Diamnya memakan waktu setengah jam, kaki mereka sama-sama mengayun kanan kiri. Tapi ada yang beda dengan May, diam-diam menikmati moment itu tanpa mengeluarkan pertanda apapun. Jarang, atau belum pernah May duduk hanya berdua dengan laki-laki super tampan.
" Kakak nama panggilanya siapa? Kalau nama panjangnya Vino Mahendra?" Jiwa May tak kuasa lagi ingin mengenal sosok laki-laki itu. Meski hanya cibiran pelit yang May terima.
"Vino" Jawabnya singkat
Vino tampak seperti barang yang tak bisa di kenali manusia, sikapnya dingin tanpa ada suasana hangat sedikitpun. May sudah mulai muak, tapi masih saja penasaran. Dia memandangi ujung sepatunya yang berdempetan dengan kaki kursi depan ranjangnya, tidak jauh sama dengan tuanya, diam.
Aku akan merubahmu menjadi pelawak, komedian, lalu apapun yang bisa merubahmu menjadi hidup. Yang tidak terus menerus diam layaknya batu nisan.
May merasakan kata hatinya, konyol. Dia menepuk dahinya berkali-kali, dan menemukan sumber kekhawatiran yang tiba-tiba muncul waktu itu. Dia lagi-lagi jelalatan mencuri pandang ke arah Vino, sudah di pasangnya senyum termanis yang pernah ia miliki. Berharap ada jawaban kagum dari sorot mata Vino, tapi apalah, dia justru pergi keluar UKS tanpa satu kata ucapan pamit. May tertunduk pasrah.
Buku catatan kecil yang selalu setia kemana Saja bersama May, ia dibuka untuk lembar kosong selanjutnya. Lalu di tulisnya dengan bolpoint legendaris kesayanganya.
Selanjutnya kamu.
Hanya dua kata Itu tanpa ada penjelasan makna.
Malamnya, di gubuk reot tepi jalan setapak itu. Tampak ramai dengan perbincangan salah seorang anak dengan Bapaknya, rupanya May sedang bercengkerama.
" Tidak begitu Pak, semua cantik, hanya saja itu belum waktunya" Protes May kepada Bapaknya.
"Terus kapan kamu bisa berubah jadi cantik?" Nyayat bapak May sambil melebur asap rokoknya.
May mengatur posisi duduknya, untuk lebih dekat dengan Bapaknya. Di tarik nafasnya dalam-dalam, lalu berbisik di telinga kiri Bapaknya.
"Nanti tengah malam, pas May mimpi Pak" May pergi meninggalkan Bapaknya sambil cengingisan. Tawa mereka pecah, Bapak menyusul May dan mengelus-elus rambutnya yang kumel.
"Yang betah ya kutu!" Bapaknya berteriak dan lari menghindari semburan.
May berteriak kesal.
Di dalam hidup berkeluarga, tidak melulu soal uang untuk menghidupkan kebahagiaan. Ada beribu cara yang seakan tidak bisa terbayar dengan banyaknya uang. Yaitu dengan saling mencintai, menghargai, mendukung, lalu saling mendo'akan.
Cara Tuhan memang beda, tapi sebenarnya semua sudah terbagi rata. Semua makhluknya akan bahagia, dengan porsinya masing-masing.
Keluarga May memang bisa di bilang kurang mampu, tanah yang mereka pijaki sebagai tempat tinggal adalah tanah milik Negara, jadi jika se waktu-waktu tanah itu di butuhkan, May sekeluarga hanya menjadikan langit sebagai atap dan bumi sebagai lantainya. Layaknya lirik milik Pak H. Roma Irama, legendaris dangdut Indonesia.
" Mak gak tidur? Sudah jam 10 lo.." Tanya May dengan menunjukkan jarum jam kecil di meja.
" Kamu tidur duluan sana, mak belum ngantuk" Perintah emak, lalu May mengiyakan.
Ranjangnya beralaskan dipan, dindingnya yang terbuat dari anyaman bambu sudah mulai rapuh. Ada banyak bambu besar untuk mengganjal beberapa bagian agar dinding tidak rubuh, mata May redup seperti menggambarkan sesuatu. Kemudian di raihnya ponsel jadul di samping bantalnya, layar HP nya sudah banyak goresan, maklum itu barang bekas yang pernah May beli sejak 3 Tahun yang lalu.
Tips kecantikan kulit dan wajah.
Kolom Google menyetujui permintaan May. Kemudian muncul banyak sekali beraneka màcam petunjuk perawatan wajah, mulai dari bahanya sampai cara mengaplikasikanya.
" Mana mahal-mahal semua lagi bahanya!" May masih sibuk memilah bahan-bahan yang bisa di jangkau uang di sakunya. Lalu muncul jeruk nipis dan ampas teh, sebagai pembunuh sel mati pada wajah juga sangat membantu untuk mencerahkan. May kegirangan dan lari ke dapur.
Reyeng tempat menaruh bumbu-bumbu dapur itu berserakan, bercampur aduk demi mendapatkan satu buah jeruk nipis.
"Horee! Akan ku sulap kau menjadi permadani Maysaroh! Semua akan takjub dengan Sinar wajahmu " Celoteh May ketika mendapatkan potongan jeruk nipis yang tinggal setengah bagian Itu.
