Banu dan Siska yang baru saja akan memasuki taksi yang sudah mereka pesan, urung ketika melihat sebuah mobil yang mereka ketahui milik Daneil memasuki halaman rumah. Senyum pasangan suami-istri itu terlihat sangat lebar mengetahui hal itu. Senang rasanya suami dari keponakannya itu sudah mau repot-repot pulang hanya untuk mereka.
Daneil melangkah keluar dari mobilnya. Ia menghampiri sekumpulan orang yang kini menatapnya. Siapa lagi jika bukan keluarga dari istrinya, Amara.
"Paman dan Bibi benar-benar akan kembali hari ini?" Tanyanya berbasa-basi ketika sampai di hadapan kedua orang tua itu.
David yang mendengar itu terlihat mendengus malas.
"Iya, kasihan David. Dia harus sekolah," ujar Siska.
Daneil melirik pada David yang hanya diam saja seperti tak acuh, meskipun mendengar namanya disebut. Kemudian Daneil mengangguk. "Baiklah kalau begitu," ujarnya kemudian.
"Daneil, Bibi titip Amara kepadamu ya. Bibi percaya sama kamu, kalau kamu akan dapat membahagiakan keponakan Bibi. Walaupun dia bukan anak Bibi, tapi dia sudah seperti anak kandung bagi Bibi."
Amara yang mendengar itu, hanya mampu menunduk dalam-dalam. Kedua bola matanya sudah berkaca-kaca. Kedua tangannya bertautan, gemetar.
"Dia gadis yang baik," lirih Siska kepada Daneil melirik Amara.
Tak ada ekspresi di wajah Daneil. Dia hanya mengangguk, tak acuh.
Melihat itu, Siska tersenyum tipis. "Terimakasih," kemudian wanita empat puluh tahun itu memasuki taksi.
Kini Banu yang maju ke arah Daneil, Ia memeluk lelaki itu. "Paman pergi, pesan Paman sama seperti Bibinya Amara. Kamu menjaga Wanita baik itu," ujarnya. Setelah mendapat anggukan dari Daneil, Ia mengikuti istrinya masuk ke dalam taksi.
David berjalan untuk ikut bergabung dengan Paman dan Bibinya masuk ke dalam taksi. Lelaki remaja itu berhenti di hadapan Daneil ketika melewatinya, hanya memandang sosok kakak Iparnya itu penuh makna, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Ucapkan sampai berjumpa pada Kakak Iparmu David!" Perintah Siska yang melihat David hanya diam menatap Daneil.
Menghembuskan nafasnya, David menatap Daneil kembali. Kali ini dengan pandangan tak berminat. "Aku pergi," ujarnya lalu berlalu memasuki taksi.
"Dasar tidak sopan!" Gerutu Siska yang melihat hal itu kepada keponakan lelakinya.
"Sudah, jangan bertengkar sayang." Nasehat Banu pada Istrinya.
"Bela aja terus,"
"Paman, Bibi! Hati-hati! Amara akan berkunjung ke rumah Paman dan Bibi!" Teriak Amara saat taksi mulai menyala.
"Iya, Bibi menunggumu Amara!" Balas Siska berteriak.
Banu dan Siska melambaikan tangan pada Amara dan Daneil. Yang di balas Amara dengan lambaian tangan juga. Hanya David dan Daneil yang terlihat tak acuh. Hingga mobil itu keluar dari gerbang, barulah Amara menurunkan tangannya.
"Sudah puas?" Tanya Daneil sinis, menatap Amara.
Amara tak menjawab, hanya balas menatap mata suaminya. Wanita itu sama sekali merasa bersalah karena sudah membuat suaminya pulang. Menurut Amara Ia tak bersalah, sudah seharusnya Daneil ada di rumah disaat Paman dan Bibinya kembali.
Merasa percuma berbicara dengan Amara, Daneil menghembuskan nafas kasar. Lebih baik Ia kembali ke kantor. Tapi, batu saja akan membalikan tubuhnya sebuah cekalan menghentikannya.
"Terimakasih," ucap Amara.
Daneil terlihat tak peduli dengan ucapan itu, karena lelaki itu langsung menarik tangannya yang dicekal oleh Amara. Melanjutkan langkahnya menuju mobilnya. Dan mulai melajukan kendaraan roda empat itu keluar dari gerbang.
Amara menatap kepergian mobil suaminya. Ia masih diam di tempat dengan pandangan dingin. Sebelum kemudian menghembuskan nafas dan masuk ke dalam rumah.
Ada banyak pekerjaan yang harus Ia kerjakan. Mengingat Bik Asih masih belum berangkat bekerja. Mungkin habis ini Amara bisa menjenguk cucu Bik Asih. Melihat kondisi dari remaja perempuan yang memang dibesarkan oleh Bik Asih, neneknya. Sedikit membantu~mungkin, jika bisa Ia lakukan untuk keluarga dari pembantunya yang sudah baik kepadanya itu.
