webnovel

dua puluh

"Ada beberapa panggilan masuk dari seorang tanpa nama ke kantor polisi. Seperti biasa, orang anonim menyasar kami dengan berbagai ancaman apabila pemuda itu jadi dieksekusi."

Tawa gelinya tadi kemudian berubah jadi ekspresi yang datar. "Aku yakin kalian bisa menanganinya. Itu bukan wewenangku," ucap Minami. Dia tidak merasa was-was atau prihatin sama sekali. Sejak dia berjuang sendirian untuk mencetuskan genderang perang, dia lupa seperti apa itu rasa takut.

"Kurasa kita harus mulai mencicil beberapa mobil untuk kita tempatkan di sini selama sisa minggu ini," usul Bonjamin.

"Terserah kalian. Tidak jadi masalah buatku. Toh meskipun ada pemberontakan dari orang-orang kulit hitam, bukankah pertama-tama mereka mulai menyasar dengan membakar gedung mereka sendiri?"

Dua aparat penegak hukum itu mengedikkan bahu. Keduanya tidak punya banyak pengalaman terkait dengan kejadian kerusuhan. Kanto adalah kota yang minim dengan isu-isu rasial. Pengetahuan mereka berdua terkait isu-isu rasial hanya sebatas apa yang pernah mereka lihat di televisi. Dan sepengetahuan mereka, kalau kerusuhan yang melibatkan polemik rasial itu kerap terjadi pada daerah kumuh.

Mereka berbicara lagi selama beberapa menit. Dan tiba saatnya mereka berdua untuk pamit. Saling berpelukan sejenak dan berjanji bertemu lagi usai eksekusi. Betapa melegakannya hari itu. Seolah-olah dianggap keadilan telah terwujud.

***

Hari itu, Robert Eijun menghentikan mobilnya tepat di depan kediaman Furuya Satoru. Dia mencoba menguatkan dirinya untuk sebuah pertemuan khusus.

"Sudah seberapa sering kau ke sini?" tanya penumpangnya.

"Entahlah."

"Sudah terlalu sering sampai kau tidak tahu jumlahnya."

Eijun membuka pintu. Disusul dengan perempuan itu melakukan gerakan yang sama.

"Aku harus mencobanya," gumam Eijun.

Nama perempuan itu adalah Martha Tristin. Dia seorang wartawan lepas yang tidak bekerja untuk siapa saja, tapi terkadang dia dibayar oleh majalah-majalah terkemuka. Dia tertarik dengan kasus Furuya Satoru sejak pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Kanto dua tahun silam. Waktu itu bertepatan dengan merebaknya skandal Murasakibara Tetsu. Dia dan Eijun sering menghabiskan waktu bersama. Tentu saja secara profesional—urusan pekerjaan. Memang ada kemungkinan-kemungkinan bahwa banyaknya jam yang sering mereka lalui bersama menjadikan Eijun tertarik padanya. Tapi, kalau bukan karena fakta kesetiaan Eijun pada teman hidupnya yang sekarang—perempuan dengan usia dua puluh tahun lebih muda—mungkin hal itu akan benar terjadi.

Sementara itu, Tristin sudah tidak percaya lagi pada pernikahan. Dia juga tidak terlalu jelas memberikan sinyal—apakah terbuka atau tertutup. Pun beberapa kali keduanya diserang ketegangan seksual, terlihat mereka berdua berusaha bertahan untuk menepis dorongan untuk berkata ya. Dan sejauh ini, keduanya berhasil.

Awalnya, Tristin mengatakan bahwa dirinya tengah menulis buku untuk perjalanan kasus Furuya. Dan sebuah artikel panjang tentang Presumed Innocent. Lalu mengenai kasus populer yang terjadi di Tokyo. Serta satu lagi, dia menggarap skenario film yang akan diproduksi oleh seorang mantan suaminya. Menurut Eijun sendiri, Tristin adalah seorang penulis yang terbilang lumayan, dengan sistem ingatan yang luar biasa. Namun dia termasuk orang yang kurang dalam bidang pengorganisasian dan perencanaan. Seperti apa hasil akhirnya nanti, Eijun memiliki hak veto mutlak. Dan apabila proyek dari Tristin mampu menghasilkan uang meskipun hanya satu sen, dia dan keluarga Furuya Satoru berhak juga mendapatkan bagian. Selama dua tahun bersamanya, Eijun sudah tidak mengharapkan imbalan apapun. Tristin itu, seorang perempuan yang judes nan lucu, blak-blakan, fanatik, membenci luar biasa terhadap orang-orang yang dijumpainya di Kanto. Dia salah satu perempuan langka yang betah bermain poker hingga larut malam.

