webnovel

#061: Takdir Kejam

Sarah tersentak saat kepalanya diarahkan ke dada seseorang dan dipeluknya dengan lembut. Dia tahu siapa orang yang memeluknya seperti ini. Pelukan hangat yang selalu membuatnya nyaman.

"Setidaknya, sekali saja ... tolong ... tolong biarkan Endra memiliki kebahagiaannya sendiri."

Sarah tersadar. Perkataan mertuanya itu adalah peringatan nyata agar tidak melibatkan Endra lebih jauh dari ini. Cukup dirinya saja yang menderita. Sarah tidak bisa merenggut kebahagiaan Endra demi keegoisannya semata.

Ya Tuhan, kenapa selama ini Sarah tidak menyadari semua penderitaan Endra? Apakah dirinya terlalu sok sehingga menganggap penderitaan itu hanya miliknya seorang? Mengabaikan Endra yang beberapa hari terakhir tidak pernah sekalipun meninggalkannya?

Sarah langsung menarik tubuhnya dari dekapan Endra, mengusap matanya yang basah dan turun dari ranjang.

"Aku nggak bisa berlama-lama lagi di tempat ini. Aku akan pergi sekarang juga," kata Sarah dengan nada datar namun mengandung ketegasan di dalamnya.

Sudah cukup baginya melibatkan Endra. Mertuanya itu memang benar. Endra terlalu baik jadi manusia. Meskipun tidak pernah mengakuinya secara langsung, tapi Sarah menyadari betul orang seperti apa Endra ini. Laki-laki yang hampir tidak pernah ditemuinya selama ini. Laki-laki yang rela diperlakukan semena-mena, dan tetap bersikap baik dan patuh meskipun Sarah merendahkannya tanpa ampun. Laki-laki yang tidak memiliki hawa kejahatan sedikitpun, dan hanya memberi perlindungan yang tak ada habisnya. Laki-laki yang lebih mementingkan kebahagiaan orang lain. Laki-laki yang berubah tegas dan akan sangat marah saat rekan kerjanya tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya. Laki-laki yang...

Ah, Sarah semakin sadar semua itu. Endra memang terlalu baik untuknya. Bahkan sangat baik sampai rasanya Sarah tidak memiliki hati dan terus menerus mengurung Endra dalam penderitaan yang Sarah miliki.

Seharusnya Sarah tahu, Endra tidak seharusnya dilibatkan dalam masalahnya ini. Seharusnya dia pergi seorang diri. Pergi meninggalkan kota dan bersembunyi di kota lainnya.

"Aku ... akan pergi sendirian," lanjut Sarah seolah ingin menegaskan pada Endra, bahwa kali ini Endra sudah tidak perlu ikut campur masalahnya lagi.

Tentu saja Endra dibuat terkesiap mendengar itu. Dia ikut berdiri dan menatap Sarah yang sibuk mengambil sesuatu untuk dibawanya pergi.

"Aku minta maaf," pelan sekali Endra mengucapkan kata itu.

Seketika saja gerakan tubuh Sarah terhenti. Sarah akhirnya memutuskan untuk menatap Endra yang berdiri tak jauh dari tempatnya dengan tatapan heran. Kenapa jadi Endra yang malah minta maaf?

"Padahal aku udah janji sama diriku sendiri kalau aku bakal ikut menanggung penderitaan yang kamu rasakan, tapi nyatanya ... nyatanya aku nggak bisa ngelakuin apapun buat kamu. Dan kamu ... tetep aja merasakan penderitaan itu. Aku ... aku bener-bener minta maaf udah jadi orang yang nggak berguna buat kamu." Endra tertunduk dalam-dalam. Ada cairan panas di sekitar matanya yang berusaha dia tahan kuat-kuat.

Sarah tercekat. Pikirannya langsung mengingat lagi perkataan mertuanya beberapa saat sebelumnya. Ah, lagi-lagi perkataan itu memang benar. Semua yang dikatakan mertuanya itu memanglah benar. Laki-laki ini memang bodoh dan sangat lemah. Saking lemahnya sampai tidak bisa membedakan mana beban yang seharusnya dia pikul dan mana yang seharusnya dibiarkan saja.

Sarah jadi tidak bisa menahan airmatanya lagi. Kenapa dirinya harus dipertemukan dengan laki-laki bodoh sebaik Endra ini? Dan apa yang sudah dia berikan pada laki-laki yang memiliki hati layaknya malaikat ini? Tidak ada. Selama ini Sarah hanya memanfaatkan Endra untuk kepentingannya sendiri. Apa mungkin Sarah juga boleh merasa egois? Menginginkan laki-laki bodoh ini untuk tetap berada di sisinya.