***
Hari ini adalah hari weekend, dan Amara memilih untuk menghabiskan harinya berkunjung ke sebuah toko tanaman hias. Gadis itu terlihat sangat senang ketika melihat hamparan bunga-bunga yang tertata rapi. Senyum cerahnya merekah tanpa dapat dicegah. Nyatanya bunga adalah pembangkit mood yang sangat baik untuk Amara. Sebelumnya mood Amara sudah hancur karena Daneil yang memilih menghabiskan weekend-nya di luar rumah tanpa mengajaknya.
Pandangan Amara tiba-tiba saja jatuh pada sebuah bunga berwarna putih. Bunga tulip. Terlihat sangat indah bunga itu mekar.
Amara mengambil pot bunga itu, menatap dengan pandangan terpukau. Ia kemudian membalikan tubuhnya, berniat untuk membelinya. Tapi belum sampai ke kasir--
Bruk!
Akh!
Cyar!
"Maaf," seorang gadis menunduk berkali-kali pada Amara.
Amara hanya mampu menghembuskan nafas. Kemudian bangkit berdiri. Ia menatap wajah gadis yang baru saja menabraknya, tapi sulit karena gadis itu menunduk belum lagi rambut panjangnya yang digerai. Tapi, Amara merasa mengenal dengan suara gadis itu.
Gadis yang menabrak Amara itu, sedikit mendongakan wajahnya melihat siapa sebenarnya orang yang sudah ia tabrak. Matanya membulat saat mengetahui siapa yang baru saja ia buat terjerembab ke tanah. Dengan segera ia kembali menunduk, menutupi wajahnya agar tak terlihat oleh orang yang baru saja ia tabrak.
"Seklai lagi Saya minta maaf Nyonya, Saya permisi." ujarnya bersiap membalikan tubuhnya untuk kabur.
"Tunggu!" Amara menghentikan kepergian gadis itu. Ia benar-benar seperti mengenal gadis ini. Seperti--
"Kamu sekretaris Daneilkan?" Ya,tak salah. Amara ingat dengan suara gadis itu yang selalu menyapanya setiap kali mengantarkan makan siang pada Daneil di ruangan lelaki itu.
Wajah Desy langsung pucat pasi, saat dirinya benar-benar diingat oleh Istri dari bosnya. Matilah dia, bisa-bisa habis ini dia menjadi pengangguran. Mau makan dengan apa dia? Batinnya nelangsa.
"Ampun Bu, saya benar-benar tidak sengaja. Saya mohon jangan beritahu Pak Daneil, saya mohon Bu. Bisa mati satu keluarga saya kalau sampai saya di pecat," ujarnya memohon dengan kedua tangan terkatup di depan dada.
Melihat itu kening Amara mengernyit. Apa yang di pikirkan gadis itu? Hanya karena sebuah bunga dan ia tega memutus mata pencaharian seseorang yang menjadi tulang punggung keluarga begitu? Oh, Ia tak sekejam itu.
"Hei! Kamu ini ngomong apa?" Tanya Amara geli.
Desy mendongak, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Saya takut Ibu tidak terima dan mengadu kepada Pak Daneil, saya takut setelah itu saya dipecat karena sudah menabrak ibu." Jelasnya gugup.
Mendengar itu Amara langsung tertawa geli. Hingga membuat gadis di hadapannya melongo. Bingung apa yang sebenarnya lucu.
"Kamu ini ada-ada aja, ini hanya masalah sepele. Tidak perlu melibatkan Daneil, cukup melibatkan polisi gimana?" Tanya Amara geli, malah semakin menggoda Desy.
Mendengar itu,mata Desy membola. "Astagfirullah, jangan Bu. Kalau saya dipenjara siapa yang akan menafkahi adik-adik saya, siapa yang akan menjaga nenek saya. Kasihanilah saya,"
Mendengar itu kening Amara mengernyit. "Kenapa Nenek? Ibu dan Ayahmu?" Tanyanya bingung.
Gadis di hadapannya terlihat menggigit bibirnya. Ia seperti menyayangkan kenapa mengatakan itu. Matanya berputar seperti berusaha mencari jawaban atas pertanyaan Amara.
"Em..."
Melihat gelagat gelisah dari Desy, Amara nghembuskan nafasnya.
"Apa yang akan kamu lakukan setelah dari sini?" Tanya Amara mengalihkan pembicaraan.
Desy menggeleng pelan. "Tidak ada,"
"Boleh Aku minta Kamu menemaniku setelah ini?" Tanyanya kemudian.