Ruang tamu itu lumayan sesak. Minami Satoru sedang duduk di kursi piano. Dua saudara Furuya Satoru juga ada di sana. Salah satunya adalah anak laki-laki dari Minami yang sekaligus merupakan kakak sulung dari Furuya, namanya Aomine Satoru—dia sedang duduk di sofa sambil memangku batita. Pun ada Pendeta mereka—Pendeta Hanamiya—sedang duduk di kursi lainnya. Eijun dan Tristin sedang duduk berdempetan di kursi kuno yang diambilkan dari ruang dapur. Tristin sudah sering ke dapur, bahkan pernah memasak di sana ketika Minami sedang demam. Setelah sapaan formal dan kebiasaan berpelukan serta suguhan secangkir kpi, Eijun memulai topik pembicaraan. "Tidak ada sesuatu yang baik hari ini. Besok, dewan pembebasan bersyarat mengeluarkan keputusan. Seperti sebelumnya, tidak ada rekomendasi pengampunan. Kami mengira justru hanya akan ada penolakan, lalu kami mengajukan banding ke Kantor Gubernur hanya untuk mendapatkan penangguhan. Kurang lebih selama tiga puluh hari. Meski kalau bicara kemungkinan, memang akan kecil untuk mendapatkan persetujuan. Tapi, mau tidak mau kita harus tetap berusaha dan berdoa. Dalam situasi seperti sekarang, kita akan dipaksa lebih dekat pada Tuhan untuk mendapatkan mukjizat." Eijun bukanlah pendoa yang baik, namun di wilayah Kitab Suci Kanto Timur, dia dengan mantap mengetahui apa yang harus dia katakan. Lagipula, dia sedang satu ruangan dengan para pendoa yang berdoa selama dua puluh empat jam sehari, kecuali Martha Tristin.

"Bagian positif yang perlu kami kasih tahu, kami sudah mengadakan kontak dengan Hiro Okada. Dia seorang penyelidik dalam kasus ini. Dia telah melakukan makan siang dengan salah seorang saksi dalam kasus ini yang ikut menyudutkan Furuya Satoru. Hiro menantangnya untuk membicarakan kebenaran dengan memberikan tekanan terkait situasi Kanto sekarang. Sementara itu, dia juga mengikuti perkembangan kasus ini dan dia tahu apa yang dia pertaruhkan. Kami memintanya untuk menandatangani afidavit, sebuah pernyataan pengakuan resmi untuk menarik kembali kesaksian dustanya selama di persidangan. Bagaimanapun juga, kami tetap tidak akan menyerah. Meski begitu, dia masih belum mantap. Dia masih ragu dengan akibat yang ditimbulkan pada Furuya sekalipun dia menandatangani afidavit itu."

"Lalu gimana jika orang itu menandatangani afidavitnya dan mengatakan hal yang sebenarnya?"

"Paradoks. Ketika dia mengaku, itu berarti secara tiba-tiba dia memberikan kami satu-dua peluru untuk kami tembakkan ke pengadilan. Tetapi, ini sesulit membuktikan perasaan yang berubah secara tiba-tiba. Ketika para pendusta mulai menarik kembali keterangannya, semua orang menjadi curiga. Akan muncul konspirasi baru dari masyarakat. Terutama dari para hakim yang mendengarkan sekian permohonan banding. Terus terang, cara itu memang tidak menjamin kepastian. Sekalipun ada afidavit resmi yang dibawa." Eijun selalu berterus terang. Terutama ketika berhadapan dengan para kolega dari pihak kriminal.

Minami duduk kaku dan tangan menyangga kepala. Saat ini dia berusia lima puluh enam tahun. Dia terlihat jauh lebih tua dibandingkan dengan orang Jepang pada umumnya. Sejak kematian suaminya, Taiga, lima tahun silam, dia berhenti mewarnai rambutnya dan jarang sekali makan. Dia tampak suram, kurus, dan jarang sekali berbicara. Tap memang pada dasarnya dia pendiam. Taiga yang selama ini selalu tampil di depan layar, yang selalu berkoar-koar, si penggebuk, sementara Minami berperan sebagai pendamai, dia yang menyejukkan setiap kepongahan yang disebabkan oleh suaminya itu. Baik Minami maupun Taiga, juga semua keluarga Furuya, tetap meyakini bahwa dalam hal ini Furuya tidak bersalah. Meski dulu Furuya kerap berusaha untuk mencederai para penggiring bola dan para gelandang bertahan lawan. Dan dia cukup tangguh untuk membela timnya. Padahal sesungguhnya, dia adalah seorang laki-laki lembek, seorang melankolis yang tidak berani mencelakai seseorang yang tidak bersalah.