webnovel

Mariah Minggat

****

Sebelum memulai aktivitasnya, Dinda akan meminta Mbak Sri membuatkan secangkir kopi untuk di nikmati pagi-pagi. Dengan secangkir kopi itu, rasa bosan akan menguap seketika dengan sendirinya.

"Bunda, Kapan jalan-jalan?" tanya bocah berusia lima tahun itu.

Adam hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada roti coklat di tangannya.

"Em, kapan, ya?" Dinda tampak berpikir sejenak, "Besok bunda mau nganter Mas Adam,  Adek mau ikut?"

"Mau, Bun. Hore!" teriak Alif, membuat Adam tersenyum melihat tingkah adiknya.

Hari ini Dinda meminta Pak Dahlan untuk menjemput Umi Aisyah dan Abi Ahmad untuk berkumpul di rumahnya, acara makan-makan menjadi pilihannya saat ia belum bisa mengajak anak-anak dan keluarga jalan-jalan.

Dinda juga mengabari Helmi, tentang keinginan Adam untuk kembali ke pesantren besok pagi, namun jawaban yang ia dapat hanya sibuk dan sibuk.

'Mungkin, membahagiakan p*lakor itu lebih penting daripada membahagiakan anaknya. Padahal, dulu Adam adalah anak kesayangannya, Helmi memang keterlaluan!'

****

Canda dan tawa Abi Ahmad, mampu membuat Adam dan Alif kembali ceria. Meskipun saat ini sudah tak ada lagi sosok Ayah di antara mereka. Sedewasa itukah mereka!

"Bagaimana proses perceraianmu, Nak?" tanya Abi kemudian, sambil mendalami manik putri pertamanya.

"Sedang di proses, Abi. Pak Gani bilang butuh waktu beberapa bulan!" jawab Dinda.

Abi mengangguk, seolah paham pertanyaannya membuat putrinya sedikit mengingat hal-hal buruk dalam akhir pernikahannya.

"Besok, Adam di antar siapa ke pesantren?" sela Umi.

"Mm, aku ...."

"Mas Bram ikut mengantar Adam, Abi."

Mereka yang ada di ruangan itu serempak menoleh ke pemilik suara itu. Ya, Mbak Galuh datang bersama Bram dan kedua anaknya, Laura dan Hanif.

Dinda menyambut mantan kakak iparnya dengan perasaan senang, walau bagaimanapun hubungannya dengan Galuh sangat baik. Bahkan bagi Dinda, Galuh sudah seperti kakak kandungnya sendiri.

Laura dan Hanif menyalami tangan Dinda bergantian, lalu bergabung dengan Adam dan Alif. Kehadiran mereka membuat suasana makin tambah ramai.

"Sepertinya kita datang salah waktu. Maaf, ya, Din!" ujar Galuh. Senyum tulus menampakkan gigi gingsulnya, membuat ia terlihat tambah manis.

'Pantas saja Bram begitu menyayanginya, Galuh itu Baik, cantik, dan keibuan. Julukan sempurna ada padanya.' Dinda membatin.

"Siapa bilang salah waktu? Mumpung lagi kumpul, ayo ikut makan sekalian, Mbak, Mas!" ajak Dinda semringah.

Umi dan Abi tampak bahagia, melihat Kedekatan Galuh dan Dinda. Setidaknya, masih ada saudara yang begitu perhatian pada Adam dan Alif, selepas Helmi pergi meninggalkannya dengan menyisakan sejuta luka di hati mereka.

****

Pagi-pagi sekali Bram telah menjemput Dinda dan anak-anaknya. Ia segera menghubungi Dinda, memberitahunya kalau ia menunggu di mobil saja.

"Ayo, naik!" ucap Bram membukakan kaca mobilnya.

Sementara Dinda yang tak enak dengan kebaikan Bram, masih berdiri mematung.

"Oh, oke. Adam saja yang duduk di depan bersama Om, ya!" titah Bram kemudian, seolah mengerti dengan kegelisahan hati Dinda.

"Maaf, kita sudah merepotkan kamu, Mas!" ucap Dinda, saat ia menjatuhkan bokongnya di bangku belakang.

"Nggak apa-apa, Dinda. Mereka adalah keponakanku juga, sudah sewajarnya aku memberinya sedikit perhatian. Apalagi dulu kamu ...." Bram menggantungkan bicaranya.

"Aku ...?" Manik Dinda menyipit, memperhatikan gelagat Bram.

"Apalagi dulu kamu sahabatku!" sahut Bram lega, ia menghela napas dalam-dalam.

Perlahan, mobil yang di kendarai Bram berjalan meninggalkan kediaman Dinda. Dinda lebih banyak melamun selama perjalanan. Kecuali anak-anak dan Bram, mereka bercanda dan tertawa bersama.

"Mas, jika kamu lelah gantian saja! Biar aku yang nyetir," ucap Dinda mencoba mengusir kecanggungan.

"Tidak perlu, biar aku saja. Aku lihat kamu banyak melamun. Kenapa?" tanya Bram memberanikan diri.

"Tidak apa-apa."

"Oke, bicara saja denganku atau Galuh, kapanpun kamu mau. Aku dan Galuh sudah menganggapmu bagian dari keluarga kami, jangan sungkan!" ucap Bram, mencoba memahami Dinda.

