webnovel

Part 59 : Kenangan

Lelaki cantik berbaju serba biru ini menghadap ke atas menyamarkan matanya yang berkaca-kaca. Dia tampak tegar walaupun sebenarnya sangat rapuh. Dia mencoba tersenyum di hadapanku. Melamurkan rasa kesedihannya.

''Sorry ... apakah aku terlihat cengeng?'' Dia mengambil cangkir kopinya dan perlahan meneguk isinya yang hampir tersisa ampasnya saja.

''Iya ... eh, maksudku ... sedikit, hehehe ...''

''Hahaha ... aku memang payah, ya?''

''Tidak apa-apa, kau tenangkan diri dulu saja ...''

''I am okay, