webnovel

Bonoki

Kisah ini berawal dari seorang pemuda labil bernama Juliet. Dia tak tau tentang jalan hidupnya. Namun semua itu berubah ketika ia membeli sebuah kalung kujang dari seorang pedagang misterius. Kisah ini semakin menarik ketika ia bertemu dengan Kirana Sang Ratu bangsa astral. Kehidupannya semakin berwarna, ketika bertemu dengan dua mahasiswi program pertukaran pelajar, yaitu Himiko dan Eliza. Kemudian ketiga gadis cantik dan jenius itu, memutuskan untuk melatih dan membantunya untuk mencari jati dirinya. Bagaimana kisahnya? Selamat membaca.

Tampan_Berani · Urban
Not enough ratings
155 Chs

Kakak yang jahat

Tak terasa satu minggu telah berlalu, selama tujuh hari berlangsung aku melakukan aktifitas seperti biasa. Terkadang aku memiliki kendala oleh para CCTV berjalan. Mereka mengatakan hal yang sama, dengan apa yang dikatakan wa haris. Lalu aku mengatakan yang sejujurnya, bahwa diriku memang tidak betah disana. Suatu hari saat tengah hari, datanglah wa haris ke warungku untuk berbelanja. Hari ini dia berbelanja berbagai macam sembako, sebab hari ini akan diadakan acara syukuran, atas keberhasilan anaknya memasuki Universitas Nasional. Rencananya dia akan mengambil Diplomat 4, jurusan kebidanan. Lalu dia memintaku untuk mengambilkan, beberapa bungkus rokok Sampoerna dan Djingo. Kemudian dia pun bertanya.

"Coba uwa pengen tahu, berapa sebungkus rokok Djinggo?"

"Hmm..." sambil mengingat.

"Tolol, gitu aja kamu gak tahu!" ujarnya dengan nada tinggi.

Spontan darahku langsung naik, rasanya ingin ku pukul wajahnya. Sadar akan responku kepadanya, dia pun semakin menjadi-jadi. Dia sengaja untuk terus bertanya, hingga jiwaku mulai terbakar oleh amarah. Satu persatu para pelanggan mulai berdatangan, terpaksa mau tidak mau aku harus menurunkan tensiku. Spontan aku menunjukkan wajah yang ceria kepadanya, lalu menjawab setiap pertanyaan yang ia lontarkan. Mungkin ada beberapa kendala seperti lupa harga, tata letak, dan lain sebagainya. Namun sedikit demi sedikit, semua itu dapat teratasi. Sepuluh menit kemudian datanglah mamahku, melihat diriku yang kesulitan spontan mamah langsung membantuku. Setelah melayani pembeli akhirnya warung pun kembali sepi. Disana hanya ada Wa Haris berdiri seorang diri, melihat kehadirannya sebagai seorang adik yang baik, mamahku langsung mencium tangannya.

Kemudian mereka berdua duduk didepan, lalu mamahku memerintahkanku untuk membuat dua cangkir kopi, setelah itu menaruh tepat disamping mereka. Sungguh aku tidak menyukainya, rasanya aku ingin segera menyingkir dari sana. Selesai mereka berbincang, mamah datang lalu duduk disampingku. Lalu kulihat kesana dan kemari, khawatir jika dia datang kembali, setelah itu aku langsung mengutarakan kekesalanku kepadanya. Mamah mendengar setiap perkataanku, lalu meminum secangkir kopi sambil menatap ke depan. Selesai bercerita dia memberitahuku, bahwa bukan hanya diriku yang tidak menyukainya, tetapi adikku juga tidak menyukainya. Sewaktu kecil, ketika adikku sedang merayakan ulang tahunnya yang ke enam.

Waktu itu adikku melilik rambut twintail, yang menjulur ke bawah. Saat itu adikku sedang menerima banyak hadiah dari teman-temannya. Lalu Wa Haris memberikan sebuah kotak besar, yang dihiasi oleh kertas kado bermotif bunga mawar. Adikku sangat senang lalu ia menerimanya dan dia langsung loncat kegirangan. Saat dibuka ternyata ada sebuah kota, dan saat dibuka lagi terdapat sebuah kota berukuran kecil. Sekian lama dia membuka kado, tingga sebuah kotak kecil yang berbentuk pesegi panjang. Tiba-tiba saat ia bukannya adikku terkejut, rupanya isi kotak itu adalah lima kecoa yang masih hidup. Spontan ia langsung menangis lalu memeluk mamahku dengan erat. Semenjak saat itu adikku sangat membencinya, bahkan saat dia berkunjung adikku enggan untuk melihatnya.

