webnovel

Part 6. Knowing You By Heart

"Tita"

Suara maskulin itu langsung menyentakan Tita dari lamunannya, dia terperanjat begitu bertatapan dengan mata biru gelap keabu-abuan seperti dasar lautan itu. Tita langsung beringsut menjauh ke sudut mobil limousine hitam itu. Reflex tubuhnya yang berusaha melindungi diri.

Jemari Al terulur, menyentuh jemari Tita yang terkepal kuat di atas pahanya. Sentuhannya membuat Tita gemetaran. Tita rupanya tanpa sadar banyak melamun di dalam limousine mewah ini selama perjalanan mereka ke apartemen Alfard dari resepsi pernikahan mereka.

Meski pemandangan kota Manhattan di luar jendela limousine itu benar-benar memanjakan mata dengan wajah kota metropolitan yang gemerlap, bertabur cahaya. Tapi Tita seolah kehilangan minat dan hasrat untuk sekedar mengagumi nya.

Tita menatap jemari Al yang menyentuh jemari nya lembut, menatap ragu-ragu pada lelaki yang menyentuh jemari nya itu. Pada akhirnya dia hanya menggelengkan kepala pelan lalu menarik paksa tanganku dan berkata,

"Aku... Aku tidak apa-apa". Berusaha berkata seketus mungkin meski hatinya takut-takut pada pria disampingnya ini. Tita menatap Al curiga. Biar bagaimanapun pria itu asing bagi nya. Tetapi lelaki yang ditatapnya ini hanya memasang expresi datar yang tak terbaca. Yang mengejutkan sedetik kemudian Al malah tersenyum lembut kepadanya. Membuyarkan semua ketakutan Tita dan melunturkan kecurigaannya.

"Sebentar lagi kita akan sampai di apartemen ku".

Limousine yang dikendarainya memasuki sebuah blok apartemen mewah di kawasan elite Manhattan, New York.

"Mari, kita sudah sampai di rumah. Kau pasti suka disini." Kata lelaki itu dengan datar.

Seseorang membukakan pintu mobil hingga hawa dingin menelusup dan membuat Tita sedikit menggigil, dia mengusap lengan nya pelan demi menghalau hawa dingin yang tiba-tiba menyapanya. Hal itu tidak luput dari perhatian Al, lelaki itu berdecak pelan.

"Aku akan memarahi siapapun yang bertugas menyiapkan pakaianmu. Dia lupa memberimu jaket". Gerutunya dengan marah. Dan tanpa disangka-sangka, lelaki itu melepaskan jas nya dan menyampirkannya ke pundak Tita. Menarik tubuhnya dan memakaikannya.

"Ini pakailah". Katanya datar.

Tita terkesiap ketika lelaki itu memakaikan jas nya menyelubungi pundaknya dan membungkus tubuh rampingnya. Jas itu terasa hangat seakan ada sisa dari panas tubuh Al yang tertinggal disana.

Tangannya terulur pada Tita. Sayangnya rasa gengsi dan emosi masih menyelimuti hati nya sehingga ia memilih mengabaikan uluran tangan lelaki yang baru saja menjadi suami nya ini. Tita melewatinya tanpa sedikitpun peduli pada uluran tangannya. Terlihat lelaki itu mengepalkan tangannya. Sayangnya gaun pengantin Tita yang panjang tersangkut pada pintu limousine sehingga membuatnya kesulitan menarik rok gaun yang lebar dan besar itu. Al dengan sigap membantu mengangkat ekor gaun pengantinnya yang panjang dan tersangkut itu.

Tita benar-benar seperti nyaris kehabisan napas hanya dengan menarik gaun pengantinnya yang beratnya berkilo-kilo itu. Sungguh ia ingin mengutuk siapapun yang telah membohongi anak-anak bahwa memakai gaun pengantin itu bak putri-putri di Disney. Cantik dan anggun tapi ternyata menyiksa!. Dia benar-benar merasa dibohongi oleh imaginasi kanak-kanak nya karena impian semua anak perempuan adalah menikah dengan pangeran berkuda putih lalu memakai gaun pengantin indah dan hidup bahagia selamanya. Hah! Dasar negeri dongeng.

