"Oh ... sungguh tak nyaman, mengapa aku merasa tak tenang di sini?" desah Avery frustasi. Ia sedang berada di salah satu kamar tamu kediaman Alastor. Bangunan klasik bergaya kastil kuno itu berlantai dua dengan dengan interior hangat yang dominan berhiaskan material kayu dan cat berwarna krem hangat.
Dom segera meraih Avery yang berdiri tak terlalu jauh darinya dan memeluknya. "Hei, hei ... tenanglah Sayang, ada aku di sini," ucapnya sambil mengecup puncak kepala Avery. "Kau pasti terkejut dengan apa yang tadi terjadi ya? Aku pun tak menyangka ternyata kaum sorcerer begitu 'menakutkan'. Tapi percayalah, aku yakin semuanya akan baik-baik saja," gumamnya.
"Mengapa kau begitu yakin? Apakah ini akan menjadi masalah besar? Haruskah aku melakukan sesuatu?" tanyanya.
"Jelas, karena kita seperti pasangan kawin lari yang tak mendapat restu dari keluarga dan mencoreng nama baik kakekmu, benar?" balas Dom.
"Dom! Aku serius. Aku tak ingin terjadi sesuatu yang dapat menyebabkan banyak orang terluka. Seperti yang telah kusaksikan tadi, kalian seolah telah bersiap saling menyerang."
"Memang kenyataannya seperti itu, bukan? Jangan terlalu terkejut, ini Anima, Sayang." Dom membelai lembut wajah khawatir Avery.
"Yah, dan aku harus melakukan sesuatu, benar?!"
"Tentu saja, bagaimana pun juga kau memang harus berbicara dengannya. Suka atau tidak ia tetaplah kakekmu, keluargamu. Dan untuk saat ini, ada baiknya jika kita beristirahat dan menenangkan pikiran, oke?" ucap Dom.
Avery mengangguk. "Ya, kau benar ... kita harus menghadapi semuanya dengan kepala dingin. Terima kasih karena telah menemaniku ke sini dan menekan perasaanmu sendiri," ucap Avery.
Dom mengembuskan napasnya. "Karena aku menghormatimu, aku menginginkan kau tenang dengan mengetahui segala sesuatu, asal-usul dan semua hal yang menyangkut hidupmu. Untuk itu, aku memang harus menemanimu di sini. Carilah semua hal mengenai ibumu atau apapun itu selagi kita di sini, Sayang. Aku akan selalu mendampingi dan menjagamu," jawab Dom. Avery tersenyum dan mengangguk bahagia.
"Jadi ... apa yang akan kita lakukan sekarang? Ini sudah hampir menjelang malam," ucap Dom lagi sambil mulai menciumi wajah Avery.
"Beristirahat tentu saja, memangnya apa lagi?" ucap Avery sambil menahan senyumnya. Ia tahu benar maksud Dom.
"Oh, ayolah ... Sayang," ucapnya sambil merajuk. "Bukankah kita masih pengantin baru?" bujuknya lagi. Dom mulai mempererat pelukannya.
"Kau benar, tapi tidak dalam situasi seperti ini. Mungkin setelah semua jelas dan aku tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Lagipula kita sedang berada di rumah yang sama sekali asing, kau mengerti maksudku?" ucap Avery.
Dom menggeleng. "Aku tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Apa salahnya menginginkan istriku sendiri? Mau itu di rumah asing atau di tengah hutan sekali pun, kau tahu pasti bahwa aku tidak peduli dengan hal-hal seperti itu, bukan? Dan katakan, kapan aku dapat menandaimu seutuhnya?! Aku begitu menginginkan junior kecil di dalam sini!" protesnya sambil mengusap perut Avery.
Dom kemudian membopong Avery dan segera membawanya ke atas ranjang. Ia merebahkan Avery dan mulai menggelitik lehernya dengan ciuman-ciuman kecil. "Jangan berani-beraninya melarangku untuk suatu hal yang tak dapat kutahan denganmu, mengerti?" bisiknya.
Avery mulai menggeliat karena desakan dan gelitikan Dom. "Oke ... oke ... aku mengerti, Dom," ucap Avery sambil terkikik geli setiap kali Dom terasa menggelitiknya. Ia mencengeram lembut rambut halus Dom yang sengaja menggelitiknya.
"Panggil aku 'Sayangku yang Tampan dan Seksi' aku menginginkanmu, ayo katakanlah seperti itu," ucap Dom di sela-sela cumbuan dan gelitikannya.
Avery mengerjap. "Apa? Bagaimana mungkin aku memanggilmu ... aakh, haha ... oke ... oke, haha ... hentikan ini geli! Dom!" Avery sedikit berguling untuk menghindari serangan 'gelitik' dari Dom.
"Oke apa? Aku menunggumu Sayang ... jika kau ingin aku berhenti menggelitikmu, maka katakanlah ... anggap saja itu passwordnya," ucap Dom. Ia kembali memutar tubuh Avery dan menguncinya agar menghadap ke arahnya lagi.
