webnovel

Before The Dawn

Apa jadinya jika seorang penyidik kepolisian, mendapat telepon dari pria misterius yang memberitahukan tentang kasus pembunuhan yang sedang berlangsung? Hal seperti itulah yang menimpa Arvin Theodore. Seorang penyidik kepolisian nomor satu di unitnya. Entah membawa tujuan apa, seorang pria misterius memberitahukan secara langsung mengenai kasus pembunuhan yang sedang atau akan terjadi. Di satu sisi memang terlihat menguntungkan, tapi di sisi lainnya justru mengundang banyak tanda tanya. Hingga pada akhirnya, melibatkan Arvin dengan pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki julukan The Dawn. Pemburuan sebulan tiga mayat pada tanggal-tanggal tertentu, sudah menjadi ciri khas pembunuh yang satu ini. Dia mengeksekusi korban secara brutal. Pun meninggalkan tanda seolah memberi pesan peringatan. Dalam proses penyelidikan yang Arvin dan rekan-rekannya lakukan, justru menggiring mereka pada kelompok bernama Black Alpha. Sebuah kelompok kejahatan bawah tanah yang ternyata memiliki benang merah dengan apa yang terjadi enam belas tahun silam. Tragedi yang coba Arvin lupakan selama ini, justru kembali menghantuinya. --- Author Note: Cerita ini hanya fiksi. Jika terdapat kesamaan nama tokoh, pangkat, latar tempat dan kejadian/kasus. Itu murni atas ketidaksengajaan penulis. Pun penulis tidak memiliki tujuan tertentu atau hubungannya dengan pekerjaan dari instansi terkait.

Rryuna · Horror
Not enough ratings
248 Chs

Bab 20: Ketenangan yang Terusik

Pandangan Damian lurus ke area makam. Memperhatikan seseorang yang tengah menabur bunga di tiga makam dengan tanah yang masih memerah. Awalnya, dia juga hendak menabur bunga di atas makan keluarga teman ayahnya itu.

Namun, Damian langsung mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk berdiam diri di balik pohon tidak jauh dari sana. Memperhatikan setiap gerak-gerik seseorang yang sudah lebih dahulu ada.

Ekspresi wajahnya menyiratkan rasa penasaran yang kentara. Kenapa orang itu ada di tempat ini? Ah, apa mungkin dia tengah berbelasungkawa? Seperti orang-orang baik dengan hati yang lembut, dan mudah tersentuh.

Cukup lama Damian bergelut dengan pikirannya. Melamunkan sesuatu, sampai tidak menyadari jika orang itu sudah beranjak dari sana.

Damian menatap kepergiannya masih dengan rasa penasaran. Pria itu terlihat berjalan dengan santai meninggalkan area pemakaman. Lalu, masuk ke dalam sebuah kedai kopi tidak jauh dari toko tempat dirinya membeli bunga.

Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Dia bahkan sempat terperanjat kaget dibuatnya. Dengan perasaan agak kesal, Damian merogoh saku celananya dan mengambil benda pipih itu. Menggeser layar dan mendapati satu buah pesan masuk.

[Gadis dari Rusia itu sudah datang.]

Begitu isi pesan yang tertulis di sana. Seseorang dengan nama Dodi yang telah mengirimnya.

Seulas seringai muncul di bibirnya. Dengan perasaan senang yang hampir membuncah, Damian meninggalkan area itu. Bunga yang sempat dibeli dia buang begitu saja di tempat itu. Lalu setelahnya, berjalan ke arah mobil mewahnya dan melaju dengan kecepatan tinggi.

Sejak awal, pergi ke makam keluarga Indra Wijaya memang bukan hal yang dia inginkan. Jovita yang meminta. Tunangannya itu dekat dengan Anita. Maka ketika mendengar dia tewas, gadis itu cukup merasa kehilangan. Namun, dikarenakan sedang ada urusan di Jepang, dia tidak bisa datang untuk menghadiri acara pemakaman.

Dia sempat meminta Damian untuk menghadirinya, tapi pria itu kelewat sibuk. Damian baru sempat memenuhi keinginan tunangannya hari ini. Dan ya, tidak sepenuhnya terpenuhi. Karena Damian tetaplah Damian, yang lebih mengutamakan ego sendiri daripada berbuat baik pada orang lain. Tunangannya sekali pun.

Dalam perjalanan, Damian tidak hentinya bersenandung. Membayangkan gadis keturunan Rusia yang akan bergabung dengan kelompoknya, membuat suasana hatinya semakin tak terkendali. Gadis itu digadang-gadang sebagai penembak yang sangat jitu, dan pembunuh bayaran yang sangat profesional.