Rasa kesalnya bertambah-tambah ketika gaun itu menyangkut dan sulit sekali ditarik dari mobil. Lelaki bernama Al itu turut membantunya tapi emosi dan lelah sudah lebih dulu menguasainya sehingga malas bagi nya untuk berterima kasih. Lagi pula salah laki-laki itu juga yang membelikan gaun seberat ini.

Dengan kesal Tita mendahului lelaki itu masuk ke lobby apartment. Membiarkannya kesal dibelakang. Tita benar-benar tidak peduli.

*****

Tita benar-benar terpaku melihat kemewahan di lobby apartment ini. Hampir semua dindingnya adalah floor to ceiling windows dimana kaca tembus pandang menyuguhkan pemandangan vertical garden yang mengelilingi di luar gedung. Lantainya adalah marmer coklat keemasan seperti madu yang mengkilap mewah. Juga chandelier yang tergantung di langit-langit nya. Tita sibuk mengagumi desain arsitektur bangunan ini begitu juga dengan interior design nya. Hingga ia sadar puluhan pasang mata memandangnya seperti ia baru mendarat dari planet mars. Seketika ia teringat kalau ia bahkan tak tahu unit apartment mana yang akan mereka tuju.

"Iiiiiiih Tita bego!!" Runtuk nya pelan.

*****

Al baru saja selesai bertelepon dengan Akira. Asistennya itu mengatakan sudah selesai menyeleksi beberapa bodyguard yang akan bekerja melindungi nyonya muda nya. Mereka akan bekerja dalam bayang-bayang dan Al percaya pada kemampuan Akira memilih orang. Setelah mematikan iphone nya, dia menyusul Tita ke lobby. Dan pandangannya tertuju pada perempuan cantik dengan gaun pengantin yang menenggelamkan seluruh tubuhnya. Dia sedang duduk di sofa putih di sisi kanan lobby. Dengan wajah ditekuk cemberut dan terlihat sedikit frustasi.

Al berjalan mendekat dan tanpa ia duga gadis di depannya itu berdiri dan berjalan menghampirinya.

"What are you do.....ing?"

Bruk!!

"Kenapa kau lama sekali? Aku menunggu mu disini dari tadi. Kau tidak tahu banyak orang melihatku seperti aku baru turun dari planet mars. Beberapa bahkan ada yang menertawakanku. Aku.... Aku takut huaaaaa hiks hiks.... Aku tidak tahu unit apa yang akan kita tuju huaaaaaa hiks hiks".

Al benar-benar kaget, anak ini berjalan mendekatinya dan tiba-tiba berkata tanpa jeda lalu menghamburkan diri ke pelukannya dan menangis. Dapat Al rasakan tangannya yang kecil bahkan memukul-mukul dada Al yang lebar, pukulan yang cukup keras tapi terasa sangat pelan bahkan seperti usapan bagi Al, sambil menahan isak tangis

"Kenapa kau lama sekali".

Al mendengus menahan tawa rasanya begitu aneh melihat pengantinnya yang tadi seperti singa betina tiba-tiba sekarang seperti anak kucing yang kehilangan induknya. Geli sekali. Dia benar-benar gemas pada anak perempuan manja di pelukannya ini.

Dengan segaris senyum tipis ia membelai punggung gadis ini mentransfer rasa nyaman, tenang dan aman yang ia tawarkan dalam sentuhannya. Dia juga mengelus rambut nya agar segukan gadis ini berhenti. Sengaja ia membiarkan gadisnya ini memukul nya pelan berkali-kali sambil menangis, sengaja ia tak berbicara sepatah katapun agar gadis ini meluapkan emosinya dahulu baru ia akan bicara.

