"Toilet Sedang Dalam Perbaikan"
Tulisan di kertas A4 dengan spidol hitam tebal diletakan tepat di pintu toilet wanita di cafe tersebut. Ya toilet yang bertulis di pintu itu, tertutup dan terkunci. Tanpa ada yang tahu bahwa ada dua orang anak manusia terjebak di dalam nya.
"Chiko" Helena terkejut melihat pantulan orang lain di cermin selain diri nya.
Bunyi klik pintu yang di kunci terdengar.
Zerico berjalan mendekat, mengikis jarak diantara mereka. Helen berbalik dari cermin besar itu. Tepat saat ia berbalik, Zerico sudah memerangkapnya dengan kedua tangan berada di pipi kiri dan kanan Helen. Telapak tangan Zerico menangkup nya dan......Menciumnya.
Napas Helena tercekat. Udara panas dan aroma mint menguar dari deru napas Zerico. Sedetik, hanya sedetik, tatapan mereka bertemu. Mata lelaki ini berkilat tajam.
Lalu ia memiringkan wajahnya, menelusuri rahang dan leher Helena yang halus. Helen tercekat menahan napas sekaligus debaran jantungnya yang kian bertalu. Dia bisa merasakan rasa lembut dari bibir Zerico yang sedikit gemetar. Hembusan nafas hangat Zerico terasa menggelitik hingga telinganya. Dia berhenti disana, tepat di telinganya dan berbisik.
"Aku mencintaimu, Helena"
"Berhentilah memanggilku Chiko. Aku bukan anak SMP culun, berkaca mata dan hanya berkawan dengan piano. Namaku Zerico".
Tanpa membiarkan otaknya berpikir sedetikpun. Kali ini biarlah instingnya yang memimpin, menguasainya, memaksanya untuk ..... mencium Helen.
Guru piano nya. Cinta Pertama nya. Cinta yang tak kunjung berbalas.
Merasa tak ada respon dari lawannya, Zerico membuka matanya. Dia menghentikan ciuman itu. Helen menatapnya dan ......
Plaakkk!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Zerico. Dengan wajah terkejut, dia mengusap pipi nya. Terasa sakit disana tapi kenapa justru hatinya yang berdenyut nyeri?
Jarak mereka masih sangat dekat, hanya sejengkal tangan. Helen bisa merasakan deru nafas Chiko, panggilan yang selalu ia alamatkan untuk murid terpandai kesayanganya. Entah harus marah pada sang waktu atau berterima kasih padanya, yang jelas sang waktu telah berhasil seutuhnya merubah murid jenius nya menjadi lelaki tampan dengan bakal otot tercetak di kedua tangan nya.
"Aku menunggumu selama ini. Tak bisakah kau melihat ke arahku barang sedetik saja. Lihatlah aku sebagai pria".
Zerico berkata lirih dengan nada putus asa.
"Sadarlah Chiko, kita tidak mungkin bersama!" Helen hampir berteriak putus asa.
"Kenapa? Karena perbedaan usia? Karena status kita?"
Helen tercekat, kata yang ingin ia ucap adalah kata terakhir yang paling ingin ia ucapkan. Sebuah kata yang ingin ia lupakan dalam hidupnya.
"Aku cacat! Puas?" Helen berteriak dengan pasrah.
Brukk!!!
Pintu yang terkunci itu ditendang dengan keras. Penampakan dua sosok yang berdiri dengan ekspresi berbeda.
"Kakak?"
"Tita?"
Alfard berdiri dengan rahang mengeras menahan marah. Sementara Tita berdiri di belakangnya dengan wajah terkejut. Tanpa banyak bicara Al berjalan dengan langkah lebar mendekati mereka berdua dan ....
Buk! Buk!
Pukulan keras melayang ke wajah Zerico disusul teriakan panik dan kaget dari Helen dan Tita. Helen berusaha melerai. Al terus melayangkan tinju nya hingga wajah Zerico babak belur dan nyaris pingsan. Beberapa pengunjung dan pelayan mulai berdatangan menonton mereka.
Salah seorang pelayan dan security cafe membantu melerai mereka. Al melepaskan Zerico setelah dia lemas dan terkulai. Darah sudah mengalir dari hidungnya. Al bangkit berdiri dan menyugar rambutnya. merapikan jaket kulit warna hitam nya yang sedikit berantakan.
"Bila kau masih peduli padanya, urusi dia, Helen!"
"Dan kau bocah! Jangan berani mendekati Tita lagi!"
Al menarik Tita yang berdiri mematung karena masih shock. Tangan Al meraih tangan Tita, menggenggamnya seolah Tita bisa hilang kapan pun. Menariknya dari kerumunan massa yang penasaran apa yang terjadi.
Mereka berjalan melewati kerumunan, beberapa pengunjung cafe terang-terangan menatap mereka berdua berjalan bergandengan tangan. Tita melihat pada tangannya yang digenggam Al. Tatapannya merambat naik pada pemilik lengan yang menggenggam erat jemarinya.
Tita hanya mampu terdiam. Otaknya belum siap menerjemahkan kilasan demi kilasan gambar yang di capture matanya. Fakta bahwa Zerico mencintai Helena. Al yang memukul Zerico dan........ Al menggenggam tangannya penuh perlindungan.
Bukankah harusnya dia menangis karena dia hanya pelarian Zerico dari Helena?
Bukankah harusnya dia marah karena hanya dimanfaatkan?
Tapi hanya sebuah genggaman tangan dan sikap protektif Alfard sudah cukup membiarkan rasa itu. Rasa itu memudar, tertelan hembusan angin malam. Tapi tangan Tita menghangat, begitupun hatinya.
Tanpa sadar Al sudah menuntunnya ke mobil. Dia membukakan pintu penumpang di bagian depan. Tita mendongak, menatap tepat di manik mata nya.
Sorot matanya tajam. Pikir Tita.
"Sudah cukup memandangiku? Aku tahu. Aku ... Tampan". Al tersenyum.
Tita tersedot kembali ke realita.
Narsis luar biasa. Katanya dalam hati sambil memutar bola matanya. Tapi senyum tipis terukir disana.
*****
Sepanjang perjalanan pulang pun Tita hanya diam. Al berkali-kali meliriknya, mengalihkan pandangannya dari kemudi stir. Ya dia memilih menyetir sendiri mobilnya hari ini. Al benar-benar khawatir, Tita yang biasanya cerewet, manja dan sering kali mengajaknya bertengkar untuk hal-hal sepele tiba-tiba terdiam seperti ini.
Diam. Sunyi. Dan Al benci ini.
Dengan kesal Al memarkir paksa mobilnya di pinggir jalan. Jalan itu sepi hanya terdengar sayup-sayup musik dari radio yang sengaja diputar dengan volume kecil.
"Bila kau mau menangis. Menangislah". Al menatap Tita.
Al memberanikan diri menyentuh tangan Tita yang ia letakkan di atas tas kecil di pangkuannya. Sungguh hanya kepada istri kecil nya saja ia mampu bersikap hati-hati dan lemah lembut setelah sekian wanita yang tak bisa dihitung jumlahnya terbiasa melemparkan diri padanya dengan suka rela.
Al mengelus tangan Tita dengan ibu jarinya, menyalurkan rasa nyaman di hati Tita. Rasa nyaman tumbuh perlahan detik itu juga. Hanya dalam hitungan detik, rasa nyaman itu sudah mengakar serabut di hatinya, menjalari setiap sudut hati Tita dan menancap kuat disana.
Tita menoleh padanya. Menatap manik mata nya. Matanya sudah memerah. Al tahu ia sudah menahan tangis sejak tadi.
Tiba-tiba matanya yang memerah menjalar ke hidung nya, lalu menjalar pula ke pipinya dan wajahnya. Tanpa sanggup Tita cegah butiran air mata lolos dari kantung matanya. Mengalir pelan lalu menderas dan menganak sungai di pipinya.
Hiks hiks huaaaaa...........
Zerico jahaaaaat .............
Tangis Tita pun pecah. Al benar-benar menguatkan diri menahan tawa. Dia geli bukan main.
Wajah Tita sudah memerah sembab. Dimulai di mata nya lalu hidung nya. Bahkan ingus sudah mulai mewarnai isak tangis nya. Sungguh lucu. pikir Al.
Tapi disatu sisi, dia kesal karena yang Tita tangisi adalah lelaki lain.
Al mendekatinya. Dengan perlahan ia memeluk tubuh Tita. Al mengelus punggung nya, berusaha menenangkannya. Tangis Tita berhenti, digantikan dengan sesegukan kecil.
