6 Why not Me?

Kebencian sangat mudah untuk ditebak, berbeda dengan cinta. Bahkan saat kau mengatakan 'aku mencintaimu' dengan terang-terangan, belum tentu itu tulus dari dalam hati.

•-----•

Daniel Dirgantara; saat ini sedang menyelinap untuk pergi ke rumah Kino, sahabatnya. Padahal ia sedang dihukum oleh sang Ibu karena melanggar janjinya —tidak lagi mengantar adiknya pergi sekolah.

Mau tak mau, Renjun pergi ke sekolah dengan naik bus bersama Felix dan Hyunjin pagi tadi.

"Mama kebangetan, anaknya dikurung kayak tersangka. Bodo amat ah, udah gede," gumam Daniel pelan.

Baru saja ia akan meraih kunci motor yang disembunyikan di laci meja rias Ibunya, tiba-tiba suara klakson mobil yang sangat familiar terdengar.

Daniel mengintip dari celah jendela kamar Ibunya. "Lah? Ngapain tuh bocah?"

Ternyata Kino yang berkunjung. "Tau gini, gue nggak perlu susah payah ngambil kunci motor, ck!"

"Abaaang! Ada temennya tuh," teriak sang Ibu dari lantai bawah.

Hal tersebut membuat Daniel tersentak kaget, ia bergerak keluar kamar Ibunya dengan terburu-buru sampai tersandung kakinya sendiri dan...

GUBRAKK!

"Aww!" Daniel meringis akibat kepalanya menyentuh lantai.

"Sial...sial! Kenapa sih? Cewek yang gue suka direbut sahabat sendiri, punya adik manja banget harus dianter tiap hari, sekarang dihukum pula dan jatoh? Ck," gerutunya tertahan sambil mengubah posisinya yang semula tengkurep menjadi duduk.

Tanpa Daniel sadari, Kino sudah berdiri diambang tangga lantai atas. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku sahabatnya.

"Sehat Niel?" tanya Kino dengan ekspresi wajah yang mengejek.

Daniel beranjak dari duduknya dan menaikkan sebelah alis matanya, mengisyaratkan 'menurut lo?'. "Ngapain lo ke sini?"

"Numpang makan!" jawab Kino ketus. Dijawab dengan seringai mengejek dari Daniel. "Nemuin lo lah, ada yang mau gue omongin."

"Soal apaan?" tanya Daniel sambil melangkahkan kakinya menuju sofa yang ada di lantai tersebut.

Kino menghampiri sahabatnya itu dan duduk di sofa seberang. "Vernon."

Mimik wajah Daniel langsung berubah saat mendengar nama sahabatnya itu disebut. Ah, sahabat? Entahlah...

"Kenapa Vernon?" tanya Daniel.

"Seperti yang lo tau, Vernon minta tolong sama gue..." Kino menghela napas pelan, "hhh, supaya lo bisa baikan sama Sejeong."

"Lah lo nggak tau? Vernon udah nusuk gue dari belakang! Kemaren malem dia berduaan sama Sejeong!" jawab Daniel geram.

Kino mengangguk-angguk kecil.

"Lo tau nggak gimana perasaan gue semalem? Nyesek gila! Sakit! Yah... lo tau 'kan sejauh ini yang ada di hati gue siapa?"

Sejujurnya ia sudah mengetahui ini dari Vernon. Karena sejak awal, pemuda pemilik lesung pipi itu tahu kalau ada Daniel di gerbang rumah Sejeong semalam.

Maka dari itu, Vernon meminta bantuan Kino untuk menjelaskan permasalahannya pada Daniel. Tapi, siapa sangka kalau Daniel Dirgantara adalah pria yang sangat keras kepala?

"Vern—"

Kino memotong ucapan Daniel yang tak ada henti-hentinya. "Cerewet lo ah!"

"Makanya dengerin dulu penjelasan gue! Nyerocos mulu lo kayak ibu-ibu kos," lanjut Kino.

Daniel membekap mulutnya dengan kedua tangan. Menurutnya, Kino lebih seram saat marah dibandingkan dengan ibu-ibu kos.

"Vernon tau semalem lo ke rumah Sejeong."

"Nah 'kan! Terus dia diem aja gitu? Gil—"

Kino melempar bantal tepat di wajah tampan Daniel. Ia kesal karena ucapannya selalu dijawab, padahal belum selesai. "DIEM NGGAK LO!"

"Iya iya ampun bos!" jawab Daniel.

"Intinya Vernon tau, dan mau ngetes lo. Kalau lo cemburu, tandanya lo emang serius sama Sejeong. Tapi, kalau lo biasa aja, yaudah dia nggak akan kasih kepercayaan sama lo buat deketin Sejeong lagi."

"Gitu bos!" lanjut Kino.

