Mungkin aku akan benar-benar menjadi gila. Semakin lama dikurung di tempat suram ini membuatku semakin tertekan. Setiap hari diharuskan memakan berbagai macam obat-obatan, dijauhkan dari orang-orang yang aku sayang.
Kehidupanku benar-benar berubah mengerikan, suram yang sesungguhnya. Aku sering mengamuk, berteriak, memaki. Berharap mereka akan mengerti, namun yang terjadi mereka justru semakin menaikkan dosis obat-obatan yang harus aku konsumsi setiap harinya.
Ini membuatku tertekan. Membuatku benar-benar kehilangan akal sehat.
Aku tidak tahu harus bagaimana meyakinkan semua orang, tidak tahu lagi bagaimana cara memohon. Emosiku kacau dan semakin sering tidak mampu kukendalikan. Hari demi hari berlalu dan aku belum juga diperbolehkan bertemu dengan keluargaku.
Aku benar-benar telah menjadi mayat hidup sekarang. Wajah pucat, penampilan berantakan. Berada di antara para pasien gangguan jiwa, dokter, dan perawat yang tidak jauh berbeda, efek samping obat-obatan yang memuakkan, ini membuatku tidak tahan.
Aku ingin mengakhiri ini, aku ingin keluar dari tempat ini. Aku ingin kembali menjalani kehidupan normalku.
Aku benar-benar tidak tahan…
"Benar. Pada akhirnya aku enggak akan bisa lari dari takdir ini," aku berkata pelan.
Aku duduk di atas ranjangku yang menghadap ke jendela. Lantai 3. Saat memandang keluar, entah sudah berapa kali terpikirkan untuk melompat. Mengakhiri semuanya.
Seandainya sekali saja jendelanya terbuka, atau tidak ada jerujinya, mungkin aku sudah melakukannya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika melompat dari lantai tiga. Mati? Cacat? Tapi pikiranku sering kali menggoda.
"Seperti itulah takdir. Meski tahu, kamu tetap tidak mampu menghindarinya," sahut sebuah suara.
Aku memang tidak sedang seorang diri di tempatku. Bakal Manusia yang bergentayangan di tempat ini, menjadi satu-satunya teman yang bisa kuajak bicara.
Bagaimana bisa mereka menyebutku gila hanya karena aku bisa melihat Bakal Manusia dan mereka tidak. Jika setiap manusia bisa melihat apa yang tidak seharusnya bisa mereka lihat, lalu bagaimana bisa sesuatu yang di sebut gaib itu ada.
Eis, wanita, berambut pendek. Bakal Manusia yang sudah tinggal selama setengah petualangan hidupnya di pusat rehabilitasi gangguan jiwa. Eis tampak dan membaur. Menjadi perawat yang semua orang tahu saat ini paling dekat denganku.
Ketika aku bertanya kenapa Eis memilih menghabiskan waktu 40 harinya –berbeda dengan perhitungan manusia– di tempat seperti ini, dia menjawab sambil menatapku dengan tatapan kosong.
"Aku berpikir tentang batas. Mereka yang berada di sini adalah yang tidak bisa mengendalikan batas emosionalnya. Setelah keluar dari batasan emosionalnya, lambat laun merekapun kehilangan emosinya dan hidup sendiri dengan dunia yang mereka inginkan. Dunia yang sebenarnya tidak ada."
Eis menghela nafas. Panjang. Eis bahkan terdiam cukup lama sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Di tempat ini aku bisa melihat semua orang dengan masa lalu yang berbeda. Mereka yang seharusnya bisa bertahan karena tidak sendiri namun memilih untuk menyerah. Mereka yang merasa sendiri, mereka yang memilih berhenti berjuang dengan mudahnya. Aku menertawakan hal itu.