"Kamu ini emang beneran bodoh ya." Sarah berusaha tertawa meskipun satu butir airmatanya luruh membasahi pipi.

Endra mengangkat wajahnya. Ya, dia tahu dia memang bodoh.

"Baru kali ini aku ketemu sama laki-laki bodoh kayak kamu..." Sarah mulai berjalan mendekati Endra. Tatapannya sengaja tak dibiarkannya lepas dari wajah Endra. "...yang udah ngelakuin segalanya ... tapi tetep aja ngerasa dirinya nggak berguna. Kamu ini emang diciptakan buat jadi orang bodoh yang bisa dimanfaatkan orang lain ya," Sarah masih memaksakan tawa di antara butiran air mata yang berusaha memberontak keluar.

"Malah saking bodohnya, kamu sampe nggak bisa bedain siapa yang seharusnya minta maaf." Suara Sarah tercekat. "Kali ini aku akan mengakhiri kebodohan yang kamu lakukan itu. Aku nggak bisa ngebiarin kebodohan kamu semakin merajalela, atau bisa-bisa nanti, kamu bakalan hancur berantakan gara-gara kebodohan kamu selalu dimanfaatkan sama orang-orang."

Endra terdiam tidak mengerti. Kalau soal bodoh, ya, Endra sangat mengerti dan menyadari kalau dirinya bodoh. Tapi kenapa Sarah justru berkata sesuatu yang berputar-putar seperti ini. Apa yang sebenarnya ingin Sarah sampaikan?

"Pokoknya aku harus pergi. Dan aku akan pergi sendirian," tegas Sarah sekali lagi saat melihat bibir Endra sempat terbuka berniat untuk memprotes ucapannya.

"Bahkan saat aku masih kecil dulu, aku bisa memulai hidup di kota itu, di tempat Bu Diyah. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja. Aku sudah lebih dari dewasa untuk bisa kembali menjalani kehidupanku yang baru di tempat lain." Terlepas dari usaha Sarah untuk bersikap tegar di depan Endra, matanya yang berkaca-kaca tak bisa membendung air mata yang akhirnya mengaliri pipi.

"Hei," kata Endra terperangah. "Kamu tahu aku nggak bakal ninggalin kamu kan. Jadi tolong jangan berkata seolah-olah aku hanyalah beban buat kamu."

Sarah tidak bisa percaya Endra malah berpikiran demikian. "Justru aku yang sudah menjadi beban buat kamu. Dan aku nggak bisa ngebiarin itu lebih lama dari ini. Makanya aku harus pergi."

Endra menggeleng pelan. "Kamu tahu kan, Sarah, aku nggak akan ngijinin kamu pergi karena kamu istriku. Meskipun aku tahu kamu belum menerimaku sebagai suami kamu, tapi itu nggak merubah kenyataan bahwa kita memang suami-istri. Jadi apapun yang sedang kamu pikirkan sekarang, semuanya nggak akan selesai kalau kamu bersikeras buat ninggalin aku. Karena sampai ke ujung dunia sekalipun, aku akan tetap mengikuti kamu dan bersama kamu selamanya."

Sarah terkesiap tidak percaya. "Tapi kenapa? Kenapa kamu nggak bisa ngebiarin aku sendirian saja. Aku ini istri yang jahat. Sekalipun, aku bahkan nggak pernah memperlakukan kamu dengan baik. Kamu sendiri tahu itu kan, aku ini orang yang jahat. Wanita yang sadis. Malah sekarang aku sadar banget kalau aku pantas kamu panggil Estri (S3), karena aku memang si sadis Sarah. Aku sama sekali nggak berhak buat ngedapetin semua kebaikan kamu ini. Jadi tolong, biarin aku pergi sendirian." Pertahanan Sarah dalam bersikap tegar rupanya jebol. Air mata dari balik kelopak matanya tidak berhenti mengalir hingga membuat Sarah tertunduk dalam.

Kalau saja, kalau saja Sarah tidak memiliki masa lalu kelam itu, pasti ceritanya akan berbeda. Sekalipun sekarang Sarah masih sangat asing dengan kata cinta, tapi dia pasti akan dengan mudah merasakan cinta karena Endra benar-benar mencintainya dengan tulus. Endra memberikan cinta padanya dengan cara yang membuatnya mudah untuk menerima semua itu.

Tapi kenyataannya, takdir kejam yang seolah sudah digariskan pada Sarah menyuruhnya untuk menolak semua pemberian tulus Endra. Semata-mata agar Endra bisa terlepas dari beban penderitaan yang sudah Sarah berikan dengan begitu egoisnya.

Next chapter