Daniel mencerna setiap perkataan yang dilontarkan oleh Kino. Tapi, hingga beberapa detik ia masih saja diam, membuat Kino mengernyitkan dahinya bingung.

"Niel! Lo paham nggak sih maksudnya?" tanya Kino.

Daniel menggeleng lemah. "Ngerti Kin! Tapi..."

"Bodo amat Niel! Lo ngegeleng tapi bilang ngerti. Aneh lo!" Kino menepuk dahinya sendiri.

"Tapi, kenapa Vernon nggak ngasih penjelasannya langsung ke gue? Kenapa harus lewat lo?" Daniel menatap Kino sambil menaikkan sebelah alis matanya.

Kino menggedikkan bahu. "Yah, kayak yang gue dan Vernon tau. Lo 'kan suka nggak jelas. Kalau Vernon yang bilang, mana mungkin lo sekalem sekarang."

"Iya sih, gue pasti ngamuk pengen nampol muka ngeselinnya Vernon!" jawab Daniel menggebu-gebu.

"Nah 'kan!" Kino berdecak heran dengan kelakuan sahabatnya itu. "Untung sahabat gue, lo Niel!" gumamnya tanpa suara.

"Gimana bro? Ketemu sama cinta sejati lo?" tanya Jeno sambil menahan tawa.

Jaemin mengangguk pelan dan tersenyum seperti orang tak waras. "Thanks 'ma bro! Berkat lo, satu langkah maju lebih deket sama Lira."

"Lah seriusan?" Jeno tercengang tak habis pikir. Kenapa malah seperti ini jadinya?

Padahal baru saja ia dan Hyunjin bertaruh kalau Jaemin akan marah-marah padanya dan memaki-maki. Tapi, yang terlihat sekarang justru sebaliknya?

Hyunjin harus tau nih! Batin Jeno.

Ya, Hyunjin baru saja pergi dari sana karena harus menghadiri kelas sastra dihari Senin.

"Yoi Jen serius. Lo harus liat tadi, mukanya Lira merah kayak kepiting rebus. Gemesin banget parah!" ucap Jaemin bersemangat.

Jeno mengangguk pelan. "Terus? Lira nggak marah?"

"Nggak." Jaemin menoleh ke arah Jeno dan tersenyum mengerikan.

Membuat Jeno mundur perlahan. "Lo gila ya Jae!"

"Lo..." Jaemin semakin maju dan memberikan tatapan mengintimidasi pada Jeno. "Lo sengaja 'kan ngerjain gue!"

Jaemin memiting sahabatnya itu. "Lo ngeselin banget Jen!"

"Lepasin woy! Gue nggak napas ini!" teriak Jeno.

Tiba-tiba Renjun datang bersama Felix. "Lo berdua ngapain sih?" tanya Renjun.

"Menurut lo?" sahut Jaemin. Ia pun melepaskan pitingannya pada Jeno.

"Gila lo Jae! Sakit woy!" gerutu Jeno sambil mengusap-usap lehernya.

Felix berkata, "ke uks sana Jen. Lumayan bisa tidur!"

"Lah, tumben lo pinter Lix!" jawab Jeno sambil terkekeh dan menatap Felix dengan mata sipitnya.

"Emang lo! Dia mah otaknya sebelas dua belas sama Renjun, tapi kelakuan nggak beda jauh sama lo Jen!" sambar Jaemin sambil tersenyum mengejek.

Renjun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat sahabat-sahabatnya yang absurd. Termasuk ia, mungkin?

"Jun!" Tiba-tiba ada seseorang yang menyerukan namanya.

Felix menyenggol lengan Renjun. "Samperin sana!"

Ternyata Naira dan Lira. Tapi, yang memanggil Renjun adalah Lira.

"Jun, ikut gue ayo!" Lira menarik lengan Renjun dan membuat mereka yang ada di sana mengernyitkan dahi, tak terkecuali Naira dan Jaemin.

"Gue nggak salah liat 'kan?" tanya Jeno sambil mengusap-usap kedua matanya.

Felix menggelengkan kepalanya. "Biarpun lo sipit, Lira barusan ngajak Renjun pergi."

"Sabar bro!" ucap Jeno sambil menepuk pundak Jaemin.

Felix melirik Naira. "Lo nggak apa-apa Nai?"

"Ah, iya gue nggak apa-apa." Naira sedikit canggung. "Gue ke kelas duluan ya." Ia pun meninggalkan Jaemin, Jeno dan Felix.

"Sekarang jaman temen nikung temen ya?" ujar Jeno. "Ups, maaf," lanjutnya.

Felix meninju pundak Jeno. "Diem lo!" Ia memerhatikan perubahan raut jawah Jaemin.

Semoga lo berhasil Lira. Batin seseorang.

avataravatar
Next chapter