Pagi yang dingin. Salwa merapatkan jaket kulit yang membungkus tubuhnya sembari terus berjalan. Dimana-mana di sepanjang kakinya berpijak terlihat genangan air. Limpahan rahmat Sang Kuasa baru berhenti tumpah 10 menit yang lalu.
Mentari seperti sedang mengintip malu-malu di balik awan putih. Tidak lama lagi, setelah memutuskan berhenti malu-malu, mentari akan muncul dengan sinarnya yang hangat, lebih ke panas, bahkan tidak jarang membakar. Karena memang seperti itulah iklim negara yang berada di garis katulistiwa. Jalan-jalan yang masih memercikkan air saat kendaraan lewat akan mengering dengan cepat.
Tidak lama lagi, akan terdengar suara mengumpat gerah. Orang-orang yang sebelumnya mengigil kedinginan, mengutuk panas. Peluh akan memenuhi kening. Aroma matahari akan menguar dari tubuh orang-orang yang harus rela bekerja di luar ruangan dan membakar kulit mereka yang memang sudah gelap kecoklatan.
Salwa berdiri paling belakang di antara barisan orang-orang yang sedang menunggu untuk menyebrang. Jalan sangat padat di pagi hari, awal dimulainya segala aktifitas dan kesibukan. Beberapa telah berlari menyebrang lebih dulu, memanfaatkan kesempatan saat jalan mulai melengang. Hanya sisa beberapa yang berdiri menunggu kesempatan selanjutnya, seperti Salwa.
Di antara beberapa orang yang berbaris untuk menyeberang, ada seorang pelajar mengenakan seragam batik, rok putih yang berdiri sejajar dengan Salwa, jarak lima langkah. Di depan, berdiri seorang pria tengah baya yang sedang menelepon, dengan tangan kiri membawa gulungan koran yang dipukul-pukulkan ke kakinya. Ada juga gadis dengan tas selempang yang sedang mengenakan headphone menutupi telinganya, matanya bergantian menatap jalan raya dan novel yang ada di tangannya. Dua lagi, seorang ibu yang membawa beberapa kantong belanjaan dan mengandeng anak perempuannya.
Ah, ada seorang lagi. Anak kecil yang baru saja datang dan ikut berdiri di antara pria tengah baya dan gadis bertas selempang. Anak laki-laki berusia 6 tahun yang mengenakan baju dan celana selutut berwarna merah.
"Sebenarnya tanpa sadar, setiap saat kepekaan manusia terhadap sesamanya itu diuji." Seseorang yang sebelumnya tidak Salwa sadari keberadaannya bersuara di sisi kanannya.
"…"
Pria dengan tinggi badan dua jengkal di atas Salwa memandang ke arahnya. Ah, tidak! Yang benar memandang ke sisi kiri Salwa. Ke gadis pelajar yang mengenakan seragam batik dan rok putih. Pelajar itu menatap sesekali ke arah anak laki-laki yang berdiri di depannya.
Ketika Salwa dan pria tinggi di sampingnya tertangkap basah menatap si pelajar, ia pun balas menatap. Merasa tidak sedang melakukan sesuatu yang menarik perhatian, si pelajar menaikkan alisnya tidak mengerti.
Salwa segera mengalihkan pandangannya. Tidak ingin membuat orang lain merasa tidak nyaman.
"Awas!!!" Sebuah teriakan dari arah lain mengejutkan Salwa dan semua orang yang mendengarnya.
–Chiiiit, brak – Suara decit ban saat mengerem saling menyusul dengan suara sesuatu menabrak kap. Nafas-nafas tertahan untuk sesaat, waktu bergerak begitu cepat. Sebelum menyadari apa yang tengah berlangsung, sesuatu yang buruk terjadi.
Salwa mengalihkan pandangannya dari kecelakaan yang terjadi di jalan. Mengerikan. Nahas. Seluruh persendiannya mendadak melemas. Salwa merasa kakinya tidak berpijak dengan benar di aspal yang datar, dadanya sesak seperti akses oksigen sedang dibatasi. Pria di sisi kanannya memegangi bahu Salwa agar tidak ambruk.
Salwa menatap mata pria itu yang tanpa ekspresi. Meski tampak ada, dan terlihat oleh semua orang, dia bukan manusia, Salwa tahu. Pasti. Pria tinggi di sampingnya adalah salah satu Bakal Manusia yang sedang membaur, yang berwujud sebagai manusia. Salwa berusaha menguasai dirinya, menguatkan kembali pijakannya dan berdiri dengan kakinya sendiri.
"Remaja berbaju batik tadi sadar anak itu akan ikut menyeberang. Meski tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tahu sangat berbahaya bagi seorang anak menyeberang sendiri jika dua orang di sisi anak itu tidak menyadari keberadaan anak itu. Hatinya memberi isyarat, tapi dia angkuh dengan sikap tak acuhnya."
Bakal Manusia itu berkata di tengah riuh kepanikan yang merayapi jalan. Suaranya yang meski bercampur dengan pekikan di sana-sini, pembicaraan-pembicaraan yang campur aduk, namun masih tetap mampu ditangkap indra pendengaran Salwa dengan jelas. Bahkan saat menarik nafas, helaannya terasa masuk ke telinganya seperti tiupan angin.
Anak laki-laki yang berusia 6 tahun itu tertabrak truk. Tubuhnya terpental cukup jauh. Aroma darah menyerebak. Warna merah yang senada dengan warna pakainnya mengalir tanpa henti, bercampur, menjadi satu dengan air hujan yang sisa-sisanya masih menggenang.
Sebelumnya anak berusia 6 tahun itu berlari tiba-tiba untuk menyeberang karena mengikuti gadis bertas selempang. Gadis bertas selempang selamat sebab berlari terlebih dahulu, tapi tidak dengan si anak yang terlambat setengah menit. Roh telah meninggalkan jasadnya yang rusak. Seketika itu juga.
"Meski murni kecelakaan, meski tidak ada yang tahu, tapi dia… dengan sikap tak acuhnya telah membunuh seorang anak berusia 6 tahun." Bakal manusia itu berkata lagi.
Salwa tidak terima. Dia terlihat hendak beradu argumen. Mengatakan penilaiannya.
"Membunuh tidak harus dengan kekerasan dan senjata berbahaya. Kata-kata, sikap tak acuh, kebodohan, kamu yakin tidak tahu ada korban yang jatuh karena hal-hal seperti itu?"
Seolah bisa membaca isi pikiran Salwa, Bakal Manusia itu menyela. Membuat Salwa harus menelan kembali kata-kata yang sudah ada di ujung bibirnya.
Salwa bisa menangkap ketakutan di mata gadis berseragam batik-putih itu. Kakinya gemetar, bahkan seluruh tubuhnya juga. Gadis itu berusaha menguasai dirinya. Setelah berhasil, kemudian pergi menjauh ke arah lain. Sesekali masih menoleh ke belakang. Entah untuk memastikan tidak ada satu orang pun yang menyadarinya atau berasal dari sisa-sisa penyesalan hati nuraninya.
*****
Salwa masuk kelas di jam pertama pagi ini. Untungnya Salwa berangkat lebih pagi dari biasanya, jika tidak mungkin saja dia akan kehilangan jam mengajarnya. Jalan menjadi macet parah setelah kecelakaan.
Berita mengenai kecelakan yang terjadi pagi itu telah menyebar begitu Salwa sampai di sekolah. Dari mulut ke mulut, dari liputan di televisi, dan dari media sosial. Semua guru membahas dan merasa prihatin. Beberapa guru juga bertanya pada Salwa. Dia hanya mengangguk dan menjawab seadanya tanpa keinginan untuk terlibat dalam pembicaraan lebih jauh. Jika mereka tahu Salwa ada di tempat kejadian saat kecelakaan terjadi, akan ada banyak pertanyaan yang diajukan padanya. Jadi, sebisa mungkin Salwa tidak mengatakan hal-hal yang tidak perlu.
Bel tanda masuk kelas berbunyi. Segera saja Salwa menyiapkan alat mengajarnya dan meninggalkan ruang guru.
"Guru baru itu aneh sekali."
Seseorang berkata tentangnya dengan nada berbisik ketika Salwa berada di depan pintu. Salwa mengenal suaranya meski tidak yakin siapa namanya.
Seorang guru wanita yang mengajar mata pelajaran matematika di kelas VIII. Lima tahun lebih tua dariku, bermata sipit, telah menikah, dan mempunyai seorang anak laki-laki berumur 4 tahun yang sering diajak ke sekolah saat tidak ada yang menjaga di rumah. Salwa bisa mengingat semua itu dengan baik. Kecuali namanya.
Salwa sedang menuliskan dialog Bahasa Inggris untuk mengenalkan berbagai macam kata benda ( noun ). Baru saja menulis beberapa kata, spidol yang digunakan terlepas dari tangannya dan jatuh. Spidol hitam yang digunakan menggelinding ke bawah meja seorang anak yang duduk paling depan. Salwa mengalihkan pandangannya.
Gemetar, tangan kanannya gemetar. Kecelakan pagi benar-benar mempengaruhinya, membuatnya terkejut.
"Ibu kenapa?" Seorang siswi perempuan yang mengenakan kerudung memberikan spidol yang jatuh sembari bertanya.
Salwa hanya menggeleng kemudian menyuruhnya menggantikan tugas menyelesaikan tulisan di papan. Salwa memberikan buku panduan miliknya dan memberi beberapa tambahan instruksi.
Salwa menatap seluruh kelas yang meski tidak begitu tenang namun semua anak menulis apa yang dikomandokan pada mereka. Pandangannya kemudian terhenti di sudut paling belakang dekat jendela. Sosok Bakal Manusia muncul. Zeis.
Pandangan Salwa dan Zeis bertemu. Seorang anak laki-laki duduk di kursi tepat di depan Zeis berdiri. Anak laki-laki yang terlihat biasa. Sama seperti teman-temannya yang lain anak itu juga sedang menulis. Sadar sedang diperhatikan, anak itu mengangkat pandangannya dan tersenyum penuh hormat ke arah Salwa.
Salwa kembali ke mejanya dan memeriksa buku absen.
Bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat akan membuat seseorang menjadi berbeda. Merasa atau tidak memang berbeda. Hal seperti itu seharusnya terasa mengganggu. Perasaan berbeda, melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain. Namun Salwa justru merasa sangat akrab. Salwa merasa menemukan dunia yang sebelumnya dia merasa benar-benar asing di dalamnya. Tanpa ada apapun yang dikenali kecuali keluarganya.
Melihat hal-hal yang buruk terus menerus mugkin akan membuat gila. Tapi, sesuatu yang kosong dalam diri Salwa seolah mulai terisi. Manusia seharusnya belajar dari setiap hal yang mereka lihat, rasakan, dan dengar. Tidak melulu harus mengalaminya lebih dulu, terpuruk, menyesal, baru kemudian sadar. Karena pengalaman pahit seseorang, nyatanya adalah pelajaran terbaik bagi seseorang yang lain.
"Amir. Aku merasa menyukainya karena tadi dia tersenyum padaku." Salwa berbicara mengenai anak murid di kelasnya.
Jam istirahat. Seperti biasa Salwa selalu menghilang untuk menemukan tempat menyendiri. Salwa sering mengungsi di belakang musala sekolah. Rumput-rumputnya yang meninggi membuat tidak seorang pun akan memilih menghabiskan waktu di tempat itu. Tapi Salwa menyukainya.
Hijau rerumputan yang menari anggun mengikuti semilir hembusan angin, langit biru dengan gundukan awan putih yang berarak, semua memberi kesan damai, tenang. Terpaan sinar mentarinya juga hangat, tempat yang teduh dan tidak membakar. Apa lagi yang dibutuhkan untuk tempat persembunyian selain ketenangan dan kenyamanan.
"Jun. Aku melihatnya beberapa hari lalu. Tapi beberapa hari ini, enggak lagi pernah muncul di depanku," Salwa berkata lagi.
"Bagaimana dengan Aaron?" Zeis bertanya namun dengan tatapan mata jauh. Apa yang ada di pikirannya?