Tita meremas kaos hitam yang Al pakai. Pelukan Al memberikannya rasa nyaman. Lalu Al bergerak perlahan, mengecup puncak kepala Tita. Kali ini Tita tidak berontak. Dia butuh pelarian. Dan Al memberikan rasa itu.
Perlahan hidung Al bergerak dan berhenti tepat di kening nya. Al mengecup lama keningnya. Tita memejamkan mata. Sesuatu yang hangat menjalar di hati nya. Rasanya ...... tentram.
Al menyapukan bibirnya perlahan turun ke mata Tita, bulu mata Tita yang lentik dan panjang terasa basah di bibir nya. Dikecupnya kembali kedua mata Tita. Terasa asin sisa jejak air mata.
"Akan ku hapus semua jejak lelaki itu di mata mu. Bagiku kau hanya boleh melihatku. Tersenyum hanya untuk ku. Tertawa hanya untuk ku. Bahkan menangis pun hanya untuk ku. Hanya aku, Tita. Tak boleh yang lain. Kau paham?"
Al membisikan kalimat demi kalimat itu dengan sangat pelan. Dengan hidungnya yang menempel di hidung Tita. ia menggesek hidungnya perlahan. Hembusan nafas panas nya yang beraroma permen karet mint menguar di hidung Tita.
Tita mengangguk pelan. Berusaha menetralkan detak jantung nya yang tiba-tiba berpacu cepat. Mendebarkan.
Tanpa Al tahu Tita tersenyum antara geli dan ..... tersipu mendengar perkataan nya tersebut.
Al yang dingin. Al si kanebo kering itu. Bisa juga romantis begini. Pikir Tita.
Tita mendongak menatap Al, lalu tersenyum. Senyum polos nya tanpa sadar sudah meluluhlantakkan hati seorang yang keras seperti Alfard Jayden Wood.
Al tertegun sekilas
Oh cantiknya gumamnya pelan
Tanpa sanggup menunggu, Al menautkan bibirnya ke bibir Tita. Kali ini ia sengaja menyapukan perlahan bibirnya pada bibir lembutnya Tita, mengecupnya perlahan pada pinggiran bibirnya. Lalu memagutnya lembut. Dia memegang dagu Tita. Lengannya yang bebas bergerak turun menyapu perlahan leher jenjang Tita, turun lagi ke lengan nya, mengusap-usap lengan nya perlahan.
Sementara bibirnya mendesak Tita membuka celah mulutnya. Lidahnya berhasil masuk, menelusuri setiap sisi rongga mulut Tita. Lidah mereka bertautan di dalam, berperang satu sama lain saling berkejaran.
Tita yang masih amatir seolah diajarkan oleh suaminya. Al memasuki mulutnya lebih dalam, Tita pun ikut. Al menelusuri setiap dinding mulut nya dan Tita pun mengikuti nya. Al menggigit pelan bibir bawah istrinya dan Tita membalas hal yang sama.
Al terkekeh disela ciumannya.
"You're a fast learner". Bisiknya
******
Al turun lebih dulu dari mobil, membuka pintu mobil untuk Tita. Istri kecil nya ternyata sudah tertidur pulas, tak tega membangunkan nya. Al memandangnya sebentar, beberapa helai rambut menutupi wajah Tita. Al menyipitkan mata sejenak, dia memperhatikan tiap detail pahatan Tuhan pada wajah istrinya. Kulit putih merona, alis nya terbentuk indah, bulu matanya lentik dan panjang, hidung nya mancung seperti terpahat pas di wajah oval nya, dan satu lagi yang tak luput dari penglihatan Al. Bibir merah muda nya. Terlihat ranum dan membangkitkan desiran dalam darah panas nya.
Tanpa terduga, Alfard langsung membungkuk, melingkarkan tangannya di belakang punggung dan di belakang lutut Tita, lalu mengangkat Tita ke dalam gendongannya.
Tita terkulai dalam gendongan Al. Kepala nya bersandar di dada bidang itu, tertahan disana. Al terus menggendong Tita melalui lift pribadi yang aksesnya langsung ke unit apartment penthouse nya. Pintu apartment terbuka dengan kunci pemindai retina nya. Ternyata Marta sudah lama pulang, hanya menyisakan mereka berdua di rumah ini. Al terus membawanya melewati tiap anak tangga dengan hati-hati. Membuka pintu kamar nya yang menyala otomatis dengan mendeteksi suhu manusia. Dia meletakan Tita di ranjang king size nya dengan lembut seolah sedikit gesekan saja bisa membuat Tita terbangun.