Al paham perubahan yang terlalu cepat dan tiba-tiba ini pasti menimbulkan rasa takut dan cemas bagi Tita. Orang tuanya bahkan sudah kembali ke Indonesia dengan penerbangan malam ini. Dia ditinggal sendiri pasti menakutkan bagi nya.

"Sssst... maafkan aku. Aku menerima telepon sebentar. Hapus air matamu, kita naik ke unit kita, ok?"

"Hiks hiks ok" Jawab Tita pelan.

Tita tidak menduga kalau apartment ini menyediakan lift khusus untuk pemilik unit. Ketika Al membawanya ke lantai tertinggi gedung pencakar langit ini. Lift ini berdindingkan kaca tebal transparan yang tembus pandang hingga Tita bisa melihat pemandangan kota Manhattan dari balik lift. Gemerlap lampu kota di malam hari rasanya seperti melihat rasi bintang yang di tebar di bumi yang gelap.

Begitu mereka keluar dari lift di lantai apartment ini sepertinya hanya ada satu unit dan itu unit Al seorang. Karena sejauh mata Tita memandang tidak ada pintu lain di unit ini selain pintu unit yang akan ia tempati. Al membuka pintu tidak dengan kartu pin khusus atau kunci apapun melainkan dengan sidik jari dan sensor retina. Wow Tita benar-benar takjub dengan keamanan tingkat tinggi di gedung ini. Sebelum masuk Al memintanya mendaftarkan sidik jari nya dan juga memindai retina nya agar ia bisa masuk sesuka hati ke unit mereka ini.

"Welcome home". Suara lelaki itu entah kenapa terdengar datar, dingin dan penuh perhitungan.

Tita melangkah hati-hati dan matanya langsung disuguhi pemandangan yang sangat menakjubkan. Tita mengerutkan keningnya ketika menatap pemandangan di depannya. Mereka berada di sebuah unit apartment yang tidak terasa seperti apartment saking luasnya. Mungkin karena apartment bergaya penthouse ini, justru terasa seperti berada di sebuah rumah dua lantai yang luas dan mewah dengan ruang tamu yang luas yang sekeliling dindingnya adalah floor to ceiling windows alias dinding kaca tinggi besar dan sangat terbuka.

Tempat ini sangat tinggi dan dengan kaca-kaca besar sebagai pengganti dindingnya. Penthouse ini bagaikan mengapung di udara. Dari balik dinding kaca itu bila menunduk kebawah, pemandangan kota dengan gemerlapnya lampu jalanan terhampar luas juga central park dan sungai Hudson. Sedangkan mendongak ke atas adalah langit hitam dengan taburan bintang-bintang terhampar luas sejauh mata memandang.

"Floor to ceiling windows ini adalah kaca-kaca yang dibuat khusus tidak tembus pandang dari luar. Kaca ini juga tebal dan anti peluru. Kau bahkan tidak perlu takut seseorang mengintip mu meski kau telanjang sekalipun di depan kaca ini. Karena bisa kupastikan hanya orang yang di dalam rumah yang mampu melihat keluar tapi tak seorang pun orang luar bisa melihat kedalam rumah ini meski kaca ini terlihat transparan" Al berkata tanpa menoleh pada Tita, seolah tahu apa yang Tita pikirkan.

Tita sempat bersemu merah ketika Al menyebut kata 'telanjang'

Tita mendengus "Kaya aku mau aja naked di depan dinding kaca terbuka kaya gini". Tapi harus Tita akui ini sangat futuristic.

Tita berbalik dan mencoba seberani mungkin ketika menanyakan apa yang ada di pikiran nya selama ini.

"Dimana kamarku?" Dia sengaja mengangkat dagu agar terlihat angkuh dan berani.

Dia melihat sekeliling, ruangan ini terlalu luas untuk ditinggali seorang diri. Tita terlalu lelah untuk melakukan tour di rumah ini. Ia hanya ingin secepatnya menemukan kasur, bantal dan guling.

