1 Waktunya Balas Dendam

'Tarana, Kakak mau kasih tahu kamu sesuatu. Tapi aku juga mau kamu merahasiakan hal ini dari keluarga. Hanya kamu, dan Kakak. Kita berdua.'

Bidikan Tarana Manuella tak pernah sekalipun melesat dari papan target. Ujung lancip itu selalu mengenai area tengah, tepat di titik hitam. Tersisa satu anak panah, Tarana memandangi panah hijau itu lekat.

'Kakak gak merahasiakan tentang kehamilan Kakak. Tapi Kakak mau merahasiakan ayah dari anak ini.'

Ujung lain dari jarum tajam itu bertuliskan sesuatu, yang tak segan disebut oleh Tarana walaupun keluarganya setengah mati menghilangkan nama penuh kenangan itu. "Diana Manuella."

'Namanya, Bian Pramoko. Pria tertampan, tapi rapuh yang pernah aku temui.'

TAK!

Di tangan Tarana Manuella, tak pernah ada sesuatu yang meleset. Semua sesuai perkiraannya, tapi tidak dengan Diana Manuella. "Kak, andai Kakak enggak mencintai seseorang yang salah, mungkin Kakak masih di sini. Main darts bareng aku."

Selesai melempar, tangan kanan Tarana jatuh lemas lagi di sisi tubuhnya. "Aku yang selalu menang, lalu aku bantu Kakak buat ngebidik. Kita bisa lakuin itu sepanjang tahun, sepanjang hidup."

Tapi, Diana Manuella, memilih pergi meninggalkan dirinya karena luka yang terlalu dalam itu. Karena Diana Manuella merasa tanggungannya terlalu berat, dan takut satu keluarga ini merasa bahwa dia adalah aib.

Maka, Diana Manuella harus disembunyikan dari peredaran begitu saja? Jahat. "Aku enggak termasuk ke dalam orang yang menjauhi Kakak. Kakak tahu itu, 'kan?"

Oksigen ditarik memasuki paru-parunya. Mata amber cerah itu terpejam untuk sejenak. Wangi Diana malah masih tersisa di sini, entah bagaimana. Di kamar krem berpadu putih yang senantiasa dibersihkan Tarana rutin.

"Waktunya …," gumam Tarana pelan. "Balas dendam, Kak."

***

Mobil minimalis tersebut melaju cepat memasuki kawasan rumah mewah. Berwarna hitam glossy, memantulkan cahaya rembulan terang. Seolah mendukung Tarana untuk menabrak kawasan rumah mewah ini.

CKIT!

"Tarana Manuella!"

Di depan lobi rumah bak istana itu, Tarana menoleh ke kanan. Melirik ibunya yang tergopoh-gopoh mendatanginya dengan wajah geram. Keanggunannya sirna ketika di depan Tarana.

Sesungguhnya, Tarana menyukai itu. Kalau ibunya marah di depannya.

Blam!

"Hai," sapa Tarana melampirkan senyum cerianya. Melebarkan tangannya bak sayap siap dikepakkan. "Miss you, Ma-"

Bukan pelukan hangat yang didapatkannya, melainkan pukulan yang mendarat di bahu. Sementara mamanya berkacak pinggang, dirinya meringis kecil. "Apa, sih, Ma? Udah lama gak pulang diginiin aku?"

"Di dalem semua udah ada tamu. Kamu datang paling telat," omel mamanya, Cantika Audida, bertubi-tubi. "Berisik lagi kamu parkir mobil di sini. Terus satu lagi, mana gaun yang Mama kasih ke kamu? Gak dipake lagi?"

"Ribet kalo naik mobil, Ma," sungut Tarana masam.

"Lagian ditawarin jemputan gak mau," balas Cantika gemas. "Terus nyalahin Mama gitu?"

"Lama tahu kalau sopir yang jemput. Lagipula Mama mana kasih kalau aku ambil alih mobilnya? Kan, takut kesayangan Mama itu lecet-lecet, iyaaaa! Iya Mama!" Tarana seketika menghindar dari jangkauan Cantika kala mamanya sudah melotot garang.

Iya. Tarana bisa bertingkah semenyebalkan ini, bisa bertingkah seceria ini.

Padahal, dalam lubuk hatinya terluka parah. Terluka karena tidak ada peneman setianya seperti dahulu kala. Ia sendirian. Di sini, tanpa tepukan hangat di bahunya.

Mendapati tatapan anaknya berubah, Cantika seketika melunak lagi. Menutup pintu mobil itu demi menyadarkan Tarana bahwa tidak seharusnya Tarana memikirkan yang tidak-tidak lagi. "Ya udah, sana masuk. Udah ditungguin."

"Walaupun aku pake baju begini, Ma?" tanya Tarana mengangkat sebelah alisnya memastikan. "Serius? Kaus oblong, celana jogger, Mama kasih?"

