webnovel

Before The Dawn

Apa jadinya jika seorang penyidik kepolisian, mendapat telepon dari pria misterius yang memberitahukan tentang kasus pembunuhan yang sedang berlangsung? Hal seperti itulah yang menimpa Arvin Theodore. Seorang penyidik kepolisian nomor satu di unitnya. Entah membawa tujuan apa, seorang pria misterius memberitahukan secara langsung mengenai kasus pembunuhan yang sedang atau akan terjadi. Di satu sisi memang terlihat menguntungkan, tapi di sisi lainnya justru mengundang banyak tanda tanya. Hingga pada akhirnya, melibatkan Arvin dengan pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki julukan The Dawn. Pemburuan sebulan tiga mayat pada tanggal-tanggal tertentu, sudah menjadi ciri khas pembunuh yang satu ini. Dia mengeksekusi korban secara brutal. Pun meninggalkan tanda seolah memberi pesan peringatan. Dalam proses penyelidikan yang Arvin dan rekan-rekannya lakukan, justru menggiring mereka pada kelompok bernama Black Alpha. Sebuah kelompok kejahatan bawah tanah yang ternyata memiliki benang merah dengan apa yang terjadi enam belas tahun silam. Tragedi yang coba Arvin lupakan selama ini, justru kembali menghantuinya. --- Author Note: Cerita ini hanya fiksi. Jika terdapat kesamaan nama tokoh, pangkat, latar tempat dan kejadian/kasus. Itu murni atas ketidaksengajaan penulis. Pun penulis tidak memiliki tujuan tertentu atau hubungannya dengan pekerjaan dari instansi terkait.

Rryuna · Horror
Not enough ratings
248 Chs

Bab 15: Kehilangan Jejak

Trisna masih mematung. Pernyataan Pak Budi membuat pikirannya kacau dalam seketika. Sesekali matanya menatap Arvin, bergantian melirik taksi yang biasa dia pakai untuk bekerja, lalu kembali menunduk.

"Bisa Anda jelaskan ucapan Pak Budi barusan?"

Arvin mengikuti arah pandang Trisna. Gelagat pria ini benar-benar mencurigakan. Dia harus waspada akan hal ini. Jangan sampai kecolongan.

"Jika saya katakan mobil itu terparkir di rumah, Anda tidak akan percaya, 'kan?" Trisna berucap sedikit lebih tenang.

Matanya masih melirik mobil, tapi kali ini dia beralih menatap Pak Budi. Sorot matanya perlahan berubah. Seperti ada amarah yang perlahan muncul ke permukaan.

Arvin mengangguk. Tentu saja, siapa yang akan percaya bualan seperti itu? Rekaman yang dia dapat dengan jelas akan menyangkal pernyataannya itu. Lalu, penyidik muda itu mengeluarkan borgol dari balik saku jaketnya. Berjalan ke arah Trisna.

"Sebaiknya Anda jelaskan lebih detail di kantor polisi."

Arvin sudah siap dengan borgolnya, dan sekitar satu langkah lagi dia akan berhasil menggapai tangan Trisna.

Namun, tidak terduga sebelumnya. Pria yang tadi tampak begitu gugup dan penuh rasa takut itu, kini dengan sigap melangkah ke arah Pak Budi. Tangannya mengunci leher pria tua itu dengan erat.

Tubuh Pak Budi tersentak kaget. Tidak percaya dengan apa yang Trisna lakukan padanya. Bahkan, dia tidak menduga hal ini akan terjadi. Lehernya yang dikunci terasa sedikit sakit dan membuatnya sesak.

Arvin, matanya membeliak. Sama sekali tidak menduga hal ini akan terjadi. Cerobohnya dia yang kurang sigap.

Seharunya dia membawa Trisna langsung ke kantor polisi, daripada menginterogasinya di sini. Ah, bodohnya dia. Rasa curiganya yang besar pada Daryo membutakan kemungkinan yang dengan jelas ada di depan mata.

Sekarang dia harus bagaimana? Satu nyawa pria tak berdosa dalam bahaya di depan kedua mata kepalanya sendiri. Akan sangat buruk jika sampai terjadi sesuatu pada Pak Budi. Arvin akan disalahkan tentu saja. Meski nanti Kanit Gerdian memakluminya, mungkin tidak bagi penyidik atau polisi lainnya. Itu tetap akan mereka anggap sebagai kelalaian.

"Pak, tenangkan diri Anda dan lepaskan Pak Budi. Yang Anda lakukan ini hanya akan mempersulit hidup Anda," ucap Arvin. Dia memasukkan kembali borgol yang tadi sudah siap meringkus Trisna.

Trisna tidak merespons ucapan Arvin. Dia justru menyeret Pak Budi. Memaksanya untuk berjalan menuju kendaraan beroda empat yang tadi dia bawa.

Pak Budi hanya pasrah dan menurut saja. Lehernya dalam bahaya sekarang. Jika salah bertindak, bisa-bisa Trisna mematahkan lehernya. Sungguh, membayangkannya saja sudah membuat tubuh pria tua itu gemetar ketakutan.

"Diam di tempat jika Anda ingin Pak Tua ini selamat!" Trisna berucap dengan tegas. Matanya menatap Arvin dengan liar. Meski begitu, ada sorot ketakutan terpancar dari sana.

Arvin yang tadinya hendak melangkah mengikuti Trisna, seketika menghentikan kakinya. Dia menatap iba pada Pak Budi, yang saat ini tengah menatapnya juga. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca, Pak Budi sangat berharap Arvin akan menolongnya. Namun apa daya, penyidik itu tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengawasi gerak-gerik Trisna. Keselamatan nyawa sandera yang terpenting.

Pada akhirnya, Trisna sampai di pintu mobilnya. Dengan kasar, dia memaksa Pak Budi untuk masuk ke dalam. Lalu, dia menyusul dan mulai menyalakan mesin kendaraan itu.

"Jika kalian mengejarku, nyawa orang tua ini menjadi taruhannya!" ucap Trisna.

Pak Budi terlihat berusaha untuk kabur. Dia mencoba membuka pintu, tapi sayang Trisna sudah menguncinya. Pria itu menyeringai ke arah Arvin.

Sementara sebelah tangannya merogoh sesuatu dari laci. Sebuah belati. Dia mengacungkannya ke arah Arvin, lalu beralih ke leher Pak Budi.

Arvin terperanjat. Mata penyidik itu membulat sempurna. Bagaimana bisa dia menyimpan benda tajam di dalam sebuah taksi seperti itu? Dan lagi, saat ini nyawa Pak Budi benar-benar dalam bahaya. Tubuh pria itu menegang dengan keringat mulai bercucuran. Wajahnya pun semakin pucat.

Tidak berselang lama, dia meninggalkan area pangkalan taksi itu. Membawa Pak Budi sebagai sandera bersamanya, entah akan dibawa ke mana. Yang jelas, Arvin harus cepat bertindak sebelum kehilangan jejak.

"Bian, lacak dan awasi taksi dengan nomor pelat yang ada di rekaman yang aku berikan tadi. Lalu, kirimkan posisinya padaku. Cepat!" ucap Arvin setelah panggilan yang dia lakukan tersambung dengan Bian. Dia berjalan dengan cepat menuju tempatnya memarkirkan motor.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya Bian di seberang sana.

Dari nada suaranya, dia juga terdengar panik. Entah apa yang terjadi di kantor polisi saat ini. Akan tetapi, sepertinya Bian menemukan sesuatu yang tidak kalah penting dari Arvin.

"Pengemudi taksi itu kabur dengan menyandera seorang pegawai dari pangkalan taksi ini."

Terdengar helaan napas Bian yang berat.

"Aku akan mengejarnya sekarang. Cepat!" Arvin mulai menaiki motornya. Memegang helm dan hendak menutup telepon.

"Aku akan meminta bantuan dari petugas lalu lintas yang sedang berjaga untuk menghadang taksi itu," ucap Bian.

Saat ini dia kembali berkutat dengan komputer miliknya. Yang sejak tadi memang hanya itu yang dia kerjakan.

"Jangan! Sopir itu membawa belati. Keselamatan korban bisa terancam jika kita gegabah!"

"Belati?" Bian membeo. Meski begitu, matanya fokus pada layar komputer yang menayangkan beberapa video CCTV di beberapa sudut jalan tidak jauh dari lokasi Arvin berada.

