2 Bab 2 Sekolah

Pagi hari yang cerah disambut Bela berangkat ke sekolah dengan sepeda mininya. Seperti biasanya dia selalu menaiki sepeda mininya berwarna merah muda berboncengan dengan Rian. Dia tidak lupa sebelum berangkat mengantarkan Rian berangkat ke sekolahnya dulu yang jaraknya lumayan dekat kira-kira 1 km. Tapi dia tidak pernah mengeluh. Justru dia merasa lega dan senang bisa mengantar adiknya, karena adiknya yang tidak boleh sampai capek.

"Kak biar aku aja yang boncengin. Kakak pasti capek."kata Rian yang selalu diboncengkannya dibelakang setiap hari.

"Nggak usah. Biar kakak aja."jawab Bela sambil terus mengayuh.

Rian jelas merasa kasihan setiap dia berangkat pasti kakaknya selalu menghantarkannya dulu. Belum lagi kalau pulang sekolah, kakaknya juga menjemputnya. Terkadang kalau dia pulang duluan, dia harus menunggu kakaknya. Namun sebaliknya kalau kakaknya yang pulang duluan,kakaknya pasti akan menungguinya di depan sekolah Rian.

Dia rela melakukan apapun demi adiknya itu. Karena yang dia miliki sekarang hanyalah Rian. Terlebih lagi sekarang Rian sedang sakit. Jadi tidak ada alasan lagi untuk dirinya tidak membantu Rian.

"Sudah sampai."kata Bela setelah tiba di depan sekolah Rian.

"Kak nanti jangan jemput aku. Nanti aku pengen pulang sendiri. Kakak pasti lama pulangnya. Aku nggak mau nunggu lama."ucap Rian setelah turun.

"Jangan. Kamu kan sedang sakit."Bela khawatir dan tidak mengizinkannya.

"Aku nggak papa kok kak. Aku ini anak laki-laki jadi harus kuat."Rian mencari alasan. Dia tidak mau menyusahkan kakaknya terus.

Akhirnya dia mengizinkan adiknya pulang sendirian nanti. Kini dia langsung menancap gas sepedanya menuju sekolahnya. Meskipun jam masih menujukkan pukul 6.15 dia tetap menancap gas kayuhan sepedanya.

Setibanya di sekolahan, terlihat belum ramai sekali. Kebetulan yang membawa sepeda hanya dia seorang di sekolah itu. Sebagian besar teman-temannya mengendarai sepeda motor dan ada beberapa sudah menaiki mobil. Dia sengaja berangkat lebih pagi selain untuk mengantar adiknya berangkat dulu dia juga ingin berangkat lebih awal agar bisa memilih tempat duduk di depan.

Dia sekarang duduk di bangku 11 ipa 1. Sebagian besar siswa beranggapan kalau anak ipa itu pandai meghitung ketimbang anak ips. Tapi menurut Bela, dia sengaja memilih jurusan ipa dan ternyata setela tes penjurusan memang dia harus ikut jurusan ipa karena dia lebih suka pelajaran yang berbau hitung menghitung. Kalau jurusan ips lebih fokus ke hafalan. Itu anggapannya selama ini.

Sejak kelas satu hingga 2 ini, dia selalu menduduki peringkat satu. Berkat ketekunan dan kepandaiannya dalam belajar membuatnya bisa meraih itu semua. Bahkan tidak hanya itu saja, setiap ada perlombaan akademik dia sering diikutsertakan. Dan dia bahkan sering menjuarai setiap perlombaan. Sehingga namanya di sekolahnya cukup dikenal banyak siswa. Tapi itu semua tidak membuatya besar kepala.

"Eh put, kok tumben kamu udah berangkat jam segini?"Bela terkejut tahu-tahu orang kedua yang tiba dikelas adalah Puteri.

"Ya nih, habis ada pr matematika. Dan aku belum menyelesaikan semuanya. Aku boleh nyontek satu nomor saja? Nanti kalau pulang, kamu jelasin caranya. "Puteri langsung duduk disebelah Bela.

Puteri Kumala Sari adalah salah satu teman akrab Bela disekolahan. Sejak kelas satu sampai dua ini, Puteri selalu sekelas sama dia dan duduk sebangku dengannya. Dan tidak hanya itu saja, meskipun keadaan mereka berdua berbeda, Bela terlahir dari keluarga kurang mampu tapi Puteri dari keluarga kaya malah tali pertemanan mereka akrab. Puteri berbeda dengan teman-temannya pada umumnya. Puteri lebih menerima apa adanya dirinya dan tidak pernah memandang status hidup Bela.

"Ya. Ini."Bela langsung mengeluarkan buku matematikanya yang kebetulan semua pr matematikanya telah diselesaikannya tadi malam.

"Ok."Bela langsug melihat dan mencontoh isi nomor 8 yang kebetulan dia lewati. Ternyata Bela sudah menjawabnya termasuk nomor 8.

Bukannya Bela mau ditindas dengan dicontek hasil pekerjaan rumahnya. Tapi dia juga tahu kalau Puteri memang sedikit kesulitan dalam pelajaran matematika. Dan kadang Puteri juga memintanya untuk menjelaskan bab tertentu matematika.