Saat sadar, bukankah aku akan menjadi bagian dari generasi itu nantinya. Aku merasa bodoh. Tapi… jika aku tidak memilih menjadi bagian dari mereka, artinya aku yang saat ini adalah generasi yang sama. Bagian yang berhenti berjuang dan menyerah bahkan sebelum memutuskan untuk bertarung."
Kalimat dari Eis terus mengiang di telingaku. Aku tidak tahu saat itu Eis sedang melakukan perannya sebagai perawat yang sedang melakukan terapi padaku, atau berbicara sebagai Bakal Manusia dengan segala hal yang dilihatnya. Tapi kata-katanya membuatku terus berpikir.
"Tahu kalimat apa yang paling sering kudengar dari mereka?" Eis bertanya dan aku menggeleng. "'Kalau nggak tahu masalah orang mending diam saja' dengan wajah marah dan merasa direndahkan. Padahal manusia mana yang tidak punya masalah. Tapi golongan mereka berpikir bahwa mereka adalah orang yang paling menderita."
Eis tersenyum. Benar-benar tersenyum. Berbeda dengan senyum yang kulihat pada Jun.
Seorang perawat yang lain datang. "Salwa, bagaimana harimu?"
Eis menyapa, sementara aku hanya menjawab pertanyaannya dengan senyum kecut.
"Hadiah dari kami karena Salwa beberapa hari ini sudah berperilaku baik, ada kunjungan pertama untukmu," lanjutnya.
"Siapa?" Aku bertanya memburu.
Akhirnya. Ini hari pertamaku diizinkan menerima kunjungan.
"Dian, sahabatmu."
"Kenapa bukan keluargaku? Ayah, Ibu atau adikku," tanyaku tidak bersemangat seperti sebelumnya.
"Itu akan jadi hadiah selanjutnya jika tetap berperilaku baik," jawab si perawat dengan suara yang terdengar manis.
Dian sedang menungguku di taman rumah sakit. Aku tidak berpikir ingin bertemu dengannya setelah apa yang Dian lakukan padaku.
Sebenarnya aku juga marah pada keluargaku. Pada Ayah, Ibu, juga Daffa yang selalu berpihak pada Dian. Dengan semua yang aku katakan pada mereka, mereka tetap tidak mempercayaiku, tetap memasukkanku ke tempat yang justru menjadi neraka bagiku.
Tapi aku tahu mereka juga menderita melihatku seperti ini. Mengetahui mereka menderita juga membuatku sedih. Entahlah.
"Hai, bagaimana kabarmu?" Dian bertanya akrab sama seperti biasa. Tidak merasa kaku sedikitpun setelah apa yang dia lakukan padaku.
Aku mengangkat bahuku tak acuh. "Enggak ingin bertahan tapi aku harus bertahan. Memakan obat-obatan yang aku benci setiap hari. Merasa muak tapi harus tetap menjadi anak baik."
Dian diam, tidak langsung menanggapi. Kali ini sepertinya dia merasa bersalah mengetahui betapa tertekannya aku di tempat ini.
Merasa bersalah adalah hal yang benar. Dengan begitu Dian akan berpikir untuk mengeluarkanku secepatnya.
"Aku enggak akan meminta maaf lagi." Dian berkata yakin. "Aku enggak akan melakukannya karena aku tahu ini yang terbaik untukmu. Kamu aman di tempat ini dan akan segera sembuh."
"Apa?!" Aku terkejut mendengar apa yang baru saja Dian katakan.
Aku tahu beberapa saat lalu Dian merasa bersalah padaku. Dian hanya menunduk, seakan tidak berani menatapku. Tapi kali ini Dian menunjukkan sikap arogannya secara terang-terangan.
Apa yang sebenarnya ingin Dian tunjukkan. Dia yang seutuhnya benar dan aku bagian yang sepenuhnya salah?
Aku menghela nafas tidak percaya. Aku berdiri hendak meninggalkannya namun Dian menahanku.
"Aku datang kesini enggak untuk berdebat, merasa benar, atau menyalahkanmu. Aku datang ke sini sebagai teman."