Wajahnya sudah rata dengan olesan air jeruk nipis itu, di kipasi berkali-kali agar lebih cepat kering. Setelah beberapa menit, wajah May seperti merasakan hal aneh. Gatal, perih, panas. Ia menjerit panik.
"Aduuh ! " May memegangi jerawatnya yang meradang, memang se umur hidupnya baru ini dia mencoba merawat wajah.
Bapak nya yang sedari tadi duduk di kursi depan, spontan berlari tergopoh mendatangi May. Tampak panik dan kebingungan.
"Kamu kenapa?" Tanya Bapaknya heran.
" Nggak papa Pak, ini tadi May barusan perawatan wajah pakai jeruk "
" Terus, jadi cantik?" Bapaknya menatap muka May dekat-dekat.
" Ya belum lah Pak, butuh proses" Sambung May dengan suara lirih, sebenarnya dia tidak terlalu yakin dengan tips ini. Tapi untuk ukuran skincare Paling murah pun May belum tentu bisa membelinya, tidak ada jalan lain, May harus andalkan jeruk nipis.
Setelah di diamkan selama 15 menit, May segera membersihkan mukanya dengan Sabun mandi. Wajahnya terlihat lebih Segar dari sebelumnya, di tutupi pipi kanan kirinya agar tidak ada debu lagi yang menempel selama berjalan menuju kamarnya. Bantalnya keras, di tepuknya berkali-kali agar kapuk yang menggumpal Itu bisa kembali mekar, ia mengambil sapu lidi untuk mengibaskan kotoran di ranjangnya. Tempat tidurnya sudah lumayan nyaman, May tertidur di susul dengan dengkuran berisiknya.
*****
Esok harinya, May memacu sepedanya begitu cepat. Semangatnya melebihi supporter sepak bola Dunia, jarak antara rumah ke sekolah memakan waktu dua puluh menit Itu hanya terasa seakan menjadi lima menit saja. Kebiasaanya menyapa para tetangga di sepanjang jalan pun hangus bersama ayunan sepeda yang berkecepatan tinggi. Entah apa yang ada di fikiran May, dia hanya ingin cepat tiba di sekolah.
Jalanya terseok karena tidak sempat membenahi tali sepatunya yang copot, May telah sampai di taman depan kelasnya. Nafasnya terengah-engah, lalu dia duduk sambil membuka botol minum bekas teh pucuk yang berisi air putih. Dia memandangi sekitar, tampak sepi belum ada satu pun murid yang berdatangan. Tak lama terdengar gesekan dari bumi, pelan dan semakin mendekat.
"Selamat pagi Pak" Suara itu sepertinya sudah terekam di otak May, serak basah tapi terdengar sedikit keras. May menoleh ke belakang, lalu tubuhnya bergetar hebat, sepertinya kak Vino datang Setelah beberapa menit May tiba di sekolah.
" Selamat pagi nak, wah rajin sekali anak ku ini, baru jam 6 pagi lo sudah sampai di sekolah" Sapa Pak tukang kebun, ia menaruh sapunya dan menghampiri Vino.
" Iya Pak " Lagi-lagi Vino, masih saja dengan sikapnya yang cuek.
May terlihat geram dari kejauhan. Ingin di lempar botol minum itu ke muka Vino, namun setelah melihat ketampananya, hati May berubah menjadi benalu dalam diam. May memberanikan diri untuk melempar senyum sapaan.
"Kak Vino.." Senyum se indah-indahnya sudah May rancang sebaik mungkin.
"Iya " Sapanya singkat. Langkahnya tetap lurus dengan menaruh jacket tebalnya di pundak.
Jarum jam mengarah pada angka 7 tepat, bel otomatis SMA itu menandakan jam waktu masuk kelas. Kelas XI IPS 1 Itu nampak hening, semua disiplin tanpa ada hiruk pikuk seperti kelas-kelas lain. Barisan bangku rapi, dengan duduk tegak melantunkan Do'a.
Anne yang kebetulan kesamber petir hidayah itu, menyapa May lebih dulu.
"Pelajaran pertama apa ya May?" Tanya Anne simpul tapi dengan senyum ramah.
"Haaa..?" Jawab May bengong saking tidak percayanya. Lalu Anne mengulang pertanyaanya.
"Ooh… Bahasa Indonesia An" May kebingungan. Dia menarik-narik pita kusut di kepalanya, May masih dengan ciri khasnya, menguncrit rambutnya menjadi dua bagian. Satu dengan pita warna pink, satunya lagi warna hijau, sungguk tidak menarik.
Ini adalah perasaan yang di endap May selama setengah Tahun, duduk sebelahan dengan Anne tanpa ada keseruan berkawan. Hanya terkadang May menyadari diri sendiri sebagai wanita dekil, kampungan, norak. Berbanding terbalik dengan penampilan Anne yang super modis, dari ujung kepala hingga kaki di tempelnya barang-barang bermerek.
"PR kamu mana May? Di siapin gih, bentar lagi Pak Rendi datang" Ucap Anne sambil membuka-buka buku catatanya.
"Ini An, hampir saja ketinggalan tadi" Ujar May dengan perasaan masih penasaran, matanya melirik sinis. Mencoba menelaah bahasa Anne barusan, sama sekali tidak formal, dia sangat fair.