Mata. Meski Jun berkata ciri khas Bakal Manusia adalah tidak memiliki aroma tubuh, namun Salwa bisa mengenali mereka hanya dengan melihat matanya. Mereka juga memiliki wajah rupawan, dan penampilan yang nyaris sempurna, namun tidak memiliki aura yang bisa membuat manusia memiliki perasaan tertarik yang lebih terhadap mereka. Sesuatu yang akan membuat para gadis harus berbisik-bisik atau para lelaki bersiul ketika merasa tergoda.
Mereka yang tampak, memang ada, terlihat. Namun tidak seperti benar-benar ada.
"Ingin. Meski sangat ingin tetap saja enggak bisa melihatnya." Salwa menanggapi.
"Jun… batas waktunya akan segera berakhir. Karena itu dia selalu berada di sekitar wanita itu." Jelas Zeis.
Jun? Wanita itu? Ternyata begitu. Pantas saja. Sebelumnya Salwa tidak menyadarinya karena tidak benar-benar mengerti bagaimana Bakal Manusia ada, bagaimana mereka berpikir, dan dengan cara apa mereka dipilih untuk di tempatkan. Mereka adalah mahkluk maha rumit dibanding apapun yang ada di Bumi ini. Nalar siapa yang bisa mengukurnya. Logika mana yang bisa mengerti misterinya.
Jam mengajar telah berakhir. Sepulang dari sekolah Salwa tahu harus kemana sebelum memilih kembali ke rumah. Wanita itu? Salwa pasti bisa menemukan Jun jika melihat wanita itu. Salwa ingin memastikam sesuatu.
"Ibu guru?" Seorang menyapa Salwa. Salah satu anak murid yang diajar hari ini. Amir. "Ibu tinggal daerah ini?" tanyanya dengan antusias.
Anak laki-laki yang manis, menyenangkan, dan ramah. Yang selalu bisa menarik perhatian siapapun.
"Bukan. Ibu sedang ada perlu," jawab Salwa menunjuk sebuah gang yang sudah pernah dimasuki sebelumnya ketika mengikuti seorang Bakal.
Saat itu Salwa tidak sengaja melihat wanita itu. Pasien Jun. Jadi Salwa pikir mungkin saja daerah sekitar tempat itu adalah daerah tempatnya tinggal, dan bisa melihatnya jika ke tempat itu lagi.
"Kalau begitu saya duluan, Bu." Amir pamit dengan sopan.
Amir berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan Salwa. Sebelum berbalik, Salwa melihat ada seorang pria yang mengenakan tudung yang menutupi kepala dan setengah wajahnya. Pria itu menatap lurus ke arah Amir yang bergerak semakin jauh. Pria aneh itu terus mengamatinya. Baru berhenti ketika sadar Salwa melihat keberadaannya yang memang bersembunyi di balik sebuah pohon rindang yang tidak terlalu besar.
Pria bertudung itu memandang ke arah Salwa sesaat sebelum akhirnya pergi. Mungkin sedang berusaha mengingat wajah Salwa.
Matanya. Salwa melihat bagaimana pria itu menatap ke arahnya. Bagaimana tatapannya saat memperhatikan Amir. Salwa merasa hal itu bukan sesuatu yang baik. Sebuah pertandakah?
"Apa ini? Kenapa aku jadi begitu sensitif?" Salwa bergumam.
"Sedang apa disini?"
"Jun!"
Jun akhirnya menampakan dirinya. Tiba-tiba. Setiap dari 'mereka' memang selalu muncul tiba-tiba. Mungkin seperti itulah tata krama yang berlaku di antara sesamanya. Tiba-tiba, dan selalu memberi kejutan.
"Aku… mendengar sesuatu dari Zeis tentang batas waktumu," Salwa berkata ragu.
"Kamu menghawatirkanku?!" Jun bertanya. Terdengar terkejut.
Jun berjalan lebih dulu memasuki gang yang memang menjadi tujuan Salwa sejak awal. Salwa mengangkat bahunya sebagai jawaban pertanyaan Jun. Salwa hanya ingin memastikan. Apa salahnya.
Salwa dan Jun memasuki dua gang lagi dari gang besar di depan jalan. Rumah-rumah yang berdiri di dalam gang itu tidak begitu padat sehingga tidak menempel rapat antara satu hunian dengan yang lainnya. Sarang walet adalah satu-satunya bangunan tinggi yang terlihat selain menara mesjid di kejauhan.
