webnovel

sembilan belas

Minami menyambut mereka di depan pintu dengan ramah, dia sempat merangkul mereka berdua sebentar. Dua orang penyelidik itu tidak bisa menebak dengan pasti, Minami seperti apa yang akan mereka temui. Perempuan itu bisa bertabiat ramah, dan terkadang bisa sangat menakutkan. Mungkin karena eksekusi hukuman mati Furuya Satoru sudah sangat dekat, dia bisa bersikap ramah dan penuh semangat. Mereka berdua berjalan mengekor Minami memasuki rumah berlantai dua yang nyaman di kawasan pinggiran kota itu. Mereka berjalan menuju ruangan cukup luas di belakang garasi. Ruang yang sengaja diatur selama bertahun-tahun untuk mengekspresikan segala sesuatu yang berhubungan dengan kasus Bella Stefa. Sebagian dari ruangan itu dipenuhi dengan almari arsip, sementara sisanya adalah tempat yang dipergunakan untuk pemujaan terhadap anak perempuannya. Ada banyak foto yang dipajang. Beberapa potret foto dihadiahkan setelah kematian Stefa, sebagian foto berasal dari pengagumnya, sebagian terdiri dari penghargaan; piala-piala, sejumlah pita, plakat dan hadiah dari kelas IPA di tingkat delapan. Potret-potret itu seolah-olah merangkum sebagian besar perjalanan hidup Stefa selama ini.

Ryusei, suami kedua Minami sekaligus ayah tiri Stefa sedang tidak di rumah. Dia semakin jarang tidak ada di rumah semenjak suasana berkabung menyelimuti keluarganya. Desas-desus gosip menyebar. Di mana salah satunya menganggap bahwa Ryusei tidak tahan menghadapi perasaan duka dan keluh-kesah istrinya terus-menerus tidak ada habisnya.

Minami menghidangkan kopi untuk mereka berdua. Setelah berbasa-basi sedikit, obrolan mereka langsung mengarah ke topik eksekusi.

"Nanti kau akan mendapatkan jatah lima tempat di ruang saksi mata. Siapa saja yang akan kau ajak?" tanya Tetsu.

"Aku…"

"Tentu saja."

"Aku, Ryusei, dan dua saudaraku, tapi mereka belum pasti. Kemungkinan akan hadir juga. Lihat nanti." Minami menyebutkan adik laki-laki dan perempuan setengah tiri Stefa. Masih belum pasti. Seolah-olah mereka yang disebutkan itu tidak mempunyai komunikasi yang baik.

"Jatah kelima itu mungkin akan diambil oleh Jacob. Sebenarnya dia tidak ingin melihat eksekusi itu. Hanya saja dia merasa punya kewajiban untuk hadir karena simpati dengan kami."

Jacob adalah seorang Pendeta Gereja Baptis Pertama. Jacob menetap di Kanto kira-kira sudah tiga tahun, sudah jelas dia tidak pernah mengenal bahkan melihat Stefa. Namun dai sudah terlalu yakin pada kesalahan Furuya Satoru dan dia takut untuk menentang Minami.

Mereka bertiga membahas sebentar terkait prosedur eksekusi hukuman mati; saksi mata, jadwal, dan beberapa peraturan yang lain.

"Ada satu hal lagi."

"Katakan."

"Bisakah kita ngobrol sesuatu tentang besok?" tanya Tetsu.

"Oke."

"Apa kau masih punya rencana untuk menemui Najwa?"

"Iya. Saat ini dia masih ada di kota. Dan kami berencana untuk membuat filmnya jam sepuluh pagi. Ya, di sini tempatnya. Kenapa kau menanyakan itu?"

"Aku tidak terlalu setuju dengan rencana itu," balas Tetsu. Bonjamin menganggukkan kepalanya, pertanda setuju.

"Kenapa?"

"Dia seorang provokator, Minami. Dia kerap membesar-besarkan sesuatu. Aku khawatir dengan akibat yang akan terjadi…"

"Jangan berbicara seolah-olah cuma kau yang tidak setuju, Tetsu." Bonjamin menyergah.

"Ya, kami khawatir dengan dampak yang akan terjadi usai Kamis malam. Kau mengerti bukan, betapa gusarnya sebagian orang kulit hitam?"

"Kami mengira kalau nanti ada kerusuhan yang akan terjadi," tambah Bonjamin.

"Aku tidak berniat mencari gara-gara dengan orang kulit hitam. Tapi kalau mereka memulainya, tinggal tangkap saja," timpal Minami.

"Justru itu situasi yang tepat bagi seorang Najwa, Minami. Dia adalah seorang provokator. Orang media identik dengan menggembar-gemborkan keadaan. Mereka memulai menciptakan kerusuhan, dan begitu kerusuhan terjadi, mereka akan berada di tengah-tengahnya. Upaya itu dilakukan untuk membantu menaikkan nilai acaranya."

"Yang dilakukan mereka terhadapmu adalah semata-mata karena itu, semua hanya tentang nilai acaranya," lanjut Bonjamin.

"Haik-haik. Itu membuat kita semua gusar, ya," sindir Minami.