"Teman?" Aku terkekeh.
"Aku benar-benar datang sebagai teman." Dian menyodorkan buku yang baru saja dia keluarkan dari ranselnya.
Buku itu tidak asing karena aku mengenalnya dengan jelas. Kertas berjilid yang sebelumnya Dian berikan padaku. Buku terakhir yang kubaca sebelum aku berakhir di rumah sakit, kemudian dikirim ke tempat ini.
"Untuk apa?" tanyaku waspada.
Aku tidak tahu apa yang mengancam, hanya saja aku merasa perlu mewaspadai sesuatu.
"Aku senang kamu membaca buku ini kemudian meneleponku. Itu artinya kamu mempercayaiku sebagai teman meski…"
"Dan karena itu aku hampir mati dan akhirnya berakhir di sini." Aku memotong kalimat Dian dan berusaha mematahkan kepercayaan dirinya.
"Baiklah." Dian berusaha mengalah, tidak ingin berdebatan. "Ayo kita bahas isi buku ini, oke?"
"Apa gunanya? Toh apa yang akan aku katakan enggak ada seorang pun yang akan percaya." Aku masih menanggapi dengan sinis.
Aku benar-benar telah kehilangan diriku sendiri. Aku tidak tahu apa atau siapa yang harus kupercaya. Dian selalu membantuku dan datang tepat waktu. Dian teman yang baik dan kepribadiannya menyenangkan. Tapi...
"Aku enggak akan mendebatmu." Dian mengalah lagi. "Suka atau enggak aku akan memulai. Aku akan mempercayai semua ceritamu, tapi bukan berarti aku menganggapnya benar." Dian membuka buku yang dibawanya. "Kita mulai dari yang paling segar diingatanmu, oke?"
Aku bisa membaca dengan baik ketulusan Dian. Tapi jika semua hal tentang Dian adalah benar, berarti aku yang salah.
Tidak!
Aku tidak salah, aku tidak sakit. Semua yang aku alami nyata. Semua yang aku lihat ada. Bakal Manusia bukan sekadar imajinasiku. Entahlah. Dian mungkin sedikit salah mengartikan tentang satu hal. Ini pasti hanya kesalah pahaman.
Baiklah, jika aku mengikuti keinginannya, aku akan tahu dimana letak kesalahannya. Aku akan membenarkannya dan meyakinkan bahwa bukan aku yang salah.
"Ini tentang kecelakaan di halte di awal aku pergi mengajar. Aku tahu dia bercerita tentang anak kecil di depanku..."
"Siapa?"
"Akai."
"Siapa Akai?"
"Bakal manusia. Dia jenis yang terlihat dan membaur seperti Yusuf."
"Aku tahu Yusuf. Kemudian?"
"Meski aku tahu siapa dan kenapa dia bercerita seperti itu, aku hanya mendengarkannya saja. Aku tahu akan ada hal buruk yang terjadi, tapi enggak ada yang kulakukan."
"Kenapa e..."
"Dia berkata 'hatinya memberi isyarat, tapi dia angkuh dengan sikap acuhnya'. Mungkin seseorang yang sebenarnya dimaksud adalah aku. Aku yang telah membiarkan anak berumur 6 tahun menyeberang sendiri dan tertabrak. Sikap acuhku yang membunuhnya." Aku tidak membiarkan Dian memotong ceritaku sampai aku menyempurnakannya.
Aku menatap Dian. Membiarkannya melakukan penilaian. Dari ceritaku Dian pasti bisa melihat diriku lebih jelas. Aku yang sebenarnya, bukan hanya yang tampak di matanya. Aku dengan segala hal yang kusembunyikan di sudut hatiku.
Cukup lama Dian menatapku sebelum membuat penilaian. Tatapannya terlihat sedih. Aku tidak bisa membaca apa yang sedang Dian pikirkan. Matanya mengatakan hal yang lebih dalam lagi. Sesuatu yang tidak bisa kulihat.
