34 "Lebih tidak peduli."

Tak seperti bayangan Devan yang berpikir buruk tentang Mike, nyatanya pria bertatto itu sudah berubah banyak. Ia tak pernah lagi berbuat nakal dengan menjelajah banyak wanita. Entah disadari atau tidak, fokusnya malah selalu tertuju pada remaja mungil yang baru-baru ini mengisi harinya.

Mikhael Kjaernett, lahir dari keluarga konglomerat yang bermasalah seperti kebanyakan kisah, ia tidak bahagia. Sifatnya yang terlahir sebagai pembangkang seketika meledak saat seseorang berusaha mengendalikannya. Hubungan orangtua yang berawal kisruh sampai membawa Mike menjadi liar. Sosok mama telah tiada, dan dengan kepanasan hati ia menyalahkan pria yang sialnya telah menyumbangkan sperma untuk pembentukannya. Pria tua itu terlalu berambisi dengan harta sampai sang mama yang tengah menderita kesakitan tak pernah digubris, hingga sang pemilik hidup memanggilnya kembali.

Mike memang bukan anak yang baik, ia malah terkesan cuek karena tak tau bagaimana harus mencurahkan perhatian, ia bahkan seperti tak pernah membuat mamanya tersenyum bangga padanya. Menyesal, ia sangat menyesal karena bersikap sama seperti sang papa, dingin.

Semenjak kehilangan sosok mama, Mike langsung mengemasi barang-barang miliknya dan hengkang dari rumah mewah yang terbalut sepi. Ia masih kelas sebelas SMA kala memutuskan pergi dari rumah. Peninggalan dari sang mama langsung dibuat untuk menyambung hidup dan mendirikan usaha kecil-kecilan berupa bengkel yang sekarang sudah berkembang. Hubungannya dengan pria tua itu sudah rusak saat sosok ibu yang menjadi penyambung ikatan tak lagi ada.

Dalam perjalanan hidup pahitnya, Mike akhirnya jadi sosok yang saat ini ada. Merealisasikan keinginan untuk setidaknya bisa mempedulikan orang lain, sebagai penebus. Pria yang berusaha bersikap baik terlebih untuk Devan yang kini terdekatnya.

"Pagi, boss!" sapa seorang pria dengan pakaian kotor karena pembenahan motor yang dikerjakan. Beberapa orang disekitar mereka pun nampak berbisik-bisik merasa cemas dan bersalah akibat perbuatan rekan mereka yang membuat keadaan bengkel berantakan.

Niatan Mike yang ingin menemui Benny menjadi putar arah ke bengkel miliknya. Sebuah panggilan telpon yang berbicara dengan suara panik membuat Mike langsung menyadari ada suatu kesalahan. Dan benar saja, pemandangan seperti kapal pecah ini menjadi bukti konkritnya.

"Ada kericuhan apa, pagi-pagi begini?" tanya Mike pada pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu.

"Toni dan Handis bertengkar hebat, boss!" adu seseorang itu dengan wajah menunduk takut.

"Mereka berdua? Tak biasanya," balas Mike memandang penuh keraguan. Meski begitu, langkah Mike tetap melanjutkan jalan kearah ruangannya, tempat kedua orang berseteru itu disidang.

"Apa yang terjadi!" tanya Mike dengan suara tegas mendesak. Ia menatap kedua orang yang duduk dengan begitu tegang dan wajah yang sangat merah, sedangkan hanya Toni yang terlihat babak belur. Mike lantas berdiri dari duduknya dan berjalan lebih dekat dengan keduanya, ia cukup geram saat pertanyaannya tak digubris.

"Jawab! Jangan sampai aku naik pitam dan akan melakukan hal yang sama sekali tak kalian duga!" tambah Mike dengan suara membentak.

"Dia berkata kalau menyukaiku!" jawaban Handis membuat Mike mengerutkan dahi, mereka sedang mengerjainya?

"Aku memang menyukaimu, memang ada yang salah?" sahut Toni lantas memandang Handis yang seolah tak sudi untuk membalas tatapannya. Darah yang masih mengalir di hidung membuat Mike berinisiatif menyabet beberapa tisue dan mengansurkannya ke Toni. Mike hanya diam memperhatikan, ini seharusnya bukan urusannya, jika saja mereka berdua tak membuat keributan di tempat miliknya.

"Kau pikir itu sesuatu yang normal hingga kau bicara lantang penuh percaya diri seperti itu?" sindir Handis dengan suara jelas menahan geram. Di ruangan itu memang hanya ada Toni, Handis, dan Mike tapi memang tak bisa dipungkiri jika pembicaraan itu terlalu tak penting untuk lebih diperjelas, menurut Handis.

"Tak ada istilah normal dan tak normal dalam cinta. Aku hanya berusaha bersikap jujur padamu, jika kau tak menerima, ya sudah! Memangnya kau bisa menghilangkan perasaanku dengan cara memukul mundur ku seperti ini?" tandas Toni yang membuat Mike semakin bingung, ia harusnya tak disini jika tau ini ternyata masalah pribadi.

"Iya, setidaknya dengan wajah lebam yang ku cetak di wajahmu itu dapat memperjelas kalau kau benar-benar ditolak!" jawab Handis.

"Sebentar, aku harus meluruskan satu hal. Secuil pun, aku tak pernah berharap untuk mendapatkan balasan terima ataupun tolakan. Aku hanya berusaha bersikap baik pada hatiku yang terus memaksa ingin diluapkan," timpal Toni yang sudah sepenuhnya mengubah arah duduk menghadap Handis dengan penuh.