Tidak terasa jam masuk kelas sudah berbunyi. Semua siswa sudah masuk ke kelasnya masing-masing. Seperti biasa, Arini dan Puteri duduk di bangku paling depan.

"Selamat pagi anak-anak."Pak Bambang guru matematika sudah masuk kedalam kelas 11 ipa 1.

"Pagi pak."semua siswa menjawab termasuk Bela.

"Ayo prnya sudah diselesaikan?"Pak Bambang menagih pr yang telah diberikannya kemarin.

"Susah pak. Ada yang kita lewati."kata salah satu anak dari barisan belakang.

"Mana yang susah coba bapak ingin tahu?"Pak Bambang berjalan menuju tempat duduk anak yang bilang tadi susah itu.

"Ini pak, nomor 7 sama 8."jawab Raisa Soraya dengan manjanya.

Raisa Soraya tentu tidak asing lagi di sekolah Bela. Siswi itu termasuk salah satu siswi yang terkenal cantik dan seksi di sekolah. Tidak hanya itu saja Raisa juga berasal dari keluarga yang tajir melintir katanya. Memang yang sekolah disana sebagian besar berasal dari keluarga kaya raya. Temasuk Raisa yang orangtuanya menjadi pengusaha sukses di Jakarta.

Di sekolah Raisa terkenal dengan group cheerleader nya. Bahkan Raisa dinobatkan sebagai leader dalam timnya itu. Beberapa ajang perlombaan dia ikuti dan sebagian besar dia menang dengan timnya.

"Oh ini. Ayo anak-anak siapa yang sudah mengerjakan soal nomor 7 dan 8 ?"Pak Bambang berjalan kedepan dan menuju tempat duduk Bela dan Puteri.

Di kelas yang dikenal pandai matematika adalah Bela. Makanya Pak Bambang langsung menuju ke tempat duduk Bela untuk memastikannya.

"Kamu sudah Bela?'tanya Pak Bambang.

"Sudah pak."jawb Bela.

"Kamu maju dan tulis jawabanmu di depan."pinta Pak Bambang sambil memberikan sebuah spidol hitam kepada Bela.

Bela langsung maju ke papan tulis dan menuliskan jawabannya. Semua mata teman-temannya tertuju pada hasil jawaban Bela yang kini terpapampang jelas dipapan tulis. Semua anak merasa heran sekali hanya satu soal saja tapi jawabannya panjang dan lebar sekali hingga memenuhi papan tulis itu.

"Gimana itu pak? Saya bingung."kata Dirga dari pojokan belakang tepat dibelakang tempat duduk Raisa.

Dirga Sanjaya adalah salah satu siswa laki-laki yang terkenal di angkatan Bela. Dirga dinobatkan sebagai laki-laki kaya yang jago bermain basket di sekolah. Tidak hanya itu saja, bentuk tubuh idealnya itu membuat para gadis di kelas jatuh hati pada laki-laki itu.

Banyak teman perempuan Bela menaruh hati paa Dirga, salah satunya adalah Diana Prima. Diana sendiri teman sebangku dan sepupu Raisa yang selalu duduk didepan kalau tidak dibelakang Dirga.

"Sudahlah sayang nanti aku jelasin."kata Diana dengan lirih sambil menoleh kearah Dirga. Dirga membiarkannya saja.

"Kamu jelasin ya Bel."pinta Pak Bambang sambil duduk di kursi guru.

"Aku akan jelasinn ya teman-teman."kata Bela sebelum memulai penjelasannya.

Akhirnya semua anak kelas 11 ipa 1 diam semua. Termasuk Dirga. Dirga sebenarnya sudah menyimpan rasa pada Bela sejak dudu di bangku kelas 11 Sma. Dibalik penampilan sederhananya itu, Dirga menyukai sikap ramah dan pandai Bela. Susah mencari sosok seperti Bela sekaranag. Sudah pandai baik lagi orangnya. Ditambah lagi selalu sederhana dalam berpenampilan.

Selesai menjelaskan di depan, Bela langsung dipersilahkan duduk kembali. Tapi tidak ada satupun yang mengapresiasinya. Hanya Puteri dan Dirga yang memberi tepuk tangan ke Bela.

"Kamu kenapa ngasih tepuk tangan segala?"Raisa terliat marah dan kesal melihat Dirga memberit tepuk tangan .

Sejak awal pertama duduk di bangku kelas 11 ipa 1, Raisa sudah tidak suka dengan Bela. Hal itu lantaran Raisa menganggap Bela tidak pantas duduk sekelas dengannya apalagi Bela berasal dari keluarga kurang mampu.

"Terserah gue lah. Emang apa urusan loe."balas Dirga dengan menatap sinis kearah Raisa.

"Sudah ya sayang. Jangan gitu."kata Diana. Tapi Dirga tidak menganggapnya.

"Mari kasih tepuk tangan buat bela. Sungguh pandai sekali kamu."Pak Bambang memberi tepuk tangan kepada Bela. Akirnya semua siswa kelas 11 ipa 1 memberi tepuk tangan kepada Bela.

"Kamu memang pandai Bel."kata Puteri ke telinga Bela.

s

avataravatar
Next chapter