4 Biar Waktu Hapus Sedihku

Song Hanin Dhiya "Biar Waktu Hapus Sedihku"

Oh di manakah kau yang dulu mencintaiku

Kini kau tlah berubah, kau acuhkan diriku

Biarkan waktu yang merelakan setiap keping kenangan tuk hapus sedihku

Duduk merenung di balkon kamar, sembari menatap langit yang penuh bintang. Iringan lagu di atas membuat suasana malam ini semakin terasa. Lagu itu membuat Mala semakin tegar, dia yakin waktu akan menghapus sedihnya. Sejauh ini dia sudah mampu berjalan maju meninggalkan masa kelam dunia percintaannya. Suara seseorang membuyarkan semua ratapan Mala. Mala mencari sumber suara, di sana dia menemukan seorang lelaki paruh baya yang kini sedang menatapnya penuh kerinduan. Mala berlari menghampiri lelaki itu dan memeluknya sangat erat. Mala merindukan sosok dalam dekapannya ini, jauh dengannya selama dua minggu membuat Mala begitu merindukan hadirnya.

"Ayah," ujar Mala.

"Ada apa, sepertinya kali ini kamu benar-benar merindukan ayah?"

Mala mengurai pelukannya lalu menatap ayahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia berpikir, bagaimana caranya dia menceritakan apa yang di alami dengan Rangga. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat karena ayahnya baru saja pulang. Mala hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali memeluk sang ayah. Setelahnya Mala membiarkan sang ayah beristirahat, dan dia kembali termenung di dalam kamarnya.

Dua minggu tanpa Rangga dia bisa, rasanya memang ada yang kurang dalam hidupnya. Tetapi ini memang jauh lebih baik jika dibandingkan dia tetap bersama Rangga. Rasanya lebih baik sendiri daripada diselingkuhi. Demi melupakan Rangga, Mala selalu menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Dengan begitu dia bisa melupakan Rangga. Hampir setiap hari Mala selalu pulang malam. Ibunya sempat cemas melihat putrinya yang seperti hanya memikirkan pekerjaan. Ibunya khawatir Mala akan jatuh sakit jika terlalu banyak bekerja. Hari ini memang pengecualiaan, hari ini Mala pulang lebih awal karena dia merasa kurang sehat.

Karena malam sudah beranjak larut, Mala bersiap untuk tidur karena besok pagi dia harus kembali bekerja. Sebelum tidur dia meminum beberapa butir obat tidur karena memang beberapa hari belakangan ini dia kesulitan untuk tidur.

***

Pagi ini, Mala sarapan bersama ayah dan ibunya. Setelah itu, dia berangkat ke sekolah dengan motor kesayangannya. Karena tangannya sudah sembuh maka Mala memutuskan untuk mengendarai motor maticnya. Mala dengan hati-hati mengendarai motornya. Tetapi di depan terlihat sedang ada razia polisi. Mala tak panik karena dia selalu membawa kelengkapan surat-suratnya. Beberapa pengguna motor putar balik karena tak memakai helm, atau mungkin tak punya SIM. Dengan sopan, Mala diberhentikan oleh seorang polisi. Mala menuruti instruksi sang polisi dan mencari dompetnya. Tetapi entah kenapa dompetnya tak ada di tas, mungkinkah ketinggalan di rumah. Dia mulai panik, dan jujur kepada Pak Polisi.

"Kalau begitu Anda harus ikut kami ke kantor, kami akan mengecek kebenaran pernyataan Anda."

"Tapi Pak, dompet saya memang benar-benar ketinggalan. Dan saat ini saya harus berangkat bekerja."

Mala masih panik, dia takut dibawa ke kantor polisi. Dia menelepon ayahnya tetapi tak kunjung mendapat balasan.

"Mbak Mala?"

Mala menengok ke arah sumber suara, di sana dia menemukan Dani dan juga Tara. Mala masih dalam kondisi kebingungan, sehingga hanya bengong. Tara pun menanyakan kepada rekannya yang menilang Mala.

"Mbak Mala,"

Mala tersadar dan merasa malu pada Dani dan Tara.

"Dompetnya ketinggalan?" ujar Dani.

Mala mengangguk.

"Jangan bawa saya ke kantor polisi Pak, saya harus berangkat bekerja. Saya memang lupa membawa dompet tapi saya punya SIM dan STNK kok." Ujar Mala menjelaskan.

"Ini memang prosedurnya Mbak, jadi Mbak harus tetap ikut kami. Untuk SIM dan STNK boleh di susulan nanti ke kantor. Mbak nggak akan diapa-apain kok." Jelas Dani.

Akhirnya dengan berat hati Mala menurut, motornya bahkan sudah diangkut ke mobil. Mala merasa takut, bahkan dia sampai lupa menghubungi ayahnya kembali. Mala ikut bersama beberapa orang yang kena tilang ke kantor polisi. Meski di sana mereka diberikan edukasi tetapi Mala tetap takut. Tangannya bahkan berkeringat dingin, entah memang karena dia takut atau kondisinya yang sedang kurang sehat. Setelah diberikan edukasi Mala menerima telepon dari ayahnya. Mala bersyukur karena ayahnya menghubunginya dan akan membawakan dompetnya. Mala masih menunggu ayahnya, dia duduk disebuah bangku. Sebenarnya kepalanya pusing semenjak tadi tapi karena terlalu takut dia hanya menahannya. Sesekali dia memijat pelipisnya.