"Coba pikirkan..." Dian mulai menanggapi "Bisa mengerti sebelum diucapkan, bisa tahu sebelum sesuatu terjadi... bukankah itu... aneh." Dian menyelesaikan kalimatnya dengan hati-hati. Terutama pada pengucapan kata 'aneh'.
Aku mengerutkan kening. Mungkin karena dari awal apa yang ada dipikiranku dan Dian memang sudah berbeda. Jadi apapun yang aku katakan atau Dian utarakan tentang segala hal yang dia pikirkan, tidak begitu berpengaruh bagi masing-masing kami.
Entah kami terlalu bersikeras dengan apa yang kami anggap benar atau hanya karena keegoisan untuk menang.
"Ceritakan yang lain," pinta Dian saat aku tidak kunjung memberi tanggapan.
"Jun, seorang bakal pernah mengatakan padaku bahwa manusia selalu mempercayai apa yang mereka ingin, karena mereka berharap. 'Semoga kali ini berubah', 'semoga ini lebih baik'. Mereka menyebut itu kesempatan. Aku mengerti. Entah kenapa aku sangat mengerti seperti apa perasaan Jun. Itulah sebabnya aku sangat nyaman berada di antara 'mereka'. Jun berkata lagi 'Seharusnya..."
"Seharusnya dia bisa membedakan antara harapan dan fatamorgana," Dian melanjutkan kalimat yang seharusnya menjadi dialog Jun.
Heran, aku lebih terkejut. Bagaimana Dian bisa dengan lancar melanjutkan kalimat Jun seolah sedang membaca naskah.
"Kalimat itu tertulis di Blogmu." Dian menjawab tanda tanya yang mulai mengambil alih keingintahuanku.
Dian memperlihatkan dengan jelas di bagian mana kalimat yang baru dia ucapkan tertulis. Bukti yang dibawanya kini menyudutkanku.
Aku tidak mampu berkomentar.
Meski seperti itu, aku masih tetap tidak menyerah. Aku berusaha membuktikan pada Dian bahwa aku yang benar dan dialah yang salah. Aku menceritakan beberapa cerita tentang kejadian-kejadian lain yang kualami. Termasuk kasus terakhir yang hampir saja membuatku dan Dian terbunuh.
Namun seberapa kerasnya aku mencoba meyakinkan Dian, Dian selalu berhasil menepis cerita-ceritaku dengan penilaiannya yang rasional. Semakin aku mengelak, semakin Dian memojokkanku dengan penilai-penilaiannya, memaksaku berpikir menggunakan akal sehat.
Aku memang tidak akan bisa menang jika menungganakan logika. Bagaimana bisa jika semua yang kulalui adalah pengecualian. Salah satu dari banyak hal di luar kebiasaan.
Seberapapun dipaksakan, aku hanya akan tersudut. Pada akhirnya cerita-ceritaku akan terburai.
Ini terlalu rumit. Ini bukan seperti memilih dua orang yang ada di depan mata. Yang harus kupilih adalah mereka yang ada di sekitarku, atau diriku sendiri. Benar dan salah mulai terlihat abu-abu dan samar. Semakin banyak Dian bercerita, semakin bumi berputar cepat, semakin kepalaku berat. Aku mulai merasa mual.
Aku, apa yang sebenarnya terjadi denganku?
"Hentikan," aku berkata dengan nada suara rendah. Tanpa tenaga.
Aku benar-benar tidak lagi bisa melanjutkan ini. Dian mendengar permintaanku dan berhenti. Melihat ekspresi dan keningku yang mulai berkeringat, Dian menjadi tampak khawatir. Dian menanyakan keadaanku dan merasa bersalah karena membuatku terlalu memaksakan diri.
Dian memintaku beristirahat. Dian berjanji akan datang lagi besok.
*****