Napas Avery masih sedikit memburu karena sisa-sisa cekikikannya tadi. Ia kemudian menatap Dom sejenak sebelum berkata, "Sayangku yang tampan dan seksi ... aku menginginkamu!" ucapnya cepat sambil kemudian menutup wajahnya.
Dom tertawa penuh kepuasan. "Good girl ... kau menggemaskan saat patuh," ucapnya dengan berbinar. Setelahnya, ia perlahan mulai membuka kedua tangan Avery yang masih menutupi wajahnya.
"Nah ... sekarang katakan, Sayangku ... aku ingin kau menghangatkanku dan memasukiku malam ini," bisik Dom menggoda Avery.
"Oh, Dom! Tidak lagi ...," keluh Avery sambil menutup lagi wajahnya. Dom tergelak penuh kemenangan ketika wajah Avery kembali memerah.
***
Di kediaman Maltus Regis ....
"Mengapa kau tak membawanya padaku secara diam-diam?" tanya Maltus pada putranya.
"Tidak semudah itu situasinya, Ayah," ucap Maveric.
"Apanya yang tak mudah? Bukankah sudah kukatakan bahwa kau harus mengikuti mereka sacara diam-diam. Tapi ternyata kau secara terang-terang menemui mereka dan menyatakan diri seperti itu. Apakah kau tak dapat menerima maksudku dengan jelas?" tanya Maltus.
"Aku mengerti Ayah, maafkan aku," balas Maveric.
"Kau hampir saja membuat situasinya runyam! Jika pasukan pack mereka menyerang kita, apa kau dapat mempertanggungjawabkan itu?! Sekarang lihatlah ... bahkan para serigala itu banyak berjaga di 'Hutan Naungan'. Jika sampai mereka sewaktu-waktu bergerak, apa kau tak tahu apa yang dapat mereka timbulkan?!"
Maveric mengangguk dan sedikit menunduk tanda hormat serta penyesalannya.
"Apa yang sebenarnya ada dalam pemikiranmu?!" protes Maltus lagi. Ia masih tak mengerti jalan pikiran putranya yang mengacaukan misi mereka.
"Maafkan aku ... hanya saja ... ia be ... begitu ...," lirihnya.
"Apa? Apa yang kau katakan?!" tanya Maltus sambil mengerutkan alisnya. Ia bahkan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah putranya yang sedang duduk di hadapannya karena tak dapat mendengar dengan jelas ucapannya.
"Ka ... karena ia begitu cantik, Ayah!" lanjut Maveric sedikit meninggikan nadanya. "Avery ... putri Serenity!" ucapnya kemudian sambil menatap ayahnya dengan serius. Ada jeda sejenak setelah Maveric mengungkapkan isi hatinya.
"Aku ingin menyatu dengannya. Aku menyukainya. Selain memiliki kekuatan, ia juga cantik," tegasnya bersungguh-sungguh. Ia tak menghiraukan reaksi ayahnya yang sedang menganga tak percaya.
"Ayah, aku ingin melakukan pernikahan dengannya. Aku ingin memiliki kekuatan yang lebih dan hidup dengannya. Bukankah kau juga pernah mengatakan bahwa aku harus berdampingan dengan putri Alastor? Sekarang Serenity sudah tak ada, dan aku ... menginginkan putrinya."
Maltus kemudian hanya menghela napasnya dan berdehem kecil. Ia sekarang tahu apa alasan sebenarnya yang membuat putranya begitu gegabah dengan tindakan cerobohnya. Ia sendiri tak bisa sepenuhnya menyalahkan putranya. Siapa yang tak akan terpikat dengan Sorcerer infinity alami dari garis keturunan Elena. Semua putri dari keturunan spesial itu memang begitu memikat dan bersinar.
"Jika itu yang kau inginkan, seharusnya dari awal kau mengikuti rencanaku, bukan menghancurkannya. Aku bahkan telah menyiapkan rencana untukmu sebelumnya."
Maveric kembali mengangguk. "Maaf, Ayah. Adakah yang dapat kulakukan? Aku begitu tak suka melihat beast itu berada di sampingnya!" geram Maveric.
"Katakan, apa ia sudah menandainya? Akan sulit jika itu telah terjadi," ucap Maltus.
"Belum. Walau ia mate-nya sekalipun aku tak peduli. Haruskah aku melakukannya dahulu dan menanamkan benihku padanya? Dengan begitu ia akan terikat padaku. Aku akan membuatnya mengandung anakku sehingga dapat memilikinya seutuhnya," ucap Maveric tanpa ragu-ragu lagi.
Maltus memijat keningnya. "Oh demi Selena! Itu tidak akan semudah itu! Kau tak dapat memutuskan takdir begitu saja! Kita harus memikirkan rencana lain. Dasar pria gegabah!" gumamnya. Ia menggeleng kecil.
____****____