"Ya mau gimana lagi, Tar." Cantika beralih ke belakang, menunjuk mobil audi tersebut untuk diparkirkan sepantasnya, lantas beralih merangkul lengan Tarana. "Papa bisa lebih marah kalau kamu enggak ikut. Terus, Mama juga merasa kamu harus dikasih kehidupan bebas buat milih siapa calon kamu nantinya. Bukan dijodohin semacam gini. Mama enggak mau."

"Ma," panggil Tarana menghentikan laju jalan mereka berdua. "Serahin semua ke Tarana. Tarana minta ke Mama untuk enggak ikut campur dulu sementara."

"Maksud kamu, Tar?" Cantika mengerut tidak mengerti. "Kamu anak Mama, Tar."

Karena itu, karena alasan itu justru. Tarana hanya menepuk punggung tangan Cantika, menariknya masuk ke dalam kawasan meja makan yang diisi oleh banyak orang.

Salah satu di antaranya, adalah target dari Tarana. Orang dengan jas biru tua, tampak terbelalak yang tak disadari oleh satu orang pun.

Tapi tidak dengan Tarana yang memang merencanakan ini semua. Dari awal, hingga pertemuan ini, sudah dapat diprediksi oleh otak cerdik nan cerdasnya, dibantu oleh mata jeli yang menemukan setiap celah.

"Tarana Manuella. Mana gaun kamu?"

Kalimat tanya tersebut membius sekaligus enam orang di ruangan yang sama. Suami dari Cantika Audida, Manuel Rayyan menyorot tajam pada putri bungsunya. Meneliti mulai dari ujung rambut Tarana, sampai ke ujung kakinya yang hanya mengenakan sandal.

Tiba-tiba, Manuel memijat keningnya merasa pusing. "Enggak pernah berubah ya kamu, Tar. Sama sekali enggak mencerminkan citra keluarga Manuel."

"Pa," pinta Cantika memelas. Wanita paruh baya itu sengaja membuat ekspresinya selembut mungkin, meminta Manuel untuk luluh dan tak memperpanjang masalah. "Duduk, gih, Tar. Kita udah telat."

Yang menjadi perhatian utuh oleh Tarana adalah pria itu. Mulai dari keningnya yang berkedut, mulai dari alisnya yang tertarik penasaran .... Semuanya jadi semakin menarik. Apalagi saat Tarana menyeret bangkunya mundur untuk duduk.

Tepat di seberangnya. Berhadapan langsung dengan Bian Pramoko. Terdahulu Tarana mengulurkan tangannya disambuti senyuman miring di bibirnya. "Tarana Manuella."

"Bian Pramoko." Keterkejutan Bian tak lantas pergi. Masih tinggal di telisikan mata Bian yang mencari kepastian. "Sepertinya, kita pernah bertemu sebelumnya?"

Bertemu? Hanya bertemu? Bian menganggap hubungannya dengan kakaknya hanya 'pertemuan singkat'? "Sepertinya tidak, Bian Pramoko. Saya baru pertama kali bertemu Anda."

"Tapi …, saya tidak asing," sahut Bian intens mendalami lekuk-lekuk paras cantiknya. "Saya-"

"Sudah saya bilang, ini pertemuan pertama kita," sela Tarana tegas. Tak ingin berbasa-basi lebih lama lagi. Serta-merta menambahkan kobaran ke seberang sana. Pria berwajah setengah barat, setengah asia. "Jangan menambahi lagi. Cukup."

"Belajar sopan santun, kan, Tarana? Atau kamu sudah lupa tentang sopan santun?" Manuel bertanya tersinggung. "Jangan membuat kesan buruk atau masalah hari ini. Bersikaplah baik dan diam."

Sontak, Tarana mengunci rapat mulutnya lagi. Toh, memang ia sudah mau diam. Hanya saja, kebencian yang menguar di dadanya ini tak bisa dihentikan. Sekujur tubuhnya membuat hawa di sekitar ruangan ini panas.

Ya, memang kedatangan Tarana ke sini tidak pernah bermaksud baik. Tidak sampai semua hal berjalan seperti keinginannya.

Atau keinginan kakaknya.

Meskipun pribadinya dengan Diana berbanding terbalik, ia yakin kakaknya akan setuju mengenai hal ini.

"Heh … mari kita ulang pembahasannya." Manuel menghela napas, kemudian menegapkan posisinya di atas kursi pemimpin di paling ujung. "Papa dan Om Liel berniat menikahkan kalian berdua. Pelaksanaannya besok, dan semuanya sudah selesai diurus."

"Tarana setuju, Pa," balas Tarana membidik Bian layaknya papan target. "Ya, kan, Bian Pramoko?"

avataravatar
Next chapter