Al mendekat memangkas jarak diantara mereka, Tita tanpa sadar melangkah mundur setiap kali Al berjalan mendekat. Hingga tanpa bisa ia menghindar Al menarik pinggangnya dan membenturkan diri nya ke dada bidangnya yang kokoh dan kuat itu. Tita terkesiap ketika Al berkata dengan pelan tepat di depan wajahnya.

"Menurutmu dimana seorang nyonya tidur kalau bukan di kamar suaminya?".

Alarm di otak Tita langsung berdering, menyalakan alarm bahaya di otaknya.

"Nooo big no. Dengar tuan sok kuasa. Aku memang setuju menikah dengan mu tapi aku belum setuju untuk jadi istrimu". Tita berusaha menjauhkan Al dari dirinya. Al malah tertawa sinis padanya seolah yang Tita katakan adalah hal yang paling konyol yang pernah ia dengar.

"Aku mau kamar terpisah. Pokoknya kamar kita harus terpisah." Kata Tita

"Kalau ku katakan tidak?" Tantang Al

"Aku akan... aku akan ..." Tita melihat sekeliling dengan gelisah. Ia tidak menemukan tempat untuk berlari atau menghindar atau apapun yang bisa ia pakai untuk mendukung ancamannya.

"Aku akan teriak kau orang jahat, penculik, pemaksa anak gadis orang. Hah? Bisa apa kau?" Tita tersenyum lebar merasa sudah diatas angin.

Al mendengus dan tersenyum tak kalah sinis nya.

"Coba saja kau teriak. Tak akan ada yang mendengarmu. Kalau ada yang melihat mereka tidak akan berani menggubris mu karena mereka akan melihat siapa yang kau teriyaki itu. Ayo coba sekarang. Silahkan. Aku menunggu mu anak singa. Ayo keluarkan taringmu". Tantang Al dengan senyum jumawa nya.

Oh shit! Triple shit! Dia bener. Bego! Kalau teriak pun siapa yang mau nolong. Mau ngancem bunuh diri pun Tita takut.

Wajah Tita sudah mulai pucat dan matanya mulai berkaca-kaca. Bayangan dia akan diperkosa sudah melintas beberapa kali di otak nya.

"Singkirkan pikiran buruk dari otak kecil mu itu. kau istriku dan aku adalah suami mu. Kamar mu adalah kamar ku". Al mengucapkan kata terakhir dengan lambat-lambat seolah menekankan pada Tita status mereka sekarang. Aura mengintimidasi yang Al pancarkan sukses membuat nyali Tita mengkerut.

"Ehem. Welcome home tuan dan nyonya".

Pada saat itulah Tita baru menyadari bahwa mereka tidak sendirian di penthouse ini. Ada dua orang perempuan kisaran usia 40an berpakaian pelayan berwarna hitam melangkah mendekat. Dua orang perempuan itu terlihat persis sama, apa karena dandanannya sama, baik pakaian maupun rambut mereka yang disisir rapi dan dicepol ke belakang atau memang kedua nya begitu mirip.

"Ini Manila dan Minerva. Mereka berdua kembar dan merupakan pelayan pribadimu. Mereka ditugaskan disini untuk melayani segala kebutuhanmu". Al menjelaskan dengan tenang.

"Koper anda sudah dipindahkan ke kamar, nyonya". Seru salah satu dari mereka. Tita belum tahu yang mana Manila dan yang mana Minerva. Mereka terlalu identik. Lalu mereka undur diri kebelakang karena hari memang sudah larut malam.

*****

Kamar utama di rumah ini didominasi warna monokrom, hitam, putih dan abu-abu dengan floor to ceiling windows dan lantai kayu. Berbeda dengan ruangan lain di penthouse ini yang diisi dengan segala kemewahan, tirai-tirai indah, lampu-lampu Kristal berkilauan dan berbagai lukisan, kamar sang pemilik rumah sendiri tampak ..... kosong.