Cerita tidak berhenti sampai situ saja, sekarang giliran mamah yang mengutarakan kekesalannya kepadaku. Kejadian itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu, waktu itu keluargaku sedang memanen hasil padi. Suasana dirumahku waktu itu sangat ramai, disana banyak orang yang berlalu-lalang membawa sekarung padi. Kulihat ada sebagian mereka, yang hanya berbincang-bincang dan ada juga yang menghitung timbangan. Setelah ditimbang padi itu langsung dimasukkan ke dalam truk, dan selanjutnya dikirim ke pabrik untuk diolah menjadi beras. Dengan berinisiatif, mamahku menyuguhkan mereka kopi dan gorengan. Namun itu semua tidak cukup, lalu mamah memutuskan untuk pergi menemui nenek di rumahnya. Keluarga kami sering memanggil nenek, dengan sebutan "Emih". Saat menghampiri rumahnya, rupanya nenek sedang berada di rumah Wa Haris.

Kemudian ia langsung pergi ke sana seorang diri, saat menghampiri rumahnya. Disana ia melihat nenek, sedang menikmati rujak bersama para tetangganya yang berjumlah lima orang. Setelah itu mamah pun bergabung dengan mereka, lalu berbincang bersama. Satu jam telah berlalu, akhirnya dia pun mengutarakan keperluannya.

"Di rumah sedang panen, maaaf bisa minta tolong bantu membuat nasi ketan" kata mamahku.

"Hayuk" ujarnya.

"Teu sopan sia ka indung sorangan!"

(Gak sopan kamu, ibu sendiri)

"Apa maksudnya yah ang?"

"Emih teh geus kolot, tong nambah beban wae maneh teh!" bentaknya.

(Emih itu sudah tua, jangan nambah beban aja kamu)

Sudah sewajarnya seorang anak, meminta bantuan kepada orang tuannya. Apalagi memintanya, dengan lembut dan sopan. Lagi pula Emih sendiri menyetujuinnya, tanpa ada paksaan sedikitpun. Asal kalian tahu, bahwa yang memperbudakki atau membebani Emih adalah Wa Haris itu sendiri. Sebab dia selalu meminta Emih, untuk mengurusi pekerjaan bisnis aksesorisnya. Di usianya yang sudah tua, seharusnya itu tidak boleh. Jadi siapakah yang beban disini? Lalu mamah mengatakan hal itu, lalu Wa Haris pun menjawab.

"Teu sopan sia ka anu kolot!" kata Wa Haris.

(Beraninya sama yang lebih tua)

"Heh tolong merasa diri maneh pang kolot, adahal aya nu lewih kolot ti maneh! Anak Emih teh lain maneh doang!" sambil berlinang air mata.

(Jangan merasa diri kamu paling tua, padahal ada yang lebih tua dari kamu. Anak Emih bukan kamu doang)

Spontan Wa Haris mengangkat tanganya, lalu bersiap untuk menampar. Kemudian mamahku langsung pergi sambil berlinang air mata. Tak disangka Wa Haris pun mengejarnya untuk menampar mamah, beruntung Emih mencegahnya sehingga hal itu tidak terjadi. Sesampainya dirumah mamah bersikap tidak terjadi apa-apa. Kemudian dia memutuskan untuk menyembunyikan kejadian itu, namun beberapa hari kemudian cerita itu sudah menyebar. Papah mengetahui hal itu dari Wa Nandi, kakak tertua dari keluarga mamahku. Tetapi dia menceritakan kejadian itu dengan versi berbeda. Katanya mamah membentak Emih dari kejauhan, lalu menyuruhnya secara paksa untuk memenuhi hajatnya.

Kakek buyutku dari keluarga papah, membantah hal itu. Sebab kakek tahu, bahwa mamah tidak akan melakukannya. Disisi lain papahku kecewa karena mamah tidak berterus terang mengenai kejadian itu. Namun mamah tetap berusaha agar papah mengerti, bahwa bendera persaudaraan jauh lebih penting. Setelah itu Emih datang menemui mamah, lalu membujuk agar mamah meminta maaf terlebih dahulu kepada Wa Haris. Dan akhirnya selesai lebaran, mamahku dengan terpaksa meminta maaf kepadanya. Walau pada akhirnya, ia harus menerima makian darinya. Satu tahun kemudian, pemilihan Lurah telah tiba. Semua orang sibuk membicarakan siapa calonnya. Suatu hari saat pagi hari Wa Haris datang untuk bertamu, lalu mamah langsung membuatkanya secangkir kopi. Setelah itu berbincang berdua didepan teras rumahku. Hari ini Wa Haris bercerita, bahwa dirinya berencana untuk mengikuti pemilihan tersebut. Dia beralasan, bahwa ia ingin menjadi seorang Lurah untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Kemudian ia meminta pendapat dan persetujuan dari mamahku. Namun mamah tidak menyetujuinya, lalu mamahku pun berkata.

