webnovel

Between Him and Us

Wat terpaksa menikahi sahabatnya –Lin- agar tidak di jodohkan dengan perempuan yang tidak ia kenal. Sebagai pria gay, ia mampu menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik bersama istri dan dua anak kembarnya –Nas dan Pin-. Wat yang pada akhirnya menjatuhkan hatinya pada seorang pria bernama Win, yang berujung dengan hubungan pacaran, berencana untuk selamanya sehidup semati, tanpa memikirkan rumah tangannya bersama Lin. Apakah Lin mampu menjadi istri seorang gay dan bagaimana akhirnya hati Wat memutuskan? Tokoh dalam Novel ini : 1. Water Ionataurus 2. Lin Kalvinaceka 3. Win Archivitae 4. Pin Gonataurus 5. Nas Wyanataurus Untuk berteman lebih lanjut dengan saya, bisa follow akun instagram @puspasariajeng (dm for request) Terima kasih dan selamat membaca karya BL saya ini ^-^

Ajengkelin · LGBT+
Not enough ratings
230 Chs

Saling Follow

"Sepatu apa yang kamu cari?" tanya Lin.

"Sepatu sepak bola. Minggu ini akan ada pertandingan, jadi aku ingin membeli sepatu baru," jawab Wat, yang sedang memilih sepatu, sembari memegang stroller Pin.

"Melawan jurusan apa?" tanya Lin.

"Jurusan kamu. Kamu datang?"

"Hm? Sepertinya … tidak. Karena pertandingannya usai perkuliahan dan aku harus segera pulang menjemput twins," papar Lin.

"Aku akan bicara dengan ibumu. Datanglah … dan aku akan senang. Asal jangan jadi pemandu sorak dan meneriaki namaku," tutur Wat.

"K—kena—pa?"

"Karena aku tidak ingin orang-orang mengira kalau kamu menyukaiku. Kamu itu istriku, tidak perlu berlaku seperti mereka."

"Tapi aku hanya ingin mendukung kamu saja, Wat."

"Jadi istri di rumah saja, sudah cukup bagiku," ucap Wat sembari mengusap pipi Lin.

Lin diam, belum menunjukkan reaksi apapun.

Namun saat Wat beralih dan berlalu bersama Pin, ia segera menunduk, memegangi dadanya yang berdebar hebat dan juga pipi yang memerah melebihi warna blush on nya.

'Wat … kamu cukup jadi suamiku dan papa untuk anak-anak di rumah. Di kampus, kamu tetap idola para wanita,' batin Lin, selalu bersyukur atas apapun itu.

"Lin!" seru Wat, memanggil sang istri.

Lin tersenyum dan mendorong stroller Nas, menghampiri Wat.

"Ada apa?"

"Ini bagus, tidak?" tanya Wat, menunjukkan sepatu sepak bola berwarna putih dengan garis berwarna biru laut.

"Putih … apa tidak cepat kotor?"

"Aku tidak akan memintamu mencucinya juga, Lin … kalau kotor, aku cuci sendiri kok," kekeh Wat.

"B—bukan begitu … aku tidak masalah kok, kalau kamu memintaku untuk mencucikannya. Aku ini istri kamu, Wat …."

"Jadi … apa boleh yang ini?" tanya Wat sekali lagi.

"Aku lebih suka yang di sana," ujar Lin, menunjuk sebuah sepatu sepak bola berwarna hitam dengan garis putih.

"Aku beli juga yang di sana ya," sahutnya.

Mata Lin membesar, berpikir kalau Wat terlalu boros.

"Wat! Tidak perlu," ucapnya menahan Wat yang hendak mengambil sepatu yang disukai oleh Lin.

"Kenapa?"

"Jangan terlalu boros. Kita sudah memiliki anak dan juga … kamu belum bekerja sepenuhnya di perusahaan ayah, bukan?"

"Tapi aku anak tunggal, untuk siapa lagi uang ayah, kalau bukan untukku," ujar Wat.

"Beli yang warna putih saja ya … lagipula … sepatu itu, kamu yang memakainya, bukan aku."

"Lin—"

"Aku tunggu di depan toko ya," ujar Lin tersenyum, berlalu bersama Nas.

***

Makan malam Lin dan Wat sedikit lebih larut, karena usai membeli sepatu, Wat masih ingin membeli yang lainnya lagi, yaitu mainan untuk kedua anaknya. Dan karena itu, mereka pulang benar-benar larut dan membuat Lin segera tidur saat tiba di rumah. Bahkan Wat yang menggantikan pakaian si kembar.

"Lin … sudah hapus make up?"

"…"

"Lin …," panggil Wat membangunkan sang istri, yang benar-benar hanya menidurkan Pin dan Nas, kemudian ia bergegas ke kamarnya dan segera tidur, masih dengan pakaian perginya.

