Pagi yang sangat cerah bagi Alan, tangan kanan Leo. Namun tampaknya tidak bagi tuan dari Alan ini. Buktinya Leo masih sangat betah berdiam diri di dalam kamar, sampai-sampai mengabaikan makanan yang mulai dingin ini.
Tidak biasa. Kira-kira ada apa? Leo tidak bisa naik membangunkan tuannya begitu saja, takut jika pintu terbuka yang menyapanya adalah sebuah pistol. Memikirkannya saja membuat Alan bergidik ngeri.
Kemarin, Alan berani saja saat bersama ibu dari tuan rumah ini. Tapi tidak untuk sekarang.
Padahal satu jam lagi ada pertemuan penting yang harus Leo temui. Tidak bisa dibiarkan, Alan mengumpulkan keberaniannya.
Alan berjalan dengan mantap ke arah tangga. Namun Alan segera menikung tajam melihat tuan yang di nanti-nanti turun bersama seorang gadis.
Leo segera berdiri di dekat meja makan besar tempat semua makanan lezat sudah tersaji. Kemudian membungkukkan badan saat Leo sudah berhenti di hadapannya.
"Kau membuat kesalahan Alan?" Pertanyaan yang di ajukan Leo itu justru membuat Alan mengernyit bingung.
"Tidak tuan."
"Kalau begitu jangan membungkuk seperti itu terlalu lama. Lama-lama kau bisa encok." Alan segera menegakkan tubuhnya kembali bersamaan dengan Leo yang mengambil tempat di kursi tengah untuk memulai sarapan paginya.
Sedangkan Jasmine, tunangan tuannya yang cantik itu kini mengambil tempat di yang sedikit jauh dari Leo.
"Duduklah di sini Jasmine." Gadis itu tampak sangat kikuk bangkit dan berjalan menuju kursi yang di tunjuk Leo.
Memang wajahnya yang memerah karena terkena paparan sinar matahari atau ini seperti yang Alan duga? Kedua pipi Jasmine bersemu merah karena menahan sesuatu.
Tatapan Alan turun pada bagian bahu dan leher Jasmine yang penuh dengan tanda. Gaun minimalis itu memperjelas apa yang sudah tuannya perbuat semalam, yang pastinya gaun itu adalah pilihan tuannya. Alan tersenyum penuh arti.
"Baiklah tuan, nikmati sarapannya. Saya siapkan mobil lebih dahulu."
Leo mengangguk memberi persetujuan. Sebelum benar-benar pergi, Alan dapat melihat satu buah tanda keunguan yang terletak di rahang bawah dekat dagu milik tuannya.
Tuannya ini benar-benar berubah. Karena yang Alan tahu tuannya tidak pernah membiarkan wanita mana pun meninggalkan tanda di tubuhnya.
Tapi gadis ini mampu melakukannya tanpa membuat Leo marah dan melukainya.
*
Clarisa menghela nafas lega saat melihat tangan kanan Leo itu pergi dari pandangannya.
"Ada apa Jasmine? Kenapa menghela nafas seperti itu?" Clarisa tak tahu harus mengatakan apa, ia harus pintar-pintar mengolah kata agar yang di katakannya ini aman untuk segala pihak.
"Tidak ada." Ucap Clarisa, kemudian segera mengalihkan pandangannya pada makanan yang sudah ada di hadapannya.
"Katakan ada apa?" Dasar pemaksa! Apa Leo akan berhenti bertanya pada Clarisa, jika Clarisa mengatakan hal sama seperti sebelumnya?
Tidak! Sepertinya tidak.
"Kau akan tahu akibatnya jika tidak mengatakannya padaku. Aku akan membelah kepalamu dan mengeluarkan otakmu agar aku tahu isi pikiranmu."
Clarisa merinding mendengar ancaman yang Leo lontarkan, bersamaan dengan itu ia juga jengah dengan Leo.
"Baiklah, aku hanya sedikit terganggu oleh tatapan Alan."
"Dia memandangimu?"
"Iya, dengan sangat lekat."
"Kalau begitu aku akan cungkil bola matanya agar kau merasa nyaman."
"Tidak perlu sampai seperti itu dan bisakah kau berhenti mengatakan hal-hal semacam itu? Kita sedang makan, aku takut mual nanti." Bukan Clarisa jika tidak berani menjawab perkataan Leo dengan kalimat yang panjang.
Keadaan kembali hening, Leo dan Clarisa mulai menyantap makanan mereka masing-masing.
"Ngomong-ngomong Jasmine." Clarisa berhenti menyendokkan sup ke dalam mulutnya, berniat menyimak apa yang hendak Leo katakan padanya.