Masa lalunya yang kelam selama di Indonesia, membuat gadis itu memutuskan untuk tinggal di Rusia dan berkecimpung dalam dunia kriminal. Sekarang gadis itu kembali, dan Damian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengajak gadis itu bergabung di kelompoknya.

Namun, siapa sangka jika kesenangan itu akan lenyap dalam satu kedipan mata. Sebuah mobil sport berwarna hitam dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan sedang ke arahnya. Itu adalah mobil yang sama, yang telah menabrak Trisna beberapa waktu lalu.

Si pengemudi bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum, karena memang Trisna yang salah. Semua pengguna jalan melihat bagaimana pria itu menghalalkan segara cara agar bisa lolos dari kejaran polisi.

Ditambah lagi, pengemudi itu berdalih jika dia sedang terburu-buru membawa temannya yang tiba-tiba tak sadarkan diri ke rumah sakit. Polisi lalu lintas mengkonfirmasi hal itu. Bahwa ada seseorang bersama si pengemudi. Keadaannya tampak pucat. Pada lengannya terdapat luka sayat yang lumayan panjang, dan mengeluarkan cukup banyak darah.

Tabrakan di persimpangan jalan yang sepi itu pun tidak bisa dihindarkan lagi. Lebih tepatnya, Damian tidak sempat menghindar. Umpatan terdengar keluar dari mulut Damian.

Dia sangat terkejut atas apa yang terjadi. Dengan wajah memerah menahan amarah, pria jangkung itu keluar dari mobilnya. Melihat kerusakan yang dialami. Dan mendapati bagian samping mobilnya mengalami penyok. Tidak begitu parah, tapi cukup membuat amarahnya tersulut.

Dia menghampiri mobil sport milik si penabrak. Dengan tidak sabar, Damian menggedor-gedor kaca mobil tersebut. Dia juga berteriak agar si pengemudi keluar, dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya.

Bagaimana bisa membawa mobil dengan kecepatan sedang, tapi malah menabrak kendaraan orang lain? Jika bukan disengaja, mungkin pengemudinya masih dalam tahap belajar.

Amarah Damian dibuat semakin menjadi-jadi, ketika si pengemudi tidak menghiraukan keberadaannya. Pria yang berada di dalam mobil itu justru menyalakan lagi mesin mobilnya. Mula-mula mundur beberapa meter, seolah akan kabur.

Si pengemudi mengarahkan mobilnya kepada mobil Damian. Lagi. Menghantamnya tanpa ampun. Sampai membuat kendaraan beroda empat itu terseret, dan akhirnya terjungkal. Kerusakan yang ditimbulkan sudah tidak termaafkan lagi.

Damian yang menyaksikan itu hanya bisa terdiam membeku. Mulutnya menganga dengan rasa terkejut yang kentara. Apa yang sebenarnya diinginkan si pengemudi? Menabrak dan merusak mobilnya dengan sengaja? Iya, mata orang yang tidak punya otak pun akan menyadari jika itu disengaja. Sungguh, pengemudi itu mencari penyakit dengan orang yang salah!

"Keparat!"

Damian berlari ke arah kendaraannya yang mulai sedikit mengepulkan asap. Tatapannya beralih pada pelaku perusakan. Matanya semakin merah dengan tangan mengepal. Pun rahangnya yang tajam, mengeras menahan amarah yang hampir membuncah. Dia membuka pintu mobilnya yang sudah rusak dengan sedikit kesulitan, dan terburu-buru.

Melihat gelagat Damian, pengemudi mobil sport itu kembali menyalakan mesin mobilnya. Seolah tahu apa yang akan diperbuat Damian, dia langsung tancap gas. Meninggalkan pria yang sudah menenteng senjata api di tangannya.

Benar saja. Suara tembakan mulai menggema di sekitar sana. Damian menembaki mobil sport yang sudah lumayan jauh itu dengan senjata miliknya. Tetapi, tidak ada satu peluru pun yang mengenainya.

Jika saja si pengemudi tidak sigap, dia pasti sudah diberondong peluru tanpa ampun. Berakhir dengan mengenaskan. Benar-benar mencari masalah dengan orang yang salah.

"Kau hobi sekali mencari musuh." Pria yang duduk di samping kursi kemudi, berucap dengan nada datar dan dingin.

