Dua bulan setelah pertunangan diumumkan. Kehidupan Cheery dan Vano semakin harmonis. Setiap malam selepas Vano pulang dari kantor, selalu ia sempatkan menghabiskan makan malam berdua dengan Cheery.
Seakan mengganti waktu yang telah mereka lewati dalam lima tahun belakangan. Setiap malam begitu berarti, terlebih untuk Cheery.
Kejadian malam naas yang menimpanya sudah berangsur pudar di benaknya. Tapi, hal buruk tersebut kembali membuat hatinya hancur ketika makan malam mereka berlangsung.
Vano membawa Cheery pergi makan malam ke restoran tempat yang sering mereka kunjungi dulu sewaktu sekolah.
Sebuah restoran mi ayam yang terkenal dengan bumbu rempah yang khas dan membuat semua pelanggannya akan teringat cita rasa yang berbeda dari makanan sejenisnya.
"Mau pesan berapa porsi, Tuan?" tanya pelayan di restoran tersebut.
"Seperti biasa. Hanya saja, mangkuk yang satunya tolong dilebihkan porsinya. Belakangan ini nafsu makan kekasihku meningkat!" jawab Vano sambil tersenyum ramah.
"Kenapa kau membuatku malu seperti itu? Apa perlu kau memamerkan pada setiap orang tentang nafsu makanku?" gerutu Cheery yang sedikit keberatan.
"Aku tidak menganggap itu suatu hal yang memalukan? Aku malah senang melihatmu makan banyak. Lihatlah, tubuhmu semakin indah dan seksi, Sayang. Aku tidak sabar memeluk dan merengkuhnya sepuasku saat malam pertama nanti!" ucap Vano nakal sambil mengerlingkan sebelah matanya pada Cheery.
Awalnya Cheery tersenyum malu seraya menepuk dahi dan menggelengkan kepalanya setelah mendengar rayuan Vano. Tapi, senyum itu tidak bertahan lama, saat kilas balik adegan malam terenggutnya kegadisan Cheery kembali memenuhi pikirannya.
Wajah Cheery tiba-tiba pucat. Ia merasa begitu hina seketika saat begitu banyak cinta yang ditunjukkan Vano untuknya, dan tanpa diduga, ia harus menghianati cinta Vano seperti ini.
"Sayang? Kenapa wajahmu tiba-tiba pucat? Apa kau sakit?" tanya Vano beruntun.
Cheery menggelengkan kepala.
"Tidak, aku baik-baik saja. Mungkin karena memaksa menahan lapar sejak sore tadi, jadi perutku terasa mual dan kepalaku sakit," jawab Cheery yang menutupi kecemasannya dengan kondisi tubuhnya yang memang tidak nyaman sekarang.
Pelayan yang tadi datang menyapa sambil mempersilahkan Vano dan Cheery menyantap mi ayam yang masih sangat hangat ia hidangkan.
"Dasar konyol! Untuk apa kau menunda makan seperti itu? Lihatlah sekarang, kau jadi sakit! Sekarang, makanlah dulu selagi hangat. Perutmu akan membaik, Sayang!" ujar Vano yang diselingi dengan omelan sayang.
Vano meniupkan kuah makanan tersebut agar tidak terlalu panas untuk Cheery dan menyuapinya.
Cheery begitu lekat memperhatikan sikap Vano yang begitu memperhatikan dirinya. Membuat buliran air mata jatuh seketika.
'Aku akan sangat berdosa saat ini terjadi, Vano. Dan kau juga akan sangat marah ketika tahu, aku tidak lagi suci seperti yang kau inginkan selama ini,' batin Cheery menangis.
"Hei, kenapa kau menangis? Apa kuahnya masih terlalu panas? Atau perut dan kepalamu begitu sakit? Apa kita ke rumah sakit saja sekarang? Aku tidak suka melihatmu sakit seperti ini, Sayang!" Vano terus bertanya dengan wajahnya yang begitu panik.
Cheery kembali menggelengkan kepala dan kali ini dibarengi dengan senyuman.
"Kenapa kau begitu panik, hum? Aku baik-baik saja. Makanan yang kau berikan juga tidak terlalu panas dan membuat perutku lebih baik. Kita tidak perlu ke rumah sakit, Vano. Aku baik-baik saja. Sekarang, kemarikan sendokku! Aku akan makan sendiri!" jawab Cheery yang sudah mulai tenang.