"Aku tahu kau sudah bangun sejak tadi, Princess. Bangunlah".
Anjrit, dia pake tahu lagi gue udah bangun. Jerit Tita dalam hati.
Tita tidak langsung membuka mata, masih berpura-pura tidur. Gengsi lah ketahuan menyelam sambil minum air. Dia menggigit bibir bawah nya antara terpaksa mengakui sudah bangun atau pura-pura bego dan tidur lagi.
"Yakin masih mau pura-pura. Atau perlu ku bangunkan paksa?" Al berbisik tepat di telinga Tita. Menggesekan bibirnya pelan di daun telinga Tita, menyapunya sedikit dan mengecupnya sedikit.
Tita bergidik geli dan sekaligus pipinya memerah mendengar jawaban tak terduga tersebut. Rasa panas menjalar di pipi putih mulus nya, membuatnya tanpa sadar tersenyum sambil membenamkan muka pada bantal empuk di dekatnya.
Kali ini mata Al menajam. Pria itu tanpa terduga menggerakan tangan kokohnya ke pipi istri kecil nya. Jemari nya yang kokoh menangkup pipi Tita yang mungil. Mata mereka saling beradu. Wajah Al mendekat, jemarinya masih menangkup pipi Tita, perlahan ia menggerakan kepala Tita hingga mendongak ke arahnya.
Tanpa Tita mampu melawan, bibir Al mengecup disana. Menebarkan sensasi hangat berupa kejutan listrik statis ringan yang menjalari pembuluh darah dan memacu jantung bekerja lebih cepat. Ciuman yang hanya sekian detik, hanya menempel di bibir lalu mengecup singkat tanpa gairah panas yang menggebu juga tanpa cumbuan penuh nafsu. Tapi efeknya seperti episentrum yang menjalar di aliran darah Tita.
"Kau belum makan malam bukan?" Tanya nya dengan sedikit geraman. Tanpa Tita tahu bahwa saat ini Al berusaha keras menahan apapun gejolak hati dan gairah nya.
"Hmm i-iya". Jawab Tita.
Suasana menjadi hening, hanya napas keduanya yang seolah menggema di ruangan ini.
"Wait a minute" Al keluar sebentar dari kamar. Tak lama ia masuk ke kamar membawa sebuah kotak.
Mata Tita menatap ke dalam kotak berlapis beludru warna coklat tua itu
Merasa tertarik dia bertanya "Apa itu?"
Al tersenyum membuka kotak itu, meletakkannya di atas selimut putih tebal yang menutupi kaki Tita.
Tita terbelalak, kotak berlapis beludru lembut itu, dengan tulisan timbul berwarna emas berkesan sangat elegan ternyata berisi berbagai bentuk coklat yang mengkilap menggoda dengan aroma manis nan pekat yang khas. Aroma itu menguar dari balik kertas khusus pembungkus coklat itu, semerbak memenuhi ruangan.
"Coklat?" Tanya Tita dengan mata berbinar. Ini adalah makanan mahal terlihat dari pembungkusnya saja Tita bisa menebak demikian apalagi aroma nya.
"Mau mencicipi? Tenang saja coklat ini dibuat rendah lemak"
Tita menelan ludahnya. Dengan malu-malu dia mengulurkan jemarinya dan mengambil salah satu potongan coklat. Dengan hati-hati Tita menggigit setengah potongan coklat itu dan melumatnya di dalam mulut. Sejenak dia terpana ketika merasakan sensasi lumernya coklat tersebut di dalam mulutnya. Coklat itu mencair di lidahnya, seperti lapisan lembut, manis dan nikmat yang melumuri seluruh indra perasanya dan memanjakan lidahnya.
Al tersenyum sedikit geli melihat reaksi Tita.
"Suka?" Tanya nya. Tita menganggukan kepala salah tingkah.
"Ini enak sekali. Terima kasih". Gumamnya malu-malu.
"Aku melakukan ini untuk membujukmu". Kata Al
"Membujuk untuk apa?" Tanya Tita.
"Terkadang, seorang istri perlu juga dibujuk agar mau menjadi seorang istri" Gumam Al penuh misteri.