"Sedari tadi kita bicara, kau tidak menatapku." Kepala Clarisa bagai di hantam oleh benda keras. Sepertinya memang benar.
"Apa kau malu dengan apa yang kita lakukan tadi?"
Clarisa semakin menundukkan kepalanya semakin dalam. Itu semua hal baru bagi Clarisa. Masih sedikit asing dengan semua itu.
Agh! Clarisa ingin menyembunyikan wajahnya. Wajahnya menghangat saat mengingat perbuatannya bersama Leo tadi.
Ayah, Bunda maafkan Clarisa karena tidak bisa menjaga diri dengan baik.
"Tidak perlu malu. Saat sudah menjadi istriku. Tugasmu hanya melakukan itu."
"Tidak, aku masih memiliki balet."
"Kau yakin? Sepertinya balet bukan hal yang benar-benar kau inginkan."
Clarisa memang sedikit tidak menyukai balet, karena sebenarnya itu bukan passionnya. Clarisa melakukan balet juga karena sebuah keseharusan, keterpaksaan dan keadaan.
"Aku baik-baik saja."
"Pergelangan kaki kananmu membiru." Sontak Clarisa menjatuhkan pandangannya pada kakinya yang sudah beberapa hari ini terasa sakit.
"Jika kau memang masih ingin berlatih balet. Berlatihlah sewajarnya, tidak perlu terburu-buru menunjukkannya padaku."
Percaya diri sekali Leo!
"Jangan terlalu percaya diri. Nanti kalau kau terbang terlalu tinggi, aku takut kau jatuh." Ucap Clarisa penuh dengan nada mengejek. Jujur saja, di saat kau sedang memperjuangkan suatu hal dan orang lain mengklaim usaha itu dilakukan untuk mereka. Itu benar-benar sangat menyebalkan.
"Aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja kau terlihat seperti ingin segera menyelesaikannya, bukannya untuk kembali bermain balet." Clarisa terdiam, itu memang tidak salah. Clarisa hanya ingin segera menguasai balet secepat mungkin.
Clarisa berlatih balet juga sebenarnya sedang memperjuangkan sesuatu, selain menyembunyikan identitas aslinya.
"Oh ya, aku rasa ketakutanmu padaku sering muncul dan hilang begitu saja." Ujar Leo saat menyadari nada bicara Jasmine yang terdengar mengejeknya tadi. Lihat wajah itu, berubah menjadi pucat dengan sangat cepat.
Leo menyukai itu.
"I-itu, tergantung bagaimana kau bersikap padaku." Leo bangkit dan berdiri tepat di hadapan Jasmine. Tangan Leo mengurung tubuh Jasmine untuk tetap duduk di tempatnya.
Tubuh Clarisa bergetar dengan hebat, tangannya memegang meja dan kursi yang ada di sampingnya agar tidak terjatuh ke belakang. Padahal baru saja tadi pagi, Clarisa merasa hubungan mereka jauh lebih dekat. Namun, melihat Leo yang tengah mengintimidasinya seperti ini membuktikan bahwa itu semua salah.
"Sekarang katakan padaku, apa kau sedang takut?" Pertanyaan yang sia-sia, sangat jelas terlihat gadis di hadapan Leo ini sedang melawan rasa takutnya dengan menatap tajam Leo.
"Kalau takut, apa kau mau melepaskanku?" Leo tertawa, sembari berjalan menuju kursinya. Melanjutkan sarapan paginya yang tertunda.
Clarisa menghela nafasnya lega. Kali ini lebih memilih menutup mulutnya dari pada membuat sisi menakutkan dari Leo muncul ke permukaan. Itu berbahaya, Clarisa masih ingin hidup.
"Dengarkan aku Jasmine." Clarisa membeku, bukan namanya yang di panggil. Tapi jantungnya berdebar-debar dengan kencang. Menanti apakah yang akan Leo bicarakan padanya saat ini.
"Jika kau kabur ke ujung dunia sekalipun, kau tidak akan bisa lari dariku. Aku akan menemukanmu dan mengurungmu di rumah ini. Karena kau itu milikku."
Clarisa termenung, memikirkan maksud Leo mengatakan bahwa dirinya adalah milik Leo. Dibanding mengatakan bahwa Clarisa adalah tunangannya.
Apakah itu berarti Leo mempermainkannya dan hanya menjadikannya boneka?
Entahlah, Clarisa juga tidak ingin berharap banyak. Sadar jika posisinya saat ini tidak lebih dari... menggantikan.