Iya benar-benar kosong. Satu-satunya perabot yang mencolok adalah sebuah tempat tidur ukuran king size dengan kepala ranjang yang mewah dilapisi oleh sprei sutra lembut berwarna putih bersih dan selimut besar yang digulung di kaki ranjang berwarna abu-abu muda. Terdapat nakas di sisi kiri dan kanan ranjang tempat meletakkan lampu tidur. Terdapat dua pintu di dalam kamar yang Tita duga salah satunya adalah kamar mandi. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi di dalam ruangan itu.

"Hmm dimana kamar mandi dan dimana koperku?" Tanya Tita

"Kamar mandi pintu sebelah kanan dan koper mu ada di wardrobe yang pintu sebelah kirinya". Jawab Alfard.

"Oh" Tita melihat Al ragu-ragu dan pintu keluar bergantian.

"Hmm bisa kau keluar sebentar. Please". Kata Tita hati-hati.

"Ini kamarku. Dan ini rumah ku". Jawab Al datar.

Tita benar-benar ingin melempar pria ini dengan highheel nya. Dimana rasa peka nya. Mana mungkin Tita harus berganti pakaian sambil ditonton nya bukan?

"Iya tapi aku mau ganti baju". Katanya menahan kesal.

"Ganti saja disini". Perintah Al dengan nada datar lagi. Meski ia ucapkan dengan datar ada nada tak terbantahkan disana.

Tita memutar bola matanya. Yang benar saja.

"Aku sudah lelah. Aku ingin segera melepas gaun pengantin sialan ini. Oh shit ini berat sekali. Dan aku ngantuk. Aku juga belum membersihkan make up tebal sialan ini. Belum lagi aku juga ingin ke kamar kecil dari tadi aku menahan ingin buang air kecil jadi ku mohon kau aahh......".

Omongan Tita yang meracau karena lelah dan ngantuk itu terpotong karena tanpa ia sadari Al sudah berdiri di belakangnya dan mulai membuka kancing gaun pengantin nya satu persatu.

"Diam lah. Kau cerewet sekali. Baju ini hanya bisa dilepas dengan bantuan orang lain. Jadi diamlah dan biarkan aku membantu melepas kancing belakangnya untuk mu".

"O.. oh baik ...baiklah". Tita benar-benar diam setelahnya. Membiarkan Al membantunya melepas semua kancing belakang gaun pengantinnya, juga melepas ornamen-ornamen di kepala nya.

"Aaaahhh rasanya lega sekali". Tita membiarkan rambutnya yang sudah bebas dari ornament terurai sempurna menjuntai ke bawah menutupi punggungnya. Dia tidak menyadari ada seseorang di belakangnya yang menegang, melihat punggungnya yang terbuka hanya tertutupi rambut panjangnya. Dengan satu tangan menahan gaun pengantinnya agar tetap melekat di dadanya, Tita berbalik menatap Al dan tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi nya yang tertata rapi tapi ada gingsul di kedua sisi nya. Gigi yang tidak sempurna itu malah menambah kesan manis pada wajahnya. Her killer smile

"Terima kasih". Kata Tita tulus.

Untuk beberapa detik Al seperti tidak berada di raganya. Dia terdiam dengan wajah datar tanpa ekspresinya. Tiba-tiba saja Al membalikan badan, melangkah dengan langkah panjang-panjang dan tegas ke arah pintu. Ketika sampai di ambang pintu, lelaki itu menolehkan kepalanya dan menghantam Tita dengan tatapan tajam yang menakutkan.

"Istirahatlah"

Kalimat itu singkat, padat dan jelas. Tapi penuh dengan nada memerintah yang otoriter. Dan sebelum Tita sempat memberikan reaksi apapun, pintu kamar itu sudah dibanting keras di depannya. Tita kaget dan berpikir, dia salah apa.

Dan malam itu lelaki itu tak pernah kembali bahkan hingga lewat tengah malam pun ia tetap tidak kembali, membiarkan pengantinnya tidur sendiri di peraduan mereka yang luas.

****