"Syukurlah. Aku benar-benar tidak bisa melihatmu kesakitan seperti ini," ucap Vano lembut sambil mengecup dahi Cheery, "lalu, katakan padaku apa alasanmu menunda makan?" sambungnya bertanya.
"Hmm, itu karena aku merasa tubuhku semakin melebar. Aku takut baju pengantinku tidak muat. Kemarin aku diberitahu desainernya agar sedikit menurunkan berat badan," jawab Cheery sedikit ragu karena takut Vano marah.
Dan benar, Vano bereaksi dengan wajah yang marah.
"Berani sekali orang itu menyuruh kekasihku menurunkan berat badan! Lalu apa gunanya di mereka dibayar mahal hanya untuk sebuah gaun? Keterlaluan! Aku tidak akan membiarkan kariernya mudah setelah ini!" omel Vano yang marah.
Cup!
Sebuah kecupan lembut Cheery berikan di pipi Vano.
"Jangan marah seperti ini. Ketampananmu akan hilang kalau kau marah-marah," bujuk Cheery lembut sambil memeluk sebelah lengan Vano erat.
"Dasar gadis konyol! Kau selalu bisa membuatku tenang," Vano menjawab sambil tersenyum, "ayo, makan makananmu sekarang! Aku tidak ingin kau kelaparan dan sakit seperti ini lagi. Aku ingin istriku nanti kuat dan sehat saat kita bekerja ekstra melahirkan anak-anak kita yang lucu. Ayo, makanlah!" ujarnya lagi.
'Ya, setidaknya aku akan menikmati malam-malam terakhir bersamamu, Vano. Akan kunikmati setiap momen berhargaku denganmu. Sebelum kekecewaan besarmu padaku nanti,' batin Cheery lirih.
Cheery mulai menyendokkan makanan ke mulutnya. Sambil menahan lirih di hati setelah mendengarkan kalimat Vano yang terdengar miris di telinganya.
Namun, saat sedang menikmati lezatnya makanan di hadapannya, Cheery merasakan perutnya bereaksi dengan tidak biasa.
Cheery terlihat mual dengan wajah pucatnya. Seakan rasa muntah itu tidak tertahan lagi, Cheery berlari mencari toilet wanita dan memuntahkan makanan yang baru saja ia telan.
Sementara Vano menunggu Cheery dengan cemas di luar toilet. Wajahnya semakin panik saat Cheery keluar dengan langkah gontai dengan keringat dingin bercucuran di wajahnya.
"Vano, kepalaku sakit seka-" Belum lagi kalimatnya selesai, dalam sekejap Cheery pingsan di dekapan Vano.
***
Cheery mendengar suara gaduh orang-orang yang dikenalnya. Tapi, matanya masih terpejam dan belum dapat mencerna situasi saat ini.
"Kandungan pasien sudah lebih dari dua bulan. Akan sangat beresiko bila harus menggugurkan janinnya!" ucap seorang pria yang terdengar tegas.
"Lalu, apa kami harus menahan malu karena calon istri putera kami tengah mengandung bayi pria lain?! Dokter, saya mohon hilangkan bayi itu agar keluarga kami tidak menanggung malu! Kami akan membayar berapapun yang Dokter minta!" balas seorang wanita yang terdengar familiar di telinga Cheery.
"Nyonya, kumohon jangan terlalu kejam pada bayi sekecil itu! Kenapa kita tidak bertanya lebih dulu dengan Vano dan Cheery bagaimana kelanjutan hubungan ini?"
Kali ini suara yang begitu lirih dan terdengar menangis mulai menggugah kesadaran Cheery untuk segera membuka matanya.
'Itu suara mama dan yang tadi adalah suara mamanya Vano. Vano? Bayi? Bayi siapa yang ingin digugurkan?' benak Cheery terus bertanya hingga perlahan matanya terbuka dengan samar.
Cheery memandangi sekitar ruangan tempatnya berada.
"Vano tidak ingin meninggalkan Cheery. Puteraku benar-benar mencintai anakmu! Tapi, aku sangat tahu, putera kami tidak menginginkan bayi yang Cheery kandung. Apa dengan menggugurkan bayi haram tersebut belum cukup membuat kalian berterima kasih karena Vano masih ingin melanjutkan pernikahan ini?!" tanya ibu Vano sambil membentak nyonya Lisa.
"Apa? Aku mengandung?" tanya Cheery lemah setelah mengumpulkan tenaga untuk duduk dan bersuara.