suaraku bergetar sedikit. "Aku hanya... Aku hanya ingin semua ini berakhir dengan baik. Aku ingin kita semua bisa melihat hari esok yang lebih baik."

Kami bertiga duduk bersama untuk beberapa waktu lagi, berbicara tentang masa lalu, masa depan, dan tentunya, tentang pertempuran yang akan datang. Ada rasa solidaritas di antara kami, sebuah ikatan yang telah terjalin dalam perjuangan dan harapan.

Saat aku kembali ke kamarku, langkahku terasa lebih ringan. Percakapan itu telah memberiku kekuatan baru. Aku berbaring kembali, dan kali ini, aku merasa bisa tidur lebih tenang.

Episode berakhir dengan adegan aku, Lutfi, yang akhirnya tertidur lelap. Di luar, malam masih berlangsung, tapi di hatiku, ada cahaya harapan yang baru muncul, membawa kekuatan dan ketenangan.

Setelah percakapan mendalam dengan Sharman dan Lucia, aku, Lutfi, merasa ada perubahan dalam diriku. Aku memutuskan untuk kembali ke ruang pertemuan di restoran, tempat dimana segalanya dimulai malam ini. Aku ingin melihat sekali lagi tempat di mana aliansi tak terduga ini terbentuk.

Ketika aku sampai, aku mendapati bahwa Sharman, Lucia, dan yang lainnya telah kembali juga. Mereka tampaknya memiliki pemikiran yang sama denganku: ingin merenungkan apa yang telah kita putuskan dan apa yang akan kita hadapi.

Di sana, kami berdiri, lingkaran para pengguna buku - kekuatan. Kami semua, dari Sharman dengan tekad besinya, Lucia dengan kebijaksanaannya, Ciel dengan misterinya, hingga Shannon dengan aura pertarungannya, menyadari bahwa kami bukan lagi individu yang bertarung sendiri-sendiri.

Aku berjalan mendekati mereka, dan Sharman menepuk pundakku, memberikan dukungan. "Lutfi, malam ini, kita semua telah membuat keputusan yang akan mengubah sejarah," katanya.

Lucia tersenyum kepadaku, "Kita semua memiliki peran dalam cerita ini, dan aku percaya bahwa bersama, kita bisa mengubah akhir cerita."

Ciel, dengan tatapan yang tajam, menambahkan, "Pengguna Buku Kematian mungkin kuat, tapi mereka belum pernah menghadapi kekuatan seperti kita. Bersama, kita akan menunjukkan bahwa kegelapan tidak akan selalu menang."

Kami semua, berdiri dalam lingkaran itu, menyatukan tangan. Sebuah simbol persatuan dan kekuatan. Shannon, yang sebelumnya selalu tampak jauh dan dingin, kini berdiri bersama kami, menunjukkan bahwa bahkan yang paling tidak terduga bisa menjadi bagian dari perubahan.

"Kita akan melawan bersama," kataku, suaraku penuh dengan keteguhan yang baru kutemukan. "Bersama, kita akan mengalahkan pengguna Buku Kematian dan melindungi dunia ini."

Malam itu berakhir dengan kami semua yang berdiri bersama, menghadap ke luar restoran, menatap ke arah langit malam. Kami tidak hanya berbagi takdir yang sama, tetapi juga keberanian dan harapan. Kami adalah aliansi yang tidak akan mudah dipecahkan, aliansi yang akan berjuang hingga akhir untuk melindungi apa yang kami percayai dan cintai.