"Ketemu! Dia melaju menuju jalan Rusun Kembang Wangi."

"Baiklah, aku akan ke sana. Pinta Kanit Gerdian untuk menyusul."

Setelahnya, Arvin mengakhiri panggilan telepon itu. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, dan mulai mengenakan helm. Kemudian, kendaraan beroda dua miliknya mulai melesat menyusul Trisna.

Arvin memacu kendaraannya dengan cepat. Tidak bisa dipungkiri, dia panik bukan main. Perasaannya berkecamuk. Pun otaknya mulai membuat beberapa kemungkinan yang bisa saja menimpa Pak Budi. Terang saja hal itu membuatnya hampir kehilangan fokus.

Beberapa kali motornya hampir menabrak pengendara lain. Tentu hal ini tidak baik. Lengah sedikit saja, kacau. Bukan pelaku yang dia tangkap, justru bisa-bisa dia yang ditangkap petugas lalu lintas karena dianggap membahayakan pengguna lain. Bukankah hal ini tidak lucu sama sekali?

Sementara jauh di depan sana, tepatnya di dalam taksi yang Trisna bawa. Pria itu mengemudikan kendaraannya seperti orang kesetanan. Matanya dengan liar menatap jalan di depan sana. Bulir-bulir keringat dingin mengucur deras dari dahinya.

Sesekali dia menatap kaca spion dengan perasaan berkecamuk. Lalu beralih pada Pak Budi yang tampak tak sadarkan diri. Entah dia apakan pria malang itu. Yang jelas, hal ini membuatnya leluasa untuk mengemudi, tanpa harus merasa terancam oleh keberadaan Pak Budi.

Tidak berselang lama, motor Arvin sudah terlihat di belakang mobil Trisna. Jarak keduanya tidak begitu dekat dan tidak bisa dibilang jauh juga. Tentu saja hal itu membuat Trisna semakin panik. Pria itu dengan terburu-buru menambah kecepatan laju mobil. Sampai tidak menyadari jika Pak Budi sudah sadarkan diri.

Pria tua itu mengucek matanya. Membiasakan diri dengan pencahayaan yang masuk ke dalam retina. Setelah kesadaran menguasai sepenuhnya, tubuh Pak Budi terperanjat kaget. Dia beralih menatap Trisna. Pria nekat ini benar-benar gila!

Tanpa disadari oleh Trisna, Pak Budi mendekat ke arahnya. Dia mencekik pria yang tengah mengemudi itu. Membuatnya panik dan laju mobil pun oleng ke arah kiri.

Melihat laju mobil yang tiba-tiba tak terkendali, Arvin menambah kecepatannya. Membuat motornya sejajar dengan taksi Trisna. Hal itu bukanlah keputusan yang tepat, karena beberapa kali dia hampir tersenggol olehnya. Mau tidak mau, Arvin kembali mengambil sedikit jarak.

Laju kendaraan Trisna yang ugal-ugalan, menarik perhatian beberapa petugas lalu lintas yang sedang bertugas di depan sana. Salah satu dari mereka memberi isyarat agar mobil itu menepi. Namun tidak dihiraukan oleh Trisna. Dia justru hampir menabrak petugas itu. Jika saja dia tidak sempat menghindar, bisa-bisa nyawanya melayang.

Hal tersebut tentu saja membuat para petugas itu geram. Mereka langsung melakukan pengejaran. Suara sirene pun mulai meraung di jalan. Pun salah satu dari petugas itu tanpa henti berteriak meminta taksi yang Trisna bawa untuk menepi. Karena tidak mempan, petugas itu menghubungi rekannya yang bertugas tidak jauh dari lampu merah. Meminta bantuan untuk menghadang laju taksi itu.

Sementara di dalam taksi, Pak Budi sudah terjungkal ke kursinya. Trisna berhasil melepaskan cengkeraman tangan Pak Budi dari lehernya. Dia melukai tangan pria malang itu menggunakan belati. Terang saja, Pak Budi meringis kesakitan. Dengan darah yang mulai mengucur dari punggung tangannya.

Sebuah umpatan keluar dari mulut Trisna, saat menyadari jika saat ini bukan hanya Arvin yang mengejarnya. Melainkan ada dua mobil petugas lain di belakang mereka. Dia tentu saja semakin panik dan kembali menambah kecepatan laju mobilnya.