"Lantas mau mu apa? Setelah kejadian ini kau berharap pertemanan kita baik-baik saja?"

Handis pun memberanikan diri menatap Toni yang menatapnya dengan dalam. Merasa bersalah, jelas! Wajah Toni sudah sangat mengerikan akibat dirinya.

"Aku tau keadaan pasti jauh berubah, tapi itu tak sebanding dengan kelegaan ku karena berucap jujur," putus Toni lantas beranjak pergi dari ruangan. Seakan istilah atasan tak berlaku, tak lama setelah itu Handis mengikuti jejak Toni dan meninggalkan Mike dengan kebingungannya.

Mike sungguh tak memahami pertunjukan kedua rekannya tadi. Ia sungguh tak menyangka kalau dua orang yang terlihat begitu dekat hingga mendapat julukan kembar siam itu akan saling berpaling dengan raut permusuhan. Cinta? Toni mencintai Handis, itu jelas kisah tak normal jika terjadi di lingkungannya sekarang. Sungguh, Mike tak pernah mempermasalahkan hal seperti itu. Mike sadar jika dirinya tak terlahir sempurna, ia tak berhak menilai orang lain.

Namun satu hal yang malah mengganjalnya sesaat tadi, jika disimpulkan secara kasar, kedekatan dari dua orang pasti selalu diawali maksud, kan? Entah hanya sekedar merasa kecocokan dalam suatu hal ataupun hal mendalam seperti cinta. Pria dan pria? Ya, tak bisa dipungkiri jika ia sangat terkejut mendengar kisah itu bahkan datang dari orang dekat.

"Nu, bagaimana awal mereka jadi seperti ini?" tanya Mike saat Ibnu memasuki ruangannya. Ibnu adalah salah satu teman terdekat dari mereka berdua, dan kemungkinan besar ia dapat membantu memecahkan akar permasalahan dari kejadian tadi, setidaknya Mike harus membuat langkah perbaikan untuk mereka berdua.

"Seperti yang boss tau, mereka sudah dekat sejak lama, bahkan sebelum kita semua kerja denganmu. Aku yang selalu berada diantara mereka sama sekali tak merasa janggal, aku hanya tau kalau mereka sudah seperti saudara. Namun belakangan ini, ku pikir Toni sudah mulai sedikit bertingkah lebih berani, aku pernah melihat mereka hampir saja berciuman. Saat itu ku pikir hanya sebuah candaan, sampai hari ini kita semua mengetahuinya," jawaban Ibnu terus terngiang diingatan Mike, bahkan saat dirinya sudah pulang kerumah. Hidangan lezat yang dimasak Devan pun di diamkannya.

"Dev, menurutmu bagaimana kita?" tanya Mike secara tiba-tiba. Ya, Mike memikirkan kata-kata Ibnu yang disadari sangat mirip dengan kondisinya terhadap Devan.

"Hah?"

"Kau tau, hari ini Toni dan Handis bertengkar hebat, kau masih ingat mereka, kan?" terang Mike memandang Devan yang sibuk menyentong nasi untuk mereka berdua.

"Ya, aku masih ingat. Kenapa mereka sampai bertengkar? Sepenglihatan ku mereka nampak baik-baik saja, bahkan terlihat sangat dekat."

"Toni menyukai Handis."

"Uhuk! A-apa kau bilang?" tandas Devan merasa ragu dengan pendengarannya. Ia lantas menaruh air putih yang baru saja di teguk.

"Ya, menyukai dalam hal percintaan. Awalnya aku juga tak menyangka, kedua orang pria yang dekat sekalipun bisa memiliki rasa seperti itu, bahkan tanpa pandang bulu," jelas Mike membuat Devan menjadi gugup. Pria itu sudah mengetahui adanya percintaan sejenis di sekitarnya, akankah ia akan mengawasinya juga? Atau lebih parah, menjaga jarak?!

"Kau tak suka dengan orang seperti itu?"

"Lebih tidak peduli," jawab Mike dengan cepat. Mike yang mulai sedikit lega karena pikiran menggangunya sudah terdiskusikan itu pun mulai menyantap makanan yang luar biasa lezat. Kunyahannya yang semangat seketika terhenti dan memandang Devan yang menjadi diam.

"Oh ya! Ku pikir kita juga begitu dekat, kau tak berpikir jika aku tertarik dengan mu, kan?"

"H-hahaa... bagaimana aku bisa memikirkan hal seperti itu, Mike!" jawab Devan dengan cepat. Remaja itu lantas melahap porsi suapan yang sedikit lebih banyak hingga membuat kedua pipinya menggembung. Devan ingin menangis, dan hanya cara itu yang bisa menyumpal isakan yang mendesak. Akhir-akhir ini Devan begitu cengeng dan menderita karena Mike, berapa banyak ia menahan sakit? Itu salah Devan sendiri, ia terlalu hanyut dengan tindakan baik Mike dan disalah artikan menjadi sangat mewah untuk hatinya!

"Oh ya, kau pulang tadi naik apa?"

"Diantar teman,"

Cukup, harus hari ini diselesaikan! Hilang, rasa tak tau diri ini harus segera ia hilangkan! Tidak untuk menit selanjutnya, itu terlalu lama, karena Mike bisa saja menjungkir balikkan hati miliknya seperti sekarang. Sial! Setelah membicarakan topik percintaan sejenis, Mike masih saja tak kapok untuk bersentuhan kulit dengannya, menghilangkan noda makanan yang mengotori sudut bibirnya, Devan harus apa?!

avataravatar
Next chapter