29 "Woi!"

"Tadi malam aku kerumah mu, tapi kenapa kau tak ada... Kau kemana, Nath?" tanya Bian pada Nathan. Langkahnya yang pendek harus sedikit dipercepat untuk mengimbangi Nathan yang bahkan hanya berjalan begitu santai dengan kedua lengannya di kantong celana. Mereka berjalan tak hanya berdua, seperti biasa ada Marco, Sandy, Randy, dan Milo yang mengikuti dari belakang.

Pria dengan tampilan culun seperti Milo tak serta merta dapat bergabung di antara pria pentolan sekolah itu. Seperti yang sudah jelas terlihat, ia terseret oleh perkumpulan itu hanya untuk dijadikan bahan ledekan dan seorang pesuruh. Karena sikapnya yang begitu penakut dan sama sekali tak ada sedikit dorongan dari pihak lain, ia hanya bisa kembali dan kembali pada kesialan yang sama.

Ya... Milo, pria dengan kehati-hatian serta matanya yang secara spontan meliar itu pun masih tak bisa lepas dari pandangan Sandy yang begitu teliti padanya. Milo hanya selalu berakhir di rangkulan Sandy yang terasa begitu menyeramkan. Sedangkan Randy dan Marco tetap diam dan mendengar sebagai pengamat.

"Pergi, kemarin ada urusan," jawab Nathan singkat. Pandangannya bahkan sama sekali tak beralih ke Bian yang susah payah mendongakkan kepala dan konsentrasi untuk bisa mengimbangi langkah pria di sisinya itu.

"Oh, urusan apa?" tambah Bian yang masih belum menemukan kejelasan. Mereka saat ini sedang berjalan melewati koridor menuju kelas mereka. Pandangan kagum serta pekikan girang tak luput mengiringi setiap jengkal langkah.

"Ada sesuatu," jawaban Nathan yang jelas tak memiliki arti untuk bisa dipahami itu membuat Bian menyerah. Mengerucutkan bibir sesaat dan beralih fokus ke cara lain untuk sedikit menarik perhatian Nathan. Ia merogoh tas ringan yang di sampirkan di bahu kirinya itu. Menyahut satu-satunya barang yang ada di dalam tasnya, sebuah kotak makanan plastik berwarna hitam. Bian pun dengan cepat mengansurkannya kearah Nathan.

"Ah lupakan, pasti kau belum sarapan seperti biasanya. Nih, aku buatkan sandwich untukmu!" ucapan ceria Bian seketika tertelan diujung lidah. Kotak makanan itu hanya disenggol secara tak sengaja oleh Nathan yang sedang berjalan cepat mengejar perhatiannya. Melihat hal itu, secara otomatis Bian mengangkat pandangan dengan wajah langsung kaku, dia lagi?!

"Woi!" panggil Nathan ke arah sosok remaja pria lain yang berjalan membelakanginya. Sontak hal itu mengundang perhatian berbeda-beda dari mereka yang memperhatikan interaksi keduanya. Dan sudah ditebak, Bian sudah menampilkan wajah redup dan siap menerkam siapa pun.

"Kau memanggilku?" jawab remaja yang ditepuk belakang bahunya oleh Nathan, itu Devan.

"Jangan belagak tak ada urusan denganku!" ketus Nathan dengan mempertahankan wajah datarnya.

"Ada apa?" tanya Devan meredam rasa kesal. Ia tak suka sikap dasar Nathan yang selalu ingin membuat suasana seram disekitarnya. Jari Devan pun tanpa sadar memutar bulpoin yang baru saja dibeli dari koperasi sekolah.

"Kau melupakan sesuatu," balas Nathan singkat. Kedua lengannya pun terlipat didepan dada memperjelas kedudukan tingginya.

"Oh ya, maaf! Hoodie mu tertinggal di kelas, nanti aku antar ke kelas mu, ya?" jawab Devan setelah mengingat-ingat beberapa saat.

"Hei, serius! Jangan lupakan kalau kau masih berhutang budi padaku!" timpal Nathan dengan langkah yang semakin mendekat. Tindakan itu pun mendapat respon cepat dari Devan yang langsung mundur beberapa langkah menjauh.

"Oh ayolah Nath, apa kau masih ingin melanjutkan kekonyolan itu?"

"Kau pikir? Kalau kau ingin tau, kebaikan ku itu berharga mahal. Menampung mu di rumahku, menghabiskan persediaan bahan masakan, mengantar mu pergi ke sekolah dan pulang setelahnya. Kau pikir itu tak layak diberi balasan?" desak Nathan dengan nada suara pelan namun begitu menekan di setiap ucapan.