Akan tetapi, Pak Budi sepertinya bukan tipe orang yang mudah menyerah, dia kembali menyerang Trisna. Kali ini dia berusaha merebut kemudi mobil. Membuat mobil itu semakin tak terkendali.

Lagi, Trisna melukai tangan Pak Budi dengan menggoresnya. Kali ini lebih dalam dari yang tadi. Ketika Pak Budi tengah kesakitan, dia kembali mendorong tubuhnya untuk menjauh darinya.

Dorongan itu sangat kuat sampai membuat pintu mobil terbuka. Pak Budi langsung panik seketika. Tangannya yang sakit dia gunakan untuk berpegangan pada kursi dengan erat. Dia tidak mau jatuh.

Betapa cerobohnya Pak Budi. Ketika baru sadar tadi, dia membuka pintu itu dengan perlahan. Berniat untuk kabur dengan cara melompat, tapi nyalinya ciut seketika. Tepat ketika Trisna menambah kecepatan mobil.

Kebodohannya adalah, dia tidak kembali menutup pintu itu dengan benar. Ada celah di sana. Sekali dorongan kuat, tentu saja akan terbuka lebar.

Trisna melihat hal itu, dia menyeringai. Tanpa belas kasihan, pria itu kembali melukai tangan Pak Budi yang tengah berpegangan pada kursi. Rasa sakit kembali menjalar di tangannya.

Ketika Trisna hendak menggoresnya lagi, dia langsung menarik tangannya. Membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan kejadian yang tidak diinginkan pun terjadi.

Tubuh Pak Budi menggelinding di aspal, dan masuk ke jalur lain. Dia meringis dengan rasa pening yang mendera. Pun rasa sakit terasa dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Pak Budi masih tergeletak di aspal ketika sebuah truk dari arah berlawanan melaju ke arahnya. Ketika semakin dekat, Arvin memacu kendaraannya ke arah Pak Budi. Dan menghentikan motornya tepat di depan truk itu.

Arvin bergegas turun, memapah Pak Budi. Ralat, dia hampir menyeret pria tua itu ke pinggir jalan. Tentu mereka berhasil menyelamatkan diri, tapi apa yang Arvin lakukan membuat si sopir truk terkejut dan kehilangan kendali.

Dia membanting kemudi ke arah kiri. Sayangnya, di jalur itu sedang lumayan ramai, hingga tabrakan pun tidak bisa dihindarkan.

Truk tadi menghantam sebuah mobil sedan berwarna putih. Setelahnya, truk semakin oleng dan jatuh. Material pasir yang dibawa pun memenuhi seisi jalan. Membuat lalu lintas menjadi kacau.

Arvin maupun orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, hanya bisa menahan napas mereka. Kejadian itu begitu cepat sampai beberapa kendaraan lain terlibat tabrakan beruntun. Jalanan pun tidak bisa dilewati sama sekali. Macet total.

Arvin berkacak pinggang dengan tatapan lurus ke depan sana. Taksi yang Trisna bawa menabrak para polisi yang berusaha menghadangnya. Dia sukses membuat kekacauan lain di depan lampu merah sana. Kemacetan pun tidak bisa dihindari. Sementara Trisna berhasil lolos dari pengejaran.

Arvin segera menghubungi Bian. Menanyakan ke mana Trisna pergi. Dia juga meminta agar akses jalan yang akan dilalui oleh pria itu ditutup dengan penjagaan ketat.

"Aku kehilangan jejaknya. Mobilnya tidak lagi terlihat di kamera pengawas. Sepertinya dia meninggalkan mobil itu di suatu tempat," tutur Bian.

Dia meringis. Pengadangan yang dilakukan petugas lalu lintas sebelumnya, ternyata malah membuat Trisna memutar otak. Dia pasti meninggalkan mobilnya karena itu satu-satunya hal yang dirasa paling aman.

Arvin tidak memberi respons apa pun pada Bian. Dia hanya meremas ponsel itu dengan erat. Matanya dengan nanar menatap lurus motor kesayangannya yang sudah remuk tertimpa truk. Akan tetapi, hal itu tidak seberapa dibandingkan dengan rasa kecewanya karena kehilangan jejak Trisna.