Desy langsung mendongak, terkejut mendengar ajakan dari istri bosnya. Matanya mengerjap polos, seolah antara percaya dan tak percaya. Berharap wanita di hadapannya itu mau mengulanginya kembali.
"Bagaimana?" Tanya Amara kembali. "Em... Itung-itung sebagai mengganti uang yang harus aku keluarkan untuk bunga yang sudah kamu buat pecah itu," Ia tunjuk pada pot bunga yang sudah pecah berserakan dengan tanah berhamburan dan sebatang bunga tulip.
Desy ikut melirik pada pecahan pot dan tanah yang berserakan. Ia meremas telunjuknya. Saat ini yang sedang Ia pikirkan adalah untuk apa Amara memintanya menemani setelah ini.
"Kamu tidak perlu khawatir, Aku hanya membutuhkan teman mengobrol. Hem... Akan sangat membosankan kalau aku sendirian, benarkan?" ucap Amara saat melihat dengan jelas kegamangan dari raut wajah Desy. Seolah sangat takut jika Ia akan melakukan hal yang macam-macam padanya.
Desy mulai menimang. Sepertinya Istri dari atasannya ini dapat dipercaya. Toh, sepanjang ia mereka bertemu di kantor wanita ini juga sangat ramah.
"Baik," angguknya kemudian.
Mengetahui hal itu, Amara tersenyum.
"Yasudah, ayo!" Ia tarik lengan gadis itu.
"Tu-tunggu!" Desy menahan saat tangannya ditarik oleh Amara.
Amara mengernyit. "Apa lagi?" Tanyanya bingung.
"Kita mau kemana?" Tanya Desy tak kalah bingung. Ia pikir jika yang Amara maksud adalah menemani wanita itu memilih bunga di sini dan Ia menemani.
"Ke--cafe," ujar Amara ragu, Ia belum menentukan akan ke cafe atau restoran.
"Buat apa? Saya pikir, Ibu menginginkan Saya menemani memilih bunga saja di sini."
Ah, Amara paham sekarang. "Tidak, Aku sudah minat lagi. Tidak masalahkan Kamu menemaniku untuk makan siang?" Tanya Amara.
Desy kembali terlihat berpikir. "Ta-tapi saya masih harus membeli bunga, untuk hadiah ulang tahun Nenek Saya." beritahunya.
Amara terperangah. "Tentu saja," Ia lepaskan cekalan tangannya. Membiarkan Desy untuk mencari bunga yang ingin gadis itu beli terlebih dahulu.
Desy mengambil secara acak bunga. Pada akhirnya, pilihannya jatuh pada bunga anggrek yang terlihat sangat indah. Ah, Neneknya pasti akan menyukai ini.
"Sudah?"
Desy mendongak, kemudian mengangguk.
"Yasudah, ayo!" Kali ini Desy tak menolak saat Ia ditarik menuju kasir.
"Kemarikan bungamu," Amara mengambil bunga di tangan Desy lalu menyerahkannya pada seorang wanita penjaga kasir.
"Ini, dan maaf Aku memecahkan sebuah pot bunga tulip tadi. Hitung saja jadi satu dengan ini," ujar Amara.
Penjaga kasir itu mengangguk, kemudian mulai menotal belanjaan Amara. "Jadi, semuanya satu juta tujuh ratus ribu."
Amara mengangguk. Kemudian mengeluarkan sebuah kartu di dalam tasnya. Ia berikan pada penjaga kasir itu. Tak butuh waktu lama, kartu atm-nya dikembalikan yang langsung saja Amara terima.
"Terimakasih,"
Amara hanya membalas dengan anggukan. Kemudian Ia membawa bunga milik Desy yang sudah dimasukan ke dalam kantung kresek. Ia juga tak lupa menarik lengan Desy keluar dari toko tanaman hias itu.
"Ambil ini," Amara berikan bunga anggrek itu pada si pemilik.
"Terimakasih,Saya akan ganti uang ibu." ujar Desy menerima pot bunganya.
"Tidak perlu kamu ganti, tadi kamu ke sini naik apa?" Tanya Amara.
"Saya tadi naik bus, Bu."
"Bagus," kemudian Ia menarik Desy ke arah di mana tadi mobilnya terparkir.
"Masuk," perintah Amara.
Desy menurut. Ia duduk di samping kursi kemudi, samping Amara. Kemudian mobil itu melaju meninggalkan tempat itu. Tak ada kata yang terucap selama perjalanan. Kedua wanita itu terlihat fokus dengan kegiatan masing-masing.
***
Nb. Amara plus Desy, klob nggak??
Aku nggak jenuh2 untuk meminta dukungan kalian untuk cerita ini. Thanks:')
Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius
Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!