"Oke-oke, aku menyerah... Silahkan perbuat apa yang kau ingin karena aku sungguh-sungguh masih berharap akan terus disini sampai lulus," balas Devan setelah melihat tatapan Nathan yang jelas mendesak. Ia tak bisa berbuat banyak, kan? Lagipula Nathan telah banyak menolongnya akhir-akhir ini, menyenangkan pria itu juga tak terlalu memberatkan meski sedikit menguji emosi.

"Bagus. Sekarang ikut aku!"

Nathan menarik lengan Devan secara tiba-tiba. Reaksi sekitar pun langsung berubah terkejut sama seperti Devan. Anak baru yang merupakan murid emas kebanyakan guru menjadi target Nathan? Itu adalah pikiran dari kebanyakan murid.

"Hei, kau mau membawaku kemana, Nath! Sebentar lagi jam masuk!" protes Devan berusaha melepaskan cengkraman Nathan dengan cara meronta. Kakinya mau tidak mau ikut bergerak mengikuti seretan Nathan.

"Diam, tutup mulutmu dan percepat langkah kaki pendek mu itu!" putus Nathan dengan terus melangkah meninggalkan kerumunan yang mulai menjadikan mereka berdua tontonan.

"Sial!" umpat Bian setelah melihat pertunjukan jelas didepan matanya. Kotak makanan yang berisi makanan hasil karyanya itu pun dihempaskan Bian dengan kasar, isinya pun menjadi berhamburan mengotori lantai. Murid lain tak berani menegur, mereka malah melangkah kaki dengan sepelan mungkin untuk menjauh, berurusan dengan marahnya Bian itu bahaya.

"Bi...! Kenapa kau buang, itu kan bisa kau berikan padaku."

Perkataan Sandy yang masih terdengar jelas ditelinga Bian sama sekali tak mengalihkan pria cantik itu. Bian masih sibuk dengan rumitnya anggapan dikepala disertai kepulan asap akibat darahnya yang mendidih panas. Nathan terlihat sudah mengabaikan dirinya sebagai kawan dan fokus pada mainan barunya, Bian tak suka.

"Devan. Namanya Devan, kan?" geram Bian dengan gertakan gigi mengingat wajah Devan yang sebenarnya sama sekali tak sebanding dengannya. Menjalankan misinya waktu itu rupanya diperlukan kelanjutan. Ya, Tunggu saja rencana lanjutan darinya! Bian tak kapok meski Nathan akan menggertaknya seperti waktu itu.

Mengubah pandangan dengan tatapan tajam serta seringainya, Bian pun melanjutkan langkah setelah melempar tas miliknya kearah Milo yang terlihat kaget dan menangkap lemparan itu dengan kelimpungan.

"Ada apa dengannya?" tanya Sandy dengan kepala yang otomatis sedikit miring. Pandangannya pun menyipit seiring dengan jauhnya pandangan menatap Bian.

"Entahlah, kurasa emosinya sedang tak stabil. Kalian tau kalau Bian begitu posesif pada Nathan sejak dulu, kan?" balas Marco.

"Ya, itu juga yang ku pikirkan," timpal Sandy dengan pandangan sedikit ragu.

"Kau tak usah banyak berpikir, itu bukan urusan mu, San! Lagipula aku sangat merasa risih kalau harus membaui asap terbakar akibat otakmu yang sudah mengepul itu," ejek Randy dengan suara datarnya. Pria itu bahkan masih sempat menepuk bahu sebelum pergi menjauh dari posisinya.

"Sial, dia terdengar seperti mengejekku, Co!" adu Sandy dengan wajah yang sudah kesal.

"Aku juga dengan berat hati harus mengatakan ini. Ibarat kata kita sudah berlayar dengan perahu berhari-hari, tapi kau... kau bahkan baru bangun tidur. Pikirkan perkataan ku, sobat!" tambah Marco seraya mengikuti jejak Randy sebelumnya.

"Mereka sudah berlayar dengan perahu berhari-hari, sedangkan aku masih baru bangun tidur? Ibarat kata, perumpamaan... memang ada yang seperti itu, ya?" tanya Sandy pada dirinya sendiri. Bahkan ia sudah begitu tampak bodoh dengan gerakan garuk-garuk di belakang kepala. "Sial! Kenapa aku jadi berpikir hal tak penting? Kalimat seperti itu jelas sekali diragukan kebenarannya jika Marco bodoh itu yang bicara."

"Hihihii..."

"Woi, cupu! Apa yang sedang kau tertawakan?" marah Sandy setelah mendengar bunyi tawa pelan di sebelahnya. Pria cupu itu jelas menertawakannya, kan?

"Tidak, San... A-aku tidak menertawaimu," sanggah Milo yang seketika langsung membekap mulutnya rapat-rapat. Langkahnya pun perlahan-lahan mundur hingga Sandy berhasil bergerak lebih cepat dengan memiting kepala Milo.

"Kau pikir aku buta dan tuli, apa? Sini, kau minta diberi pelajaran, kan!"

"Ampun San!"

avataravatar
Next chapter