Sedari tadi dia hanya diam menyaksikan perbuatan temannya itu. Dengan wajah tertutup topi sepenuhnya, tidak akan ada yang tahu siapa dia. Pun akan merasa jika dia adalah orang yang aneh. Tertutup dan mencurigakan.

"Bukankah sejak awal dia memang musuh kita? Tidak ada salahnya bermain-main sebentar." Si pengemudi tertawa. Melihat reaksi yang Damian berikan tadi, sudah menjadi hiburan baginya.

Bermain-main sebelum bertemu secara langsung, bukankah itu terdengar menyenangkan? Membuat target bertanya-tanya dan penasaran, selalu menjadi cara yang ampuh untuk memancing rasa kesalnya. Terutama seorang Damian. Mengusik ketenangan dan rasa senangnya, sama dengan menggali kuburan sendiri.

Meski bagian depan dari mobil itu mengalami kerusakan yang tidak bisa dibilang ringan, tapi si pengemudi tetap melaju dengan kecepatan tinggi. Seolah ada sesuatu yang tengah dikejar. Tidak berselang lama kemudian, sampailah mereka di tempat tujuan. Rusun Kembang Wangi.

Keduanya turun dari mobil. Berjalan memasuki area itu, lebih tepatnya ke lantai tiga. Si pria dengan topi mengetuk pintu setelah sampai di rumah mana yang ingin mereka kunjungi.

Mereka duduk di kursi yang tersedia, dan menunggu empunya rumah membuka pintu. Lima menit hampir berlalu dan tidak ada yang menyambut.

Keduanya saling menatap. Mungkin orang yang tinggal di sini tengah pergi keluar, pikir mereka. Lalu, beralih ke pintu selanjutnya yang terletak di paling ujung. Mereka kembali mengetuk, dan tidak sampai satu menit seorang pria berjaket hijau khas ojek online membukakan pintu.

Daryo. Kedua matanya membulat mendapati siapa yang berkunjung. Panik menguasa dirinya. Dia hendak kembali menutup pintu dengan terburu. Sialnya, pria yang tadi mengemudikan mobil sudah lebih dahulu mencegahnya. Terang saja, wajah Daryo menjadi semakin pucat pasi.

"Kenapa terburu-buru?"

Keduanya menyeringai. Tanpa dipinta, mereka berjalan masuk ke dalam rumah, dan mengunci pintunya dari dalam. Membuat Daryo merasa lemas seketika.

Dia mengenal suara pria bertopi itu. Tidak salah lagi, itu suara yang sama dengan seseorang yang dulu sempat dicari polisi karena kesaksiannya. Suara dari pria misterius yang memberitahunya tentang keterlibatan Indra Wijaya dalam suatu pasar gelap.

Kenapa pria ini muncul lagi di hadapannya? Apa yang dia inginkan? Apa dia marah karena sempat dicari oleh pihak kepolisian? Berbagai pemikiran dan kemungkinan mulai bermunculan di kepala Daryo.

Sial! Kenapa dia harus terlibat dengan sesuatu seperti ini? Tidak perlu orang jenius untuk memahami keadaan ini, karena Daryo bisa merasakannya sendiri. Bahaya mengintai. Ketenangannya akan terusik kembali.

***

Arvin keluar dari kedai kopi di dekat area pemakaman itu. Wajahnya terlihat berseri, dan mendongak ke arah langit biru di atas sana. Cuaca hari ini sangat cerah. Tidak tampak awan yang berarak. Sungguh suasana yang cocok untuk berpiknik, atau hanya sekadar jalan-jalan di suatu taman.

Untuk beberapa saat, dia menatap mobil milik Kanit Gerdian. Sedikit tidak tega jika memakainya dan mengabaikan orang yang sudah merawatnya itu. Meski Kanit Gerdian memiliki mobil lain, tapi tetap saja.

Arvin juga memiliki mobil sendiri. Haruskan dia memakainya? Atau justru membeli motor baru lagi? Rasanya, bukan Arvin jika tidak dibuat dilema oleh hal sepele seperti ini.

Setelah puas memandangi mobil itu, Arvin masuk ke dalamnya. Mulai menyalakan mesin dan melaju meninggalkan area itu. Meski otaknya masih memikirkan mana yang lebih baik antara memakai mobilnya sendiri atau membeli motor baru, Arvin tidak sampai kehilangan fokusnya pada jalanan di depan sana.