Al mengambil sisa potongan coklat itu dari jemari Tita, dan memasukannya pada mulut Tita, membiarkan separuh potongan itu melumer dan menjadi cairan manis yang lembut. Lalu tanpa membiarkan coklat itu tertelan begitu saja, Al mencium bibir Tita, lidahnya menelusup masuk, mencicipi bersama rasa manis alami Tita yang beradu dengan lembutnya chocolate.
Kiss with chocolate flavor. Chocolate and Softness.
Al mencium Tita sambil mendorongnya perlahan hingga tubuh Tita terbaring di ranjang dengan kepala yang bersandar di bantal. Sebelah tangannya yang bebas menyingkirkan kotak coklat tersebut ke nakas sambil tetap memagut bibir istrinya. Al naik ke atas nya, menindihnya dengan hati-hati dan menumpukan kedua tangannya di sisi kanan dan kiri kepala Tita. Ada rasa cemburu di ciuman itu yang ingin ia lampiaskan.
Setelahnya ciumannya berubah lembut, sehalus kapas, dengan kecupan-kecupan kecil sebagai hadiah di sela-sela bibir Tita. Menggodanya agar membalasnya, memberi celah agar lidah mereka berperang kembali, lalu menyatukan perpaduan bibir itu dengan lembut memuja.
Ketika pertautan itu terlepas, mereka sama-sama terengah kehabisan napas. Deru napas mereka terasa sama panasnya, berpadu menguar di udara. Mata mereka saling bertemu, mengunci manik mata masing-masing. Bingung dengan apa yang terjadi.
Di atas peraduan itu, tubuh mereka saling berhimpitan. Al menatap ke arah Tita dan mengamati keindahan yang terpatri tepat di depan matanya. Dia mengawasi bibir Tita. Dirinya tidak bisa menahan diri untuk menggerakan jarinya menyentuh kelembutan bibir Tita yang masih panas karena sentuhannya. Ditunggunya Tita untuk memberontak atau sekedar memalingkan muka bila menolak sentuhannya. Tetapi nyatanya tidak sama sekali terjadi. Kembali ia melumat Tita yang menggoda.
Tita tidak menolak sentuhannya. Dorongan hatinya menginginkan sentuhan suaminya. Sebuah dorongan hati yang dibalut insting dan naluri. Tanpa sempat otaknya berpikir dengan lembut tangannya bergerak pelan, memeluk dan melingkari leher Al. Jemarinya menyusuri setiap jengkal sisi leher belakang Al, mengusap rambut tipis di kuduknya. Sebuah gerakan yang terasa menggoda bagi Al sebagai bentuk penerimaan akan sentuhan yang diberikan suaminya.
Sentuhan itu adalah hal yang tidak pernah dilakukan Tita sebelumnya. Hal ini membuat Al mengerang, mendesakan dirinya diantara kedua kaki Tita dan memperdalam ciumannya. Kali ini lebih intens seperti ciuman sepasang kekasih yang sudah lama terpisah, saling merindukan lalu bertemu dan melampiaskan rindu yang memenjara keduanya.
Sentuhan lembut di lehernya, balasan ciuman menggodanya, semua membuat Al lupa diri. Dia mendesakan terus tubuhnya semakin dalam, menunjukan bukti gairahnya yang tak berujung. Sementara Tita membalasnya semakin erat memeluk tubuh sang suami.
Ciuman itu berlangsung menit demi menit. Ketika napas keduanya hampir habis pertautan bibir mereka terlepas. Mereka terengah-engah. Al berusaha menetralkan nafasnya, menenggelamkan wajahnya di lekukan antara leher dan pundak Tita.
Dengan menggeram menahan gairah dia berbisik.
"Jadilah istriku seutuhnya, Tita. Lakukan lah tugas seorang istri."
Tita mengerjap sesaat. Dia mungkin masih muda tapi naluri menuntunnya untuk tahu maksud suaminya. Dia bersemu merah. Al sudah mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu dan bersatu. Lalu dengan malu-malu Tita mengangguk dan melemparkan senyum polos yang membakar habis gairah Al.
Dengan tersenyum yang menghiasi wajah tampannya, Al tak kuasa menahan gejolak gairah dan tanpa peringatan ia merobek baju Tita. Tita terkesiap tapi lagi-lagi Al menciumi leher dan pundaknya yang putih. Meninggalkan jejak-jejak kemerahan disana.
"You are mine, sweetheart" Bisiknya parau.