"Mengadi kepada masyarakat, tidak harus menjadi seorang pemimpin. Sebaiknya akang fokus saja ke bisnis aksesoris yang sedang tekuni sekarang. Menurutku itu lebih baik dan lebih berkah kang" kata mamahku.

"Sia teu seneng lamun urang jadi Lurah?"

(Kamu enggak seneng, kalau aku jadi lurah)

"Lain kawas kitu akang, lamun akang serius hayang jadi Lurah eneng mah ngadukung. Eneng cuman mengutarakan pendapat. Cuman lamun teu sesuai keinginan, akang kudu siap nerima konsekuensina" kata mamahku.

(Bukannya begitu, kalau kakak serius ingin menjadi Lurah saya pasti dukung. Saya hanya mengutarakan pendapat. Tetapi jika tidak sesuai keinginan, kakak harus siap menerima konsekuensinya)

Mendengar hal itu ia mengangkat kepalanya, lalu memandang langit setelah itu kembali menikmati secangkir kopi. Satu minggu telah berlalu, pada pukul delapan malam seluruh keluarga besar mamah berkumpul dirumah nenek. Kulihat seluruh keluarga sedang berbincang tentang pemilihan Lurah, lalu Wa Haris meminta mereka untuk mendukungnya. Seluruh keluarga mendukung kecuali mamahku, ia tetap pada pendiriannya agar dirinya fokus berdagang. Namun dengan berbagai tekanan, pada akhirnya mamah terpaksa mendukungnya. Kemudian mereka mulai membicarakan sponsor dalam pemilihan tersebut. Seluruh keluarga memberikan sponsor, berupa uang dan bahan pokok. Diantara sponsor yang diberikan oleh seluruh keluarga, rupanya sponsor mamahku yang paling tinggi.

Mamahku bekerja siang dan malam, mengurusi segala keperluan untuk menghadapi pemilu. Wajahnya tampak kelelahan, namun dia dedikasikan khusus untuk Wa Haris. Dua bulan telah berlalu, pemilihan pun telah tiba. Seluruh orang mulai berjalan kaki menuju balai desa, sesampainya disana kedua calon saling beradu agrumen. Selesai beragrumen mereka pun bersalaman, lalu pemilihan dimulai. Satu persatu warga mulai memasuki ruang TPS (Tempat Pemungutan Suara), selesai memilih mereka memasukan kelingking ke tinta biru, setelah itu mereka diperbolehkan pulang. Selesai pemungutan suara acara perhitungan pun dimulai, kulihat salah satu perwakilan, menyebutkan nama dari Sang Calon, lalu menuliskan hitungan di papan tulis.

Para pendukung dari kedua kubu mulai berdoa, lalu menyaksikan acara perhitungan dengan serius. Singkat cerita sore pun telah tiba, acara perhitungan suara telah selesai. Sang Perwakilan memberitahukan hasilnya, dan ternyata pihak lawanlah yang menang. Dengan berat hati Wa Haris beserta pendukungnya, harus pulang dengan perasaan kecewa. Dan akhirnya selama satu bulan Wa Haris pun mengalami depresi. Lalu dia datang kembali untuk menemui mamahku, lalu mamahku memberikan motivasi. Setelah ia bangkit dari keperpurukannya, Wa Haris pun mulai berjalan tanpa melihat ke belakang. Seketika dia pun langsung amnesia, dia lupa dengan jasa yang diberikan oleh mamahku. Jika ditotal jumlah kerugian yang mamah berikan kepadanya, mencapai tiga ratus juta. Jumlah yang cukup besar, untuk sebuah pengorbanan yang sia-sia.Mendengar hal itu membuatku semakin muak kepadanya, namun mamah mengiklaskannya, lalu ia tetap berdiri tegak memegang bendera persaudaraan. Jika aku jadi mamah, sampai kapanpun aku tidak akan membantunya bahkan memberikan pintu.