Tiba-tiba seseorang menghampirinya.

"Mbak Mala kenapa?"

"Ah tidak apa-apa, Pak Tara."

Tara terlihat tak percaya dengan perkataan Mala, tetapi dia hanya mengangguki perkataan Mala. Gadis di sampingnya terlihat pucat, bahkan dari kejauhan tadi dia sempat melihat gadis memijat kepalanya. Itulah alasan Tara menghampiri Mala.

"Menunggu orang rumah?"

"Iya, saya menunggu ayah saya."

Setelah pembicaraan itu mereka berdua sama-sama diam. Tara merasa canggung, sedangkan Mala memang tak memiliki energi untuk banyak bicara.

"Sepertinya ayahmu akan sedikit lama, tunggu sebentar di sini ya Mbak!"

Mala mengangguk. Tara ke kantor dan membuatkan teh hangat untuk Mala. Saat di kantor dia bertemu dengan Dani.

"Ngapain Tar?"

"Buat teh,"

"Tumben, lo kan nggak suka teh. Biasanya aja ngopi."

"Bukan buat gue,"

"Lalu?"

Tara tak menjawab tetapi sepertinya Dani memiliki intuisi yang baik, apalagi tadi dia sempat bertemu dengan Mala.

"Good luck bro!" goda Dani.

Tara masih diam, dia sangat tahu sahabatnya itu memang suka menggoda. Setelah teh yang dibuatnya jadi, dia menghampiri Mala.

"Mbak diminum."

Mala menerimanya dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Setelahnya ada pembicaraan-pembicaraan ringan untuk mencairkan suasana.

Di lain tempat ayah Mala telah sampai dan segera mencari keberadaan sang putri. Setelah melihat putrinya, ayah Mala menghampirinya. Mala sangat lega ayahnya sudah sampai. Tara yang melihat ayah Mala langsung menyalaminya. Ayah Mala terlihat bingung tetapi saat ini ada yang lebih penting dari rasa bingungnya.

"Kamu di sini saja, biar ayah yang mengurus semuanya!"

Mala mengangguk.

"Biar saya antar Pak," ujar Tara.

Ayah Mala tak keberatan. Tak lama semua urusan selesai, ayah Mala mengucapkan terima kasih kepada Tara. Kemudian, dalam perjalanan menemui Mala ayah Mala bertanya kepada Tara untuk meredakan rasa penasarannya. Tara pun memperkenalkan diri dan bercerita singkat mengenai mengapa dia bisa mengenal Mala. Ayah Mala sempat kaget karena dia tak tahu Mala pernah kecelakaan. Sesampai di depan Mala, ayah dan Tara seperti sudah akrab.

"Nak kamu sakit?"

Mala menggeleng,

"Kamu kelihatan pucat,"

"Mala nggak papa yah, sebaiknya kita pulang sekarang." Ujar Mala.

Ayah Mala menuruti perkataannya. Tapi Mala bingung jika dia pulang dengan ayahnya, bagaimana dengan motornya.

"Nanti biar saya antar ke rumah." Ujar Tara.

"Nggak usah Nak, nanti biar saya minta sopir mengambilnya.

"Nggak papa om, saya senang bisa membantu.

"Baiklah, terima kasih banyak Nak untuk semuanya."

"Sama-sama om, hati-hati di jalan."

Mala dan ayahnya pun pulang. Sesampainya di rumah Mala langsung ke kamar. Hari ini dia tidak masuk kerja dan off dari kegiatan harianya. Mala beristirahat di kamarnya saat ayah dan ibu Mala sedang bicara. Orang tua Mala membahas mengenai Rangga. Ayah Mala sangat kecewa tetapi dia masih bersyukur karena setidaknya sang putri belum menikah dengan Rangga.

"Ayah nanti akan ke rumah orang tua Rangga. Pertunangan ini memang harus dibatalkan." Ujar ayah dengan tegas.

***

Hari beranjak petang, Mala hanya bangun untuk salat kemudian kembali tidur. Ibunya bahkan membawakan makan siang ke kamar Mala tadi siang. Mala demam dan merasa pusing.

Malam harinya Tara bersama Dani datang membawakan motor Mala. Mereka berdua bertemu dengan ayah dan ibu Mala. Ayah dan ibu Mala menyambut baik mereka berdua. Meski baru mengenal tetapi orang tua Mala langsung menyukai Dani dan Tara. Mereka berempat tengah ngobrol di ruang tamu.

"Mbak Mala di mana Om, Tante? Kok tidak kelihatan?" ujar Dani.

"Oh, Mala sedang sakit. Di sedang beristirahat di kamar." Ujar ibu.

Dani dan Tara saling memandang seperti memberi kode.

"Pantas tadi pagi terlihat pucat." Ujar Tara.

Setelah obrolan panjang Tara dan Dani meminta pamit karena hari sudah malam. Orang tua Mala mengantar mereka sampai teras.

"Kami permisi Om, Tante. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, hati-hati di jalan Nak! Sering-sering ke sini ya!"

Mereka berdua mengangguk lalu mulai meninggalkan rumah Mala.

avataravatar
Next chapter