"Manusia selalu mempercayai apa yang mereka ingin, karena mereka berharap. 'Semoga kali ini berubah', 'semoga menjadi lebih baik'. Mereka menyebut itu kesempatan." Jun berkata setelah melihat drama yang terjadi dalam rumah kayu sederhana tidak jauh di depan mereka.
Wanita muda dalam rumah itu, adalah seorang istri yang di pukuli suaminya di depan toko kaset dan ditonton banyak orang. Sang suami datang mencarinya dan meringkuk di kakinya. Memohon maaf dengan tangis yang diisak-isakkan. Bersendu sedah dengan kalimat pilu yang dirangkai dengan apik. Semua menggambarkan penyesalan yang dibuat-buat. Bukan ketulusan yang mampu meluluhkan.
Meski tahu, namun tidak ingin mengakui. Telinga dibuat tuli, mata sengaja dibutakan sesaat. Semua demi harap, bahwa pertunjukan ini bukan hanya drama sesaat. Bahwa kesempatan yang diberikan barang kali saja mampu menggoyahkan sifat keras dan durjana yang selama ini suaminya siramkan dalam mahligai yang mereka bangun.
"Seharusnya dia bisa membedakan antara harapan dan fatamorgana." Jun berkata lagi.
Salwa menatap dua orang yang berada jauh di depannya lekat. Wanita itu mungkin merasa ada yang memperhatikannya dan memandang ke luar saat Salwa dan Jun berbalik meninggalkan mereka.
Biarlah keduanya berpuas-puas dalam fatamorgana kehidupan yang mereka ciptakan. Orang lain tidak akan yang bisa menyadarkan jika bahkan diri mereka tidak ingin sadar.
Salwa tidak tahu bagaimana keceriaan Bakal Manusia itu, tapi Salwa pernah melihatnya di awal. Ketika pertama kali bertemu Jun. Bagaiman Jun bersikap, berbicara. Bagaimana matanya berbinar, dan bagaimana Jun tertarik dengan keberadaan Salwa. Kini, Jun yang itu tidak ada lagi.
Salwa bisa memikirkan bagaimana perasaan Jun jika seorang manusia. Tapi Jun bukan manusia. Makhluk seperti mereka tidak pernah mengatakan apa yang mereka rasakan. Mereka mungkin tidak bisa tersentuh hanya dengan gerakan kecil, tapi bukan berarti tidak merasakan. Ada dum-dum yang pernah Jun sebutkan. Sesuatu yang mungkin saja bisa melompat ke luar dari dalam tubuh kosongnya.
"Apa kamu tidak ingin bertemu dengan Aaron ?"
Salwa tersenyum samar, tidak langsung menjawab pertanyaan. Pertanyaan yang sama dengan yang Zeis tanyakan. Salwa menghela nafas, "Apa sekarang kamu yang mengkhawatirkanku?" Salwa membalikkan kata-kata Jun yang sebelumnya dia katakan pada Salwa.
Jun memperlihatkan barisan giginya yang putih, bersih, rapi.
"Kenapa hari ini ada dua Bakal yang menanyakan sesamanya padaku?" Salwa terdengar seperti sedang mengeluh.
"Mengetahui bahwa Aaron tidak leluasa muncul di depanmu itu karena kamu masih berstatus sebagai pasiennya," ucap Jun.
"Memangnya kenapa? Bukankah seorang pasien hanya perlu mempercayai dokternya jika ingin sembuh," Salwa tanggapi dengan enteng.
Jika manusia tidak tahu apa-apa memang akan lebih baik.
Untuk kedua kalinya Jun memperlihatkan barisan giginya. Salwa masih tidak juga mengerti reaksi macam apa itu. Tidakkah Jun hanya perlu mengucapkannya saja jika tidak bisa berekspresi dengan baik.
"Ketidak tahuan adalah kebahagiaan." Jun seperti menampar Salwa dengan satu kalimatnya.
Jun pergi begitu saja setelah berhasil membuat hati Salwa tertohok. Jun benar-benar mengatakan arti eskpresi dari barisan gigi yang diperlihatkannya seperti yang Salwa inginkan. Membuat perasaan Salwa terganggu. Tidak tenang.
Apa artinya ?
*****