"Lin … setidaknya cuci muka dan ganti pakaianmu," pinta Wat.

Dengan lunglai dan mata yang masih terpejam, Lin beranjak duduk. Ia diam, menunduk.

Tangan Wat meraih pergelangan tangan kanan Lin. Itu membuat wanita beranak dua itu mendadak membuka matanya lebar, melihat tangan Wat yang kini menggenggam pergelangannya. Lin menengadahkan kepalanya, menoleh pada Wat.

"Maaf ya … karena aku, kita jadi pulang larut," ujar Wat.

Lin hanya tersenyum, memasang wajah mengantuknya.

"Ke kamar mandi, segera. Cuci muka dan ganti pakaianmu," perintah sang suami dan Lin mengangguk, segera menurutinya.

***

Langit seakan tak biru lagi, awan mengabu namun belum berarti menandakan akan turun hujan. Angin membawanya berlalu dan membuat langit kembali cerah.

Siang ini, Lin bersama Ran, berada di lapangan untuk melihat tim Wat latihan. Tidak sedikit mahasiswa yang berada di sana untuk memberikan semangat untuk Wat, begitupun Lin, yang datang untuk melihat Wat, sang suami.

"Lin, Wat itu tampan sekali ya … apa benar, dia sudah punya pasangan?"

Lin tersenyum, menggelengkan kepalanya.

"Lin, kalau Wat jatuh cinta padamu, apa kamu akan menerimanya?" tanya Ran, lagi.

"Pertanyaan macam apa itu, Ran …," balas Lin, tidak ingin membahas perihal itu.

"Semua bertanya-tanya, apakah benar Wat itu memiliki pasangan. Karena ia memprivatkan media sosialnya," papar Ran.

"Oh ya? A—aku tidak tahu," ujar Lin, berpura-pura.

"Tidak tahu bagaimana? Aku melihat, kamu dan Wat sudah saling follow."

Deg!

'Aku lupa … aku dan Wat sudah lama berteman di media sosial … sejak sekolah dan sampai sekarang … ya jelas masih berteman, karena sejak menikah dengan Wat, aku hampir tidak mempedulikan media sosialku,' batinnya merasa tertangkap basah.

"Lin! Kamu sejak kapan berteman dengan Wat di media sosial? Aku mau lihat, dong … ada apa saja, sih isinya," pinta Ran.

"Ran … aku juga tidak tahu. Media sosial itu mencakup sangat luas. Mungkin hanya kebetulan saja aku dan Wat berteman. Lagipula … sudah satu tahun ini aku tidak pernah memainkan media sosialku. Hanya sesekali saja, untuk membalas pesan," tutur Lin.

"Oh … benar juga, bisa jadi kebetulan."

Lin menghela napasnya, merasa lega, Ran akhirnya percaya juga dengannya.

Baru saja, belum dalam hitungan menit Lin terbebas dari rentetan pertanyaan yang diajukan oleh Ran, kini ia dihampiri oleh seorang wanita, yang sudah tidak asing lagi, namun ia sama sekali tidak mengenalnya.

"Lin, ya?"

Lin menoleh, menatap wanita itu sendu. Ia mengangguk dengan tatapan yang tidak lepas dari mata lawan bicaranya.

"Apa kamu teman sekolah Wat?"

Lin diam, memasang raut datarnya.

"Oh, aku June. Teman satu kelas Wat, yang paling dekat dengannya."

Diam.

Lin hanya diam dan kini ia memalingkan pandangannya, jelas kecewa dan tidak ingin melihat wanita yang memiliki nama lengkap June Lovarique.

"Hai … kamu yang tempo hari di kantin, bukan?" sapa Ran dengan hangat.

June hanya melirik, tanpa memberikan senyum ataupun balasan sapa kepada Ran.

"Lin … aku melihat kamu dan Wat sudah saling follow di media sosial. Ini bukan lagi rahasia, tapi satu kampus sedang membicarakannya. Kamu teman satu sekolah Wat?" tanya June, lagi.

"Eu … a—aku—"

"June!"

Deg!

Suara itu … jelas membuat Lin semakin bingung.

'Untuk apa Wat memanggil wanita ini … dan juga menghampiri kami?'

"June, kamu sudah diperintahkan untuk menyiapkan air minum, untuk teman-teman yang berlatih, bukan? Jangan mengganggu orang, sembarangan seperti itu," ujar Wat.

"Aku hanya ingin tahu ka—"

"Teman-teman haus … dan mereka semua menunggumu," sahut Wat, seolah tidak mengizinkan June untuk banyak bicara.

June memilih berlalu bersama Wat, menuju ke sekumpulan mahasiswa yang baru saja selesai latihan sepak bola.

'Untung saja ….'