Seperti hari-hari sebelum badai menghampiri. Mala kembali ke rutinitas hariannya. Pagi ini setelah sarapan, Mala berangkat bekerja.
"Nak kamu diantar sopir saja ya!"
"Ah nggak usah Bu, nanti kalau ibu mau pergi kan repot. Biar Mala naik taksi atau ojol saja."
"Ya sudah, hati-hati!"
Mala mencium punggung tangan ibunya lalu mengucapkan salam. Mala menunggu ojol pesanannya. Tak lama driver ojol pun datang, Mala kemudian naik ke motor dan meninggalkan rumahnya.
***
Mala akhirnya tiba di tempat tujuan. Seperti biasa Mala menyapa pak satpam dengan ramah.
"Lho Bu Mala sudah sembuh kok berangkat?" tanya Pak Satpam.
"Alhamdulillah Pak," ujar Mala.
"Syukurlah, tapi tangan ibu sepertinya masih belum sembuh?"
"Ini tidak apa-apa Pak, hanya butuh perawatan beberapa minggu saja. Kalau begitu saya permisi."
Pak satpam mempersilakan. Mala kembali berjalan menuju ruangannya. Di sana rekan kerjanya juga menanyakan keadaan Mala. Mala menjawab jika semuanya baik-baik saja. Mala bersiap untuk mengajar karena sebentar lagi jam mengajar dimulai. Dia mempersiapkan beberapa buku, jurnal, dan keperluan lainnya. Ketika bel masuk telah berbunyi, Mala bersiap unuk ke kelas. Dia sangat kerepotan membawa buku-buku dikarenakan tangan kirinya masih terluka. Beruntungnya Mala rekan kerjanya yang bernama Farhan membantunya.
"Makasih Pak Farhan,"
"Sama-sama Bu, kebetulan juga kelas saya di sebelah. Jadi jangan sungkan!"
Mereka berdua pun masuk ke kelas masing-masing. Mala memulai kelasnya dengan berdoa, kemudian menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan stimulasi. Kelas Mala berjalan dengan lancar hingga akhir pembelajaran.
Mala adalah seorang guru di jenjang SLTP. Dia menjadi guru di SMP Nusa Cendekia sudah dua tahun semenjak dia lulus dari perguruan tinggi. Mala sangat menikmati hari-harinya menjadi seorang pendidik. Entah kenapa Mala memilih menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Kata Mala semua itu adalah panggilan hatinya. Dia menyadari bahwa sosok guru sangat penting untuk membimbing generasi penerus bangsa. Dari tangan gurulah, lahir para pemimpin negara. Begitulah pandangan Mala akan profesinya. Setelah rutinitasnya di sekolah, sore harinya Mala akan lanjut untuk singgah di kantor bimbingan belajarnya. Mala mendirikan lembaga bimbingan belajar sebagai usaha sampingannya. Baru satu tahun berdiri tetapi cukup berkembang dengan baik. Selain itu, bimbingan belajar ini juga digunakan Mala untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung. Lima puluh persen siswanya adalah mereka yang memang membutuhkan bimbel dengan swadaya mandiri. Sedangkan lima puluh persennya lagi diperuntukkan bagi anak-anak yang putus sekolah, anak yatim atau piatu, dan anak-anak dengan latar sosial yang bermacam-macam. Bagi Mala hitung-hitung memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar dengan ilmunya. Mala juga terjun langsung untuk menjadi mentor di beberapa kelas meskipun dia adalah foundernya. Kecintaan Mala akan dunia pendidikan memang sangat besar, tetapi sampai saat ini dia hanya bisa melangkah sejauh ini. Meski demikian, kontribusinya terhadap pendidikan tetap harus diacungi jempol karena tak banyak orang yang bisa melakukan hal yang seperti Mala lakukan.
Hari menjelang malam, Mala mempersilakan para mentor untuk pulang karena jam kerja mereka memang sudah selesai. Mala masih di kantor sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan. Dia juga mengecek pengelolaan toko onlinenya dengan meminta laporan pada karyawannya.