Sean Najwa merupakan seorang perempuan sekaligus pembawa acara yang berlokasi di Tokyo. Kariernya sangat panjang dalam industri media. Dia menemukan pasarnya di industri televisi dengan meliput kasus-kasus pembunuhan yang sensasional. Pun begitu, dia memiliki perspektif yang kontroversial, dia kerap mendukung terjadinya eksekusi hukuman mati, atau pengusiran-pengusiran para imigran ilegal, mereka semua adalah kelompok yang mudah disasar dan berguna banyak terhadap pesatnya perkembangan industri televisi di tempatnya. Singkatnya, acaranya tidak bisa dibilang orisinil, tetapi Najwa mendapatkan popularitas dan dikenal karena upayanya dalam membuat film-film eksklusif terhadap setiap keluarga korban saat mereka menghadiri eksekusi. Salah satu momen yang membuatnya populer adalah ketika kerja samanya dengan kru teknisnya yang mampu menyembunyikan kamera berukuran kecil dan diseliplkan pada kacamata seorang ayah dari anak laki-laki yang terbunuh di Fukuoka. Untuk pertama kalinya dunia menyaksikan sebuah eksekusi hukuman mati, dan Sean Najwa mempunyai arsip rekaman itu. Najwa menayangkan rekaman itu berulang kali. Dan setiap kali dia menayangkan itu, dia selalu mengungkapkan betapa mudahnya dia melakukan itu, itu terlalu gampang bagi seorang pembunuh sadis.

Tidak lama berselang, di Fukuoka, dia digugat oleh salah seorang keluarga dari laki-laki yang mati itu, dan dia diancam dengan kematian dan sensor. Namun, Najwa tetap bertahan. Semua tuduhan yang dilayangkan padanya tidak mempan. Tentu saja pengadilan lebih cerdas daripada masyarakat biasa. Mereka tidak tahu dengan jelas kejahatan apa yang telah dilakukan oleh Najwa. Atau lebih tepatnya, seluruh tuduhan yang dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan itu tidak masuk dalam tindakan melawan hukum. Kemudian gugatan tersebut dihapus. Tiga tahun setelah kejadian itu, dia bukan merasa trauma sedikit pun, justru dia semakin berada di puncak tumpukan sampah televisi kabel. Lalu saat ini, dia tengah berada di Kanto, sedang bersiap menyusun rencana lain. Menurut desas-desus gosip yang beredar di masyarakat, Najwa telah membayar 500.000 yen pada Minami untuk acara khusus itu. Tentu saja angka-angka itu bukanlah angka sembarangan.

"Tolong pertimbangkan agenda itu sekali lagi," pinta Tetsu.

"Tidak, Murasakibara. Aku tidak perlu mempertimbangkan lagi. Semua ini untuk Stefa, untuk semua keluargaku, juga untuk para korban di luar sana. Dunia wajib melihat mengenai apa yang telah monster itu lakukan pada kami."

"Tapi apa untungnya?" sergah Bonjamin. Baik dia dan Tetsu sama-sama tidak mempedulikan telepon yang datang dari tim produksi Najwa.

"Menurutku, kalau hukum tidak bisa berubah, mungkin bisa diubah."

"Tetapi hukum sedang bekerja dalam kasus ini, Minami. Mungkin benar waktu yang dibutuhkan agak terlalu lama. Tapi menurutku, sembilan tahun tidak terlalu buruk."

"Kau terlalu banyak bicara tentang kata tidak terlalu dan mungkin. Dua kata itu tidak bisa dirasakan oleh seorang ibu yang kehilangan putri yang sangat dia sayangi. Kau tidak menjalani rangkaian mimpi buruk kami selama sembilan tahun."

"Jelas tidak. Dan aku tidak mau sibuk berpura-pura untuk memahami apa yang kau rasakan selama sembilan tahun. Namun, mimpi buruk itu tetap tidak akan berakhir Kamis malam." Itu sudah pasti, apabila Minami ikut campur tangan.

"Kau tidak bisa membayangkannya, Murasakibara. Aku sudah bilang tidak. Sekali tidak, ya, tidak. Aku akan tetap melakukan wawancara dan pertunjukan film dokumenter itu akan tetap berlangsung. Dunia perlu melihat akan seperti apa prosesnya."

Mereka sudah menduga kalau rencana mereka tidak akan berhasil, mereka tidak terkejut dengan itu. Sekali Minami Stefa membuat keputusan; mutlak. Pembicaraan itu sudah selesai sejak Minami sudah membuat keputusan. Tetsu dan Bonjamin sengaja mengubah taktik.

"Ya, sudah. Kalau begitu terserah kau saja. Dan apalah kau dan Ryusei merasa aman?"

Minami membalas dengan tertawa setengah geli. "Tentu saja, Detektif. Rumah kami dikelilingi pistol. Dan para tetangga selalu siap siaga. Setiap mobil yang melintas, selalu melihat ada senapan di rumah kami. Perkiraanku, tidak akan ada masalah."

Tetsu dan Bonjamin saling menatap bergantian sebentar.