webnovel

4. Namanya Ryu

"Apa?" Zein refleks balik menatap Keira. "Maksud lo?"

"Bukan, ya?" Keira langsung membuang arah. Melihat ekspresi Zein tadi, ia yakin kalau dia bukanlah Zein yang di SMP dulu. Lagipula Zein yang dulu adalah anak cowok normal pendiam, bukan cowok berandalan seperti ini.

"Kenapa lo bisa ngira gue pernah kenal lo?" tanya Zein kemudian. "Apa muka gue mirip seseorang yang lo kenal?"

"Nggak," jawab Keira. "Lo nggak mirip siapa-siapa. Kalaupun mirip juga gue udah lupa. Gue cuma ingat namanya aja. Namanya kayak lo. Zein."

"Ooh," Zein mengangguk kecil. "Nama gue pasaran nggak sih?"

"Kalau bukan lo ya udah. Gue kan cuma nanya," kata Keira ketus.

"Cie ciyeeee, berduaan ciyeee...! Masih pagi lho ciyeee...!" Milli tiba-tiba datang menggoda mereka.

"Biasa aja kali," Zein melempar sepatunya ke arah cewek itu. Ia tipe orang yang tidak suka digoda perihal cewek rupanya.

"Lo tuh yang biasa aja. Pakai lempar sepatu segala? Sakit, tau? Tadi gue baru keramas, nih." Milli monyong karena kepalanya terkena sepatu Zein. Dengan kesal ia lempar balik benda itu ke arah pemiliknya.

Zein berhasil menangkap lalu tertawa. "Emang lo nggak pernah keramas? Pantes sering garuk-garuk kepala. Kutuan, ya?"

"Enak aja. Gue itu ya...."

"Apa?"

"Lo marah gue datang saat lo berduaan sama Keira?" tuduh Milli.

"Maksud lo berduaan apa? Sori ya, gue nggak suka...."

"Malah ribut-ribut apaan sih?" sela Keira tiba-tiba. "Eh, Zein. Lo nggak usah takut dijodoh-jodohin Milli sama gue. Tenang aja, selera gue bukan berandalan kayak lo kok." Keira berkata cuek lalu beranjak pergi dari hadapan keduanya.

"Haha. Lo dibilang berandalan tuh Zein," ledek Milli, tertawa keras seperti biasa.

"Emang gue peduli? Mendingan lo diam deh!" gertak Zein sebelum ikut beringsut pergi.

Sementara itu Keira berjalan menuju kantin. Lari keliling lapangan 10 putaran benar-benar membuatnya hampir pingsan. Keira dari dulu sangat benci pelajaran olahraga. Mungkin dia bisa menghafal seluruh materi penjaskes tapi ia sangat buruk dalam prakteknya.

Keira sedang memesan jus semangka saat serombongan anak ramai-ramai masuk kantin. Satu di antaranya mengenal Keira. Ia dulu anak 10-3. Namanya Cita.

"Kei, gimana kabar lo di IPS-3?"

"Lumayan. Lo sendiri masuk kelas apa, Cit?" Keira balik menanyai cewek itu.

"Gue di Bahasa-2. Nih, kita sekelas baru aja dari lab bahasa," ujar Cita sambil menunjuk teman-teman barunya.

Pandangan Keira justru jatuh pada seorang cowok di belakang Cita. Si tampang dingin itu. Si bola basket, dan si cowok yang kemarin sore datang ke rumahnya. Oh, jadi dia anak 11-Bahasa-2? Keira langsung mencari arah lain saat cowok itu sadar dipandanginya.

Setelah mendapatkan jus semangka yang dipesan, Keira segera keluar dari kantin. Tak lupa ia menyapa Cita dulu sebelum pergi. Perasaannya sudah tidak enak. Cowok itu seperti mengamatinya. Keira takut ia mengenali dirinya sebagai anak Pak Arya kemarin.

Setelah berjalan tak tentu tujuan, akhirnya Keira duduk sendirian di pojok lapangan. Tepatnya di bawah pohon rambutan. Pandangannya kini beralih lurus pada Zein. Cowok urakan itu tengah bermain volli bersama anak-anak lain.

Sejujurnya perasaan Keira masih penasaran dengan cowok itu. Meski tadi ia sempat yakin Zein bukanlah Zein yang pernah ia kenal, tapi kadang mata gelap Zein membuatnya berpikir kalau dia memang Zein si ketua kelas 8-D dulu.

Tapi apa mungkin? Keira masih dalam keraguan. Kalau memang dia Zein 8-D, kenapa ia berlagak seperti tidak mengenal? Apa mungkin Zein juga sudah lupa? Atau dia sengaja?

Bukkkk.

Sesuatu mendadak terasa jatuh di pundak Keira. Sepertinya dari pohon rambutan. Keira pikir cuma ranting tua atau dedaunan, tapi sepertinya benda itu lebih berat dan entah kenapa seperti ada kakinya.

Keira mulai curiga. Benda ada kakinya? Tentu tidak mungkin ada. Kini Keira yakin, seekor mahkluk hidup pasti sedang bertengger di pundaknya. "Aaaaaaaaaaaakk!" Teriakan Keira segera melengking begitu mengetahui apa yang jatuh di badannya.

"Ada apa?" Serempak anak-anak yang sedang bermain voli menoleh ke arah Keira.

"Tolooong! Tolooong!" Keira berteriak-teriak seraya menunjuk seekor bunglon hijau muda yang menclok di pundaknya. "Aaaaaaakk! Tolong...!" jeritnya membahana.

Karena kebanyakan anak hanya menonton, maka Keira coba memberanikan diri menarik buntutnya. Oke, buntut. Ditarik lalu dilempar sejauh-jauhnya. Keira memerintah diri sendiri. Bunglonnya saja tidak menjerit padahal sudah jatuh dari atas pohon, kenapa juga harus ia yang panik?

"Ada apa?" tanya Oki yang akhirnya maju menghampiri.

"Iniiii. Hiiii!" Keira berteriak lagi saat bunglon itu berhasil digenggamnya dan meronta-ronta. Karena takut akan digigit, Keira pun segera melempar makhluk itu sekuat tenaga.

Zein yang malang. Ia tadinya bermaksud menangkap bola yang terlempar keluar lapangan. Namun bukannya bola voli yang dilontarkan oleh Milli, Zein justru mendapati bunglon yang tertangkap di tangannya.

"Eh, awas!" seru Keira dengan kaget.

"Hiy, apa ini? Woi!" spontan Zein berteriak. Rupanya ia sangat takut dengan binatang-binatang reptil, apalagi yang bisa berubah-ubah warna seperti itu. "Eh, Vin!" serunya meminta tolong.

"Dilepas, Zein! Pegang pelan-pelan," Alvin mencoba meraih buntut binatang itu. "Nah."

Dibantu anak-anak lain, akhirnya Zein berhasil melepas bunglon dari tangannya. Ia bergidik-gidik ngeri sesudahnya. Tangannya sempat dicengkeram bunglon itu tadi. Beruntung ia tidak sampai digigit.

"Dan lo lagi," Zein langsung mengarahkan pandangan horor pada Keira usai binatang itu disingkirkan Alvin.

"Maaf, nggak...."

"Nggak sengaja? Lagi?" Zein memotong ucapan Keira dengan panas. "Kemarin lo lempar gue pakai cicak. Sekarang bunglon. Jangan-jangan besok buaya lo lempar juga ke arah gue. Lo seneng banget ya cari gara-gara? Lo cari mati?" bentaknya.

Keira sedikit gentar menghadapi Zein semarah itu. "Maaf, gue beneran nggak sengaja."

"Lo sengaja! Dari tadi lo lihatin gue, kan? Ternyata ini maksud lo. Mau bikin gue mati jantungan, hah? Pantas rasanya gue nggak aman tiap dilihatin lo. Lo genius dan lo berbahaya."

"Apa? Siapa yang berbahaya?" Keira terkejut mendengar tudingan itu.

"Mainan lo binatang-binatang reptil gitu. Apalagi kalo bukan cewek berbahaya?" sindir Zein.

Keira menarik napas panjang lalu segera dibuangnya. "Denger ya! Sekali lagi gue bilang nggak sengaja. Dan kalau gue nggak salah, bukannya preman sekolah kayak lo yang justru berbahaya, ya?" tudingnya balik.

"Wow..." Anak-anak lain bersorak tak menyangka Keira bisa seberani itu pada Zein.

"Nyali lo boleh juga," Zein tersenyum antara kesal dan tak percaya. "Lo nggak tahu sedang berhadapan sama siapa?"

"Sori. Gue tahu kok, gue sedang berhadapan sama siapa," sahut Keira yakin. "Berandalan sekolah yang berbahaya." Ia memandang tajam cowok itu lalu segera pergi dari sana.

"Kurang ajar tuh bocah." Zein mengepalkan tangannya. Berani-beraninya anak itu berkata demikian di hadapan teman-temannya. Tidak bisa dibiarkan.

Tak lama terdengarlah bisik-bisik di belakang Zein. Mereka memuji-muji sikap Keira. Ada yang bilang Keira hebat. Tegas. Pemberani. Kuping Zein yang mendengar hal itu kian panas saja. Ia pun memilih enyah dari lapangan.

Sementara itu Keira justru sedang kesal sendiri di belakang gedung kelas 10. "Bodoh! Apa-apaan gue tadi?" Ia memaki dirinya sendiri. "Itu Zein trouble maker-nya SMA Pahlawan. Apa coba sok berani sama dia?" Keira berkali-kali jongkok lalu berdiri seperti sedang squat jump.

"Keira!" Seseorang menyebut namanya tiba-tiba. Suara yang asing. Keira menoleh, dan segera mendapati cowok tampang dingin itu. Ia sedang bersandar di tembok dengan kedua tangan tersaku di celananya.

"Lo siapa?" Keira terkejut melihatnya. "Sejak kapan lo di sini?"

"Lo nggak tahu gue? Sama teman satu sekolah satu angkatan masa nggak tahu?" sahutnya santai.

"Maaf. Benar-benar nggak tahu," Keira langsung berdiri lantas merapikan rambutnya.

"Ngomong-ngomong, ngapain olahraga sendirian di sini?" tanya cowok itu sambil berjalan mendekat.

"Siapa yang olahraga?" Keira jadi malu kepergok sedang bertingkah aneh begitu. "Lo anak kelas 11 Bahasa-2 ya?" Ia pun coba mengalihkan pembicaraan mereka.

"Iya," jawab cowok itu singkat. Keira jadi penasaran sebenarnya dia itu siapa dan mau apa. Kenapa ia bisa memanggil namanya?

RYU.

Keira membaca papan nama di seragamnya. Ryu Mahesa Putra. Begitulah nama panjang yang tertera di sana.

"Iya, nama gue Ryu." Cowok yang ternyata bernama Ryu itu menatap Keira, melangkah lagi hingga berada tepat di hadapannya.

"S-siapa lo sebenarnya? Apa kita pernah kenal sebelumnya?" Keira beranikan diri bertanya pada cowok itu.

Ryu tersenyum tipis. "Nggak juga. Cuma tahu aja," jawabnya enteng.

"Terus ada urusan apa lo sama gue?" tanya Keira saat ingat Ryu tadi memanggilnya.

"Suka aja sama lo."

Keira melongo. Namun tentu saja Keira bukanlah cewek bodoh yang gampang percaya omongan murahan seperti itu. "Jangan menipu orang yang bahkan belum benar-benar lo kenal. Apa lo playboy di sekolah?" tuding Keira langsung saja.

Lagi-lagi Ryu tersenyum. Keira mengakui kalau cowok itu mempunyai senyum yang manis. Hal itu semakin menguatkan pendapatnya bahwa Ryu memanglah playboy di SMA Pahlawan. Memikat para cewek dengan muka dinginnya yang manis. Terbukti kemarin ia menolak cewek yang merasa sudah diberi harapan olehnya.

"Apa mulai sekarang kita bisa berteman?" tanya Ryu tanpa mau menjawab dia player atau bukan.

"Maaf, sebaiknya lo berhenti dari awal. Gue bukan mangsa yang tepat buat lo. Gue nggak pernah peduli soal pacar-pacaran," ujar Keira terus terang.

Ryu malah tertawa. "Lo lucu juga. Emang siapa yang mau ngajak lo pacaran?" tohoknya santai.

Keira tak mau terlihat malu di depannya. "Ya siapa tahu? Kebanyakan cowok ngajak kenalan cewek karena mau jadi pacarnya. Tapi cowok yang mendekati cewek cuma untuk main-main, gue pastiin dia pergi ke neraka sebelum ajal menjemputnya."

Ryu tersenyum sekali lagi. Kali ini ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Hingga tampaklah dua gingsul menghiasi kanan-kiri deretan atas giginya. Keira hampir-hampir tak bisa menyembunyikan rasa terpesona. Cowok itu memang manis bukan main.

"Tapi gue nggak menipu lo, kok. Gue beneran tertarik sama lo. Lo boleh anggap gue sebagai penggemar lo daripada lo mikir gue playboy lagi cari mangsa," ujar Ryu lagi.

"Terserah lo lah." Keira pun memutuskan untuk balik saja ke kelasnya. Namun entah ada niat apa, Ryu seperti sengaja mengikutinya. Keira jadi sedikit waswas dengan tingkah cowok itu.

Oke, dia pasti sedang melancarkan aksi tebar pesona. Nanti kalau aku sudah suka, ujung-ujungnya juga ditolak sama dia. Persis cewek kemarin, pikir Keira yakin. Karena sibuk memikirkan Ryu, alhasil Keira tak melihat jika di depan tangga ada sekumpulan cowok sedang mengobrol.

Brruuukkkk.

Tak dapat dicegah, Keira menabrak salah satu dari mereka. Keira sempoyongan. Ia hampir saja ambruk. Beruntung Ryu yang sedang mengekori langsung sigap menangkap Keira.

"Hati-hati dong. Kalau jalan lihat-lihat depan, ya?" bisik Ryu membuat muka Keira memerah. Cewek itu langsung melepaskan diri darinya. Ia bermaksud lanjut menaiki tangga tapi ia baru sadar akan pemandangan di depannya.

Zein dan kawan-kawan.

"Lo lagi dan lo lagi. Suka banget ya gangguin hidup gue?" semprot Zein tak terkira. Rupanya dia orang yang Keira tabrak tadi.

"Sori, nggak...."

"Nggak sengaja? Lagi? Tiap hari bikin gue apes alasannya nggak sengaja?" Zein benar-benar kesal sepertinya.

"Emang gue nggak sengaja, kok." Keira masih coba membela diri.

"Kayaknya lo bakalan belum kapok kalau belum gue kasih pelajaran." Zein tiba-tiba menarik tangan Keira. "Kira-kira, gue cium lo aja gimana?" ujarnya sambil mendekatkan wajah.

Alvin dan yang lainnya mulai bersorak-sorai menggoda mereka. Zein tersenyum sinis melihat muka Keira ketakutan. Tapi senyumnya harus kandas di tengah jalan karena Keira tiba-tiba saja menendang keras anu-nya.

"Lo cuci deh otak mesum lo. Dasar berbahaya!" seru Keira lalu bergegas menaiki tangga. Semua yang berada di sana menahan tawa melihat Zein merana, kecuali Ryu. Cowok itu justru tertawa terpingkal-pingkal.

"Keira!" Ryu menyempatkan diri memanggilnya. "You're really-really rock, man! Are you ready to rock?"

Seketika wajah Keira membeku. Ia melihat Ryu menunjukkan salam jari ala rocker padanya. Ryu tersenyum penuh makna, membuat anak-anak di sekitar melihat bingung ke arahnya dan Keira.