Memang tidak ada yang salah memakai mobil ketika bekerja. Toh dia membelinya dengan uang sendiri. Bukan hasil korupsi. Yang menjadi masalahnya adalah, keefisienan mobil itu sendiri. Dalam melakukan pengejaran, dia bisa terhambat kalau jalanan tengah macet, dan akan sulit mencari jalan pintas.

Tidak peduli seberapa cepat kendaraan beroda empat miliknya itu. Jika sudah terjebak kemacetan, tidak akan berguna sama sekali. Berbeda jika memakai motor. Dia  bisa dengan dia menyelip di antara mobil-mobil. Pengejaran pun tidak memakan banyak waktu. Menemukan jalan pintas bukan hal yang begitu sulit.

Lama memikirkan hal itu, sampai tak menyadari jika dia membawa mobilnya ke tempat yang tidak seharusnya. Arvin berhenti dan memperhatikan sekeliling dengan jeli. Jelas ini bukan taman yang ingin dikunjungi! Suara telapak tangan yang beradu dengan dahi, terdengar memenuhi ruangan dalam mobil itu.

Berulang kali Arvin menepuk dahinya sendiri. Lalu memutuskan untuk meninggalkan area itu. Akan tetapi, dengan cepat dia mengurungkan niatnya dan keluar dari kendaraannya itu. Menatap gedung lima lantai yang beberapa hari lalu dia datangi bersama Kanit Gerdian.

Fokus matanya teralih pada sebuah mobil sport yang terparkir di sudut lain gedung itu. Kondisinya yang rusak di bagian depan, membuat insting seorang penyidiknya aktif seketika. Dan lagi, kendaraan ini terlalu mewah untuk dimiliki seseorang yang tinggal di rusun.

Arvin menepis pemikiran itu. Ingat kata Kanit Gerdian. Jangan memikirkan sesuatu atau orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kasus. Itu merepotkan dan menguras tenaga tentunya.

Arvin melangkah menuju lantai tiga. Dia penasaran dengan kondisi Mira. Istri dari Trisna itu pasti sangat terpukul atas kematian suaminya. Pun dengan apa yang telah dia perbuat, pasti mengubah kehidupannya dalam sekejap. Berbeda dengan sanksi hukum, sanksi sosial biasanya tidak hanya berlaku pada pelaku saja. Keluarga pun akan menjadi sasaran empuk masyarakat.

Arvin mengetuk pintu itu. Sekali, dua kali, tidak ada jawaban. Dan yang ketiga kalinya pun masih sama. Sepertinya Mira tidak ada di rumah. Lalu, Arvin menaruh kantong keresek berisi buah-buahan itu di kursi dekat pintu.

"Maaf, Anda siapa?" Suara seorang wanita paruh baya menginterupsi.

Arvin menghentikan kegiatannya. Dia tengah menulis sebuah catatan yang nantinya akan diselipkan ke dalam keresek berisi buah-buahan itu.

"Jika Anda mencari Mira, dia sudah pergi kemarin sore," ucap wanita yang tinggal di sebelah rumah Mira.

"Ke mana jika saya boleh tahu?" Arvin beralih menatap wanita itu. Diam-diam, tangannya meremas kertas yang sudah dia sobek tadi.

"Pulang ke kampung halamannya."

Setelah mendengar penuturan tetangga Mira, Arvin meninggalkan area itu. Buah-buahan yang tadi dibawa dia berikan pada wanita itu.

Daryo yang keberadaannya tidak sempat Arvin sadari, menguping pembicaraan mereka. Selepas kepergian penyidik itu, Daryo menghampiri wanita yang juga tetangganya.

"A-alamat ... alamat kampung halaman Mbak Mira, di mana, Mak?" Daryo bertanya dengan gugup. Sesekali dia menoleh ke arah rumahnya. Merasa diawasi.

Wanita paruh baya yang biasa dipanggil Emak oleh penghuni rusun lantai tiga itu, menatap Daryo dengan heran.

"S-seorang penyidik kepolisian mencarinya. Ber-berhubungan dengan kasus suaminya," ucap Daryo.

Dia kembali menatap rumah yang dia tinggali. Kali ini di pintu masuk, seseorang berdiri dan tersenyum ke arah mereka. Si pengemudi.

Tanpa menyadari gelagat Daryo, wanita itu memberitahunya alamat kampung halaman Mira. Yang diketahui terletak di daerah Bogor.

Seketika, tubuh Daryo terkulai dan duduk di kursi milik Mira. Dia sempat melihat seringai di bibir si pengemudi. Itu berarti, ucapkan selamat tinggal pada ketenangan yang mereka berdua miliki.