"Baik, saya akan ke sana sekarang Bu."
Mala menunggu karyawannya datang, dia juga telah memesan beberapa makanan untuk dia santap bersama karyawannya nanti. Tak lama, karyawan Mala datang, begitu pula dengan makanan yang dia pesan. Mala bersama dua karyawannya pun mengadakan rapat singkat mengenai laporan penjualan minggu ini. Mereka membahas beberapa hal terkait penjualan dan reseller. Pukul 21.00 rapat berakhir, kedua karyawan Mala pamit.
"Kami permisi dulu ya Bu," ujar Dewi.
"Iya, kalian hati-hati di jalan!"
Mereka meninggalkan Mala sendirian di kantor. Tak lama Ibu Mala menelepon Mala.
"Waalaikumsalam, iya Bu. Mala baru mau pulang."
"Ya sudah, hati-hati atau mau ibu kirim sopir?"
"Nggak usah Bu, Mala naik taksi saja."
"Ya sudah, hati-hati nak! Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Mala bergegas untuk pulang, Mala juga mengunci pintu sebelum pulang. Kemudian, Mala ke pinggir jalan untuk mencari taksi. Tak seperti biasanya malam ini kenapa taksi tak kunjung lewat. Akhirnya Mala memesan ojol karena sudah cukup larut jika harus menunggu lebih lama lagi. Lima belas menit kemudian ojol pesanan Mala datang tetapi berbarengan dengan seseorang yang juga tengah berhenti di depannya.
"Pak Tara?��
"Lho Mbak Mala sedang apa?"
"Saya baru saja mau pulang, Bapak sendiri?"
"Saya juga mau pulang, bagaimana kalau saya antar Mbak sekalian?"
"Ah terima kasih Pak, tapi saya sudah pesan ojol. Drivernya juga sudah sampai."
"Begini saja, ojolnya saya bayar tapi saya yang nganter Mbak pulang. Ini sudah malam, saya merasa khawatir jika Mbak pulang dengan ojol."
Mala menyernyitkan dahi mencoba mencerna perkataan Tara. Tetapi setelah sadar mas driver sudah tidak ada di tempat. Ya, mau tak mau Mala memang harus pulang bersama Tara karena ibunya sudah menunggunya.
Malam ini Tara tak memakai mobil, Tara menggunakan motor sportnya. Tara memberikan helm kepada Mala. Karena tangan kiri Mala masih sakit dia terlihat kesusahan memakai helm.
"Maaf," ujar Tara sambil membantu memakaikan helm Mala.
Mala terdiam, Tara juga membantu Mala untuk naik ke motornya dengan memegangi sebelah tangan Mala. Tentunya dengan izin dari Mala. Tara sangat menghargai perempuan, baginya seorang perempuan itu sangat berharga. Tara melajukan motornya dengan kecepatan sedang mengingat jalanan masih ramai.
Sesampainya di rumah Mala, terlihat ibu Mala sudah menunggu di teras. Melihat putrinya pulang ibu Mala menghampiri putrinya. Mala langsung menyambut tangan ibunya, disusul seseorang di sampingnya.
"Lho kok bisa sama Nak Tara?"
"Kebetulan tadi saya melihat Mala di pinggir jalan Bu, jadi sekalian saja saya antar pulang."
"Oh begitu, anak ibu memang keras kepala Nak. Tadi ibu minta Mala supaya di jemput tapi dia nggak mau."
Tara kini mengerti Mala memang gadis yang keras kepala tapi dibalik itu dia sangat mandiri.
"Kalau begitu saya pamit Bu, Mala."
Ibu mengangguk sembari mengucapkan terima kasih dan hati-hati kepada Tara. Begitu juga dengan Mala. Tara pun meninggalkan rumah Mala menuju kediamannya. Dalam hati ibu Mala merasa senang melihat putrinya begitu tegar. Ibunya berharap putrinya akan mendapatkan lelaki baik seperti Tara.