Dinda mengangguk.

"Lihatlah anak-anakmu, mereka butuh kamu yang bahagia!" ujar Bram kembali menyemangatinya.

Senyuman tipis Dinda, membuat Bram paham. Sebanyak apapun ia menyemangatinya saat ini, tak akan mengurangi beban luka yang ia pikul sendirian. Untuk itu, Bram memutuskan berhenti bicara.

****

Wulan tampak tak berselera untuk menyantap sarapan paginya, sesekali ia akan melirik Mariah dan Helmi, yang  sedang menikmati sarapannya dengan acuh.

"Mama, kenapa?" tanya Helmi.

"Sampai kapan Mama harus menunggu, Hel?" jawab Wulan setengah menggerutu.

"Menunggu apa, Ma?"

"Cucu perempuan."

"Ma, sabarlah, semua itu butuh waktu!" sahut Helmi.

"Mama sudah tua, sampai kapan Mama harus menunggu? Kamu sengaja mau bikin Mama mati penasaran, hah!" ujar Wulan meninggi.

BRAKK!

Mariah menggebrak meja makan dengan cukup keras. Wulan dan Helmi tak percaya dengan apa yang di lakukan Mariah.

"Ma, bikin anak itu bukan pakai terigu! Tidak semudah yang Mama bilang, butuh proses dan butuh waktu! Tak bisakah Mama tak mengungkit itu lagi di depanku?" pekik Mariah, emosinya mulai meledak-ledak.

"Mar," panggil Helmi, mencoba untuk menenangkan istrinya.

"Apa? Mas mau membelanya? Silakan, aku capek!"

Mariah melangkah dengan cepat memasuki kamarnya, ia membanting pintu kamar dengan keras.

'Mariah, kemarin kamu berjanji akan memperbaiki sikap, tapi nyatanya kamu malah makin kasar sama Mama yang sudah tua. Seharusnya, kamu bisa memaklumi Mama!'

Helmi mengacak rambutnya dengan kasar. Rasanya, ia tak punya muka lagi di depan mamanya. Sekedar untuk meminta maafpun ia tak berani.

"Dosa apa aku ini? Hingga memiliki menantu seperti preman begitu, ngeri Mama, Hel!" lirih Wulan pada Helmi.

"Mama istirahat dulu di kamar, ya! Biar Mariah menjadi urusan Helmi. Ampuni Helmi, Ma!" ucap Helmi. Ia merasa sangat bersalah.

****

Ketika masuk kamar Helmi terkejut saat melihat Mariah sedang memasukan baju-bajunya ke dalam koper besar.

"Sayang, kamu mau kemana?"

"Kemana saja, asal aku tidak seatap dengan mamamu yang hobinya meminta cucu!" jawab Mariah ketus.

"Maklumi saja, Mama sudah tua pikirannya sudah kembali menjadi anak-anak lagi." Helmi beralasan.

"Hah, Maklumi kamu bilang? Aku di perlakukan layaknya pembantu saja kamu cuma bilang aku harus memakluminya! Kamu itu benar-benar tidak adil! Heran, Mbak Dinda, kok, betah sampai lima belas tahun bertahan dengan kamu, Mas!" cerocos Mariah

"Mariah, hentikan!" teriak Helmi.

"Kenapa? Kamu tak suka, Mas! Aku pun tak suka di perlakukan semena-mena sama mamamu!" Suara Mariah tak kalah tinggi.

PLAKK!

Helmi kalap. Satu tamparan keras mendarat di wajah Mariah, ketika emosinya sudah berada di puncak, Mariah terus saja memancingnya.

"Ma-Mas, kamu tega menamparku!" lirih Mariah sambil memegang pipinya. Buliran bening jatuh dengan bebas di pipinya yang mulai memerah.

"Ma-maaf, Mariah aku tak sengaja!"

"Aku benci sama kamu, Mas!"

Mariah menutup kopernya dengan tergesa-gesa. Lalu ia berjalan keluar kamar dengan langkah kaki yang sengaja di hentak-hentakkan.

"Bilang sama aku, kamu mau kemana, Mar?"

Helmi mengejarnya, mencoba membujuk istrinya yang sedang merajuk.

"Mar, tunggu dulu. Kita bicara baik-baik, ya!" pinta Helmi, dengan wajah penuh permohonan. Ia tak mau Mariahnya pergi.

"Apa lagi? tinggallah di sini dengan mamamu, jangan pernah hubungi aku sebelum kamu membelikan rumah untukku. Agar aku bisa tenang menjalani peranku sebagai istrimu, bukan pembantu mamamu!" tandas Mariah.

"Tapi kamu mau kemana, Mar?" tanya Helmi lagi.

"Aku akan ke rumahnya Mbak Dinda saja, di sana lebih enak daripada tinggal di sini!" jawabnya acuh.

"Astaga, Mariah. Apa kamu masih punya malu dengan apa yang telah kita lakukan? Jangan pergi ke sana aku mohon, Mar!" bujuk Helmi.

Mariah berlalu tanpa mendengar ucapan suaminya.

'Seajaib itukah kamu, Mar? Kamu berubah. Apa yang akan kukatakan pada Dinda nanti, jika kamu benar-benar datang ke rumahnya?'

__________________