61 Cepatlah Siuman!

Ronald memegang erat tangan kanan Alice tanpa bergeming sedikit pun dari ranjang tempat Alice kini terbaring lemah. Ia duduk pada sebuah kursi dengan wajah tertunduk yang dia sandarkan pada ranjang tersebut, ia berharap kekasihnya itu lekas siuman dari pingsannya. Sementara itu tangan kiri Alice terpasang infus yang mengalirkan cairan ke dalam tubuhnya, wanita itu tampak terbaring lemah. Di ranjang sebelahnya tampak Elsa juga kini terbaring, namun ia sudah jauh lebih baik dari kondisi sebelumnya. Kini mereka telah berada di Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Grazia, jarak terdekat dari lokasi tadi membuat mereka segera melarikan Alice ke rumah sakit itu untuk segera mendapatkan pertolongan pertama, sedangkan para penjahat tadi segera mereka bawa ke Rumah Sakit Militer yang berdekatan dengan kantor polisi.

"Dokter Alice mengalami syok karena kejadian yang ia alami, ia butuh istirahat total. Anda tidak perlu khawatir, setelah mendapatkan pengobatan, ia akan segera pulih!" Kata seorang dokter menerangkan kondisi Alice pada Ronald.

"Sebaiknya anda juga menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Saya melihat anda pun tidak dalam kondisi yang baik." Lanjut dokter tadi.

"Saya baik-baik saja, dokter. Saya akan memeriksakan diri ketika dokter Alice sudah sadar." Jawab Ronald kala itu.

"Baiklah kalau begitu!!" Ujar dokter tersebut lalu pamit undur diri.

Elsa yang sedari tadi mengamati dokter Alice dan Ronald hanya bisa menarik napas dalam, ia kemudian membalikan tubuhnya agar tak lagi melihat pemandangan itu.

...

Waktu menunjukan pukul 01.30 saat Alice mulai mengeliatkan badannya, ia membuka matanya yang terpejam sejak tadi, ia kemudian akan mengangkat tangan kanannya namun terasa berat karena ada sesuatu yang sedang menindih tangan itu. Alice pun lalu akan mengangkat tangan kirinya untuk memijat kepalanya yang terasa berat itu, namun saat akan mengangkatnya rasa perih dan keram akibat tusukan jarum infus tadi sontak membuat wanita itu lalu berteriak menahan sakit.

"Awwhhh...."

Suara itu lalu membangunkan Ronald dari tidurnya, ternyata kepala pria itulah yang tanpa disengaja menindih tangan kanan Alice tadi.

"Alice...." Panggil Ronald pelan. "Kau sudah sadar?"

"Ronald..." Mata Alice lalu berkaca-kaca, hidungnya pun memerah. Wanita itu lalu memeluk Ronald yang kini berdiri di samping tempat tidurnya. Ia memeluk pinggang lelaki itu dan menangis sejadi-jadinya.

"Tenanglah, semua sudah berakhir!!" Ronald menenangkan kekasihnya itu.

"Uhhuhuu...." Alice masih saja menangis.

"Aku kira aku akan mati tadi, aku takut Ronald."

Ronald mendekap tubuh wanita yang dicintainya itu dan membelai lembut rambut kepalanya, "Kau wanita yang hebat sayang, kau bisa melewati semua ini dengan baik. Terimakasih karena mau mengorbankan nyawamu demi menyelamatkan diriku." Bisik Ronald pada Alice.

"Aku takut Ronald, aku takut kalau tak bisa bertemu lagi denganmu." Ujar wanita itu lagi masih dalam isak tangisnya sambil menengadahkan wajahnya melihat ke arah Ronald.

"Kau berhasil sayang, kau menyelamatkan kita semua dan para penjahat itu telah ditangkap. Tak ada yang perlu kau takutkan lagi."

Ronald menatap mata bulat milik Alice yang masih saja mengeluarkan larva bening dari dalamnya, kedua tangan kekar miliknya memegang wajah mungil milik wanita yang sangat dicintainya itu.

"Aku bangga memilikimu sebagai kekasihku, Alice." Kata Ronald lagi dengan sebuah kepastian.

Saat keduanya diliputi tangis karena sukacita kebahagiaan, lain halnya dengan wanita lain yang ada di kamar itu pula namun berlainan tempat tidur, ia meneteskan air matanya bukan karena bahagia setelah selamat dari para penjahat yang salah menculiknya itu, bukan karena ia telah selesai melalui masa sulit itu, namun ia menangis karena ia harus melihat dengan sendirinya mantan kekasih yang pernah ia cintai itu kini begitu peduli dan tulus mencintai dokter Alice. Ia menangis karena pertolongan yang baru beberapa jam yang lalu ia berikan kepada lelaki itu tak akan pernah merubah keadaan sama sekali, ia menangis karena begitu bodohnya mengharapkan kembalinya sang mantan yang mungkin masih menyisahkan benih-benih cinta diantara mereka. Elsa sungguh tak pernah menyadari bahwa Ronald telah benar-benar melupakannya sebagai seorang yang pernah dicintainya, Ronald kini telah menjadi milik orang lain.

Bukan hanya Elsa yang berduka atas kebahagiaan Alice dan Ronald, dibalik pintu kamar itu seseorang lelaki yang awalnya ingin masuk ke dalam untuk melihat kondisi Alice, ia pun mengurungkan niatnya untuk memasuki kamar itu dan memilih untuk berdiri di balik pintu. Ia yang tadi sempat begitu khawatir ketika melihat Alice yang jatuh pingsan, kini hanya bisa terpaku dan mengikhlaskan wanita itu berada tenang dalam pelukan anak buahnya itu. Azka lalu memundurkan langkahnya dan akan meninggalkan tempat itu dengan rasa kecewa dan bersalahnya, namun baru beberapa langkah saja ia pergi dari tempat itu, sesuatu yang buruk terjadi.

"Ronald...!!" Pekik Alice seketika...

"Tolong...!! Tolonggg!!" Teriaknya lagi dengan lebih keras.

Ronald yang tadi sempat mendekap tubuh Alice, kini telah terkulai lemah di atas lantai.

Elsa yang menyaksikan kejadian itu lalu bergegas menghampiri Ronald yang sudah terjatuh di lantai, ia mengangkat kepala Ronald lalu menempatkannya di atas pangkuannya.

"Apa yang terjadi dengannya?" Tanya Elsa panik.

Alice menggelengkan kepalanya dengan panik pula, ia masih saja di tempat tidurnya dan melihat Ronald dari sana, karena ia tak bisa bergerak bebas akibat tangan kirinya terpasang infus. Saat itu Azka memasuki ruangan dan betapa kagetnya dirinya mendapati Ronald telah terkulai lemah di atas pangkuan Elsa.

"Apa yang terjadi dengannya?" Pertanyaan kedua yang sama dari orang yang berbeda itu hanya bisa di jawab Alice dengan gelengan kepalanya.

"Aku tidak tahu, sungguh aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya?!!" Jawab Alice ketakutan.

"Dokter...!! Dokter!!" Teriak Azka kemudian sambil berlari meninggalkan kamar itu dan mencari dokter dan perawat yang berada di Nurse Station.

Elsa kemudian meraba nadi Ronald, nadinya teraba cepat, dan tubuh Ronald teraba sangat panas, ia mengamati setiap luka yang ada pada wajah lelaki itu. "Sepertinya ini sepsis, dokter!!" Kata Elsa pada Alice.

Alice bergerak turun dari ranjang pasien yang ditempatinya dengan berhati-hati dari sisi kiri tempat tidur itu kemudian memutar dan masih dengan menggerek tiang infus ia pun berjongkok di samping tubuh Ronald. Ia melakukan hal yang sama dengan yang Elsa lakukan, meraba nadi lelaki itu, mengecek pernapasannya dan meraba suhu tubuhnya. Ia kemudian sontak mengangkat baju Ronald dan seketika itu pula ia melihat tubuh sang kekasih yang penuh dengan luka lebam.

"Oh my God... Ronald!!" Isak tangis Alice pun pecah. Ia tak menyangka jika Ronald yang sudah dalam kondisi seperti ini pun masih saja bertekad untuk menjaganya tanpa lebih dulu melakukan perawatan dan pengobatan untuk dirinya sendiri.

"Akhh.... Ada apa denganmu Ronald, kalau sampai terjadi hal yang buruk padamu, bagaimana mungkin aku bisa memaafkan diriku sendiri... Akhhahaahh..." Tangis Elsa panjang dan seperti meraung diakhir dari kalimatnya itu.

Azka memasuki ruangan itu lagi dengan terburu-buru, ia membawa seorang dokter dan seorang perawat bersamanya bersamanya.

"Dokter Rocky..." Sapa Elsa pada sang dokter.

Dokter itu tersenyum singkat lalu bergegas akan memeriksa Ronald yang masih berada di lantai itu.

"Bagaimana kalau menaikan dulu tubuhnya di tempat tidur saya." Kata Alice kemudian masih dalam tangisnya.

"Iya itu lebih baik." Jawab sang dokter.

Azka kemudian mengangkat tubuh Ronald ke atas tempat tidur yang tadi Alice gunakan dengan bantuan Elsa dan perawat tadi. Dokter itupun segera melakukan pemeriksaan pada tubuh Ronald, ia kemudian meminta perawat untuk mengukur tekanan darahnya dan mengukur suhu tubuhnya.

"Tekanan darahnya 80/50 mmHg, suhunya 38,4*C, pernapasan 32x/menit, nadi 104x/menit." Kata sang perawat ketika telah menyelesaikan tugasnya.

"Sepsis, ini kondisi dimana tubuhnya mengalami infeksi akibat luka yang ada di sekujur tubuhnya. Ia membutuhkan perawatan dan istirahat total!! Nanti saya akan memberikan obat dan terapi serta memindahkannya ke bangsal Pria." Jelas sang dokter setelah selesai melakukan pemeriksaan. Ia kemudian meminta perawatnya untuk menyiapkan set infus dan memasangkannya pada Ronald.

"Tadi saya sudah mengatakan padanya agar memeriksakan dulu dirinya, namun ia memilih untuk tetap berada di samping anda sampai anda siuman. Dan beginilah jadinya, kalau saja tadi dia mendapatkan perawatan yang lebih cepat mungkin kondisinya tidak akan seburuk ini." Kata sang dokter menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya pada Alice.

"Dokter, tolong sembuhkan dia." Mohon Alice.

"Saya akan berusaha dengan sebaik mungkin. Kami akan memberikannya obat demam dan antibiotik terlebih dahulu. Besok pagi akan kami lakukan CT scan dan USG untuk memastikan tidak adanya benturan pada organ tubuhnya!" Ujar dokter itu kemudian. "Dan satu lagi, anda juga harus tetap menjaga kondisi Anda dokter. Berusahalah untuk sama-sama sehat, tidak saling menyusahkan satu sama lain.!!" Kata dokter itu memberikan nasehat pada Alice sambil menepuk-nepuk punggung wanita itu, lalu kemudian berlalu dari ruangan itu.

Alice kemudian menghapus air matanya dan mengusap wajahnya yang sembab itu. Ia memandang pada Ronald yang saat ini menggantikan posisinya di tempat tidur itu, rasa cemas dan rasa bersalah bercampur jadi satu di dalam dirinya, namun ia mengingat kembali perkataan dokter tadi 'Berusahalah untuk sama-sama sehat, tidak saling menyusahkan satu sama lain!'. Ia pun berusaha tegar, ia harus yakin bahwa Ronald pasti bisa segera pulih setelah mendapatkan pengobatan nanti.

Setelah infus terpasang dan berbagai terapi telah diberikan, Ronald lalu dipindahkan ke ruang perawatan Bangsal Pria, Alice yang awalnya mempertahankan Ronald tetap berada bersamanya akhirnya luluh juga dengan keputusan bahwa Ronald harus dipindahkan.

"Saya akan menjaganya, anda beristirahatlah sekarang. Semoga besok pagi kalian semua sudah lebih baik." Ujar Azka meyakinkan Alice. "Suster Elsa, anda juga beristirahatlah." Ujarnya lagi pada Elsa lalu keluar dari ruangan itu.

Alice hanya bisa menatap pergi Ronald yang masih tak sadarkan diri itu berlalu dari hadapannya dengan didorong oleh beberapa perawat dengan sebuah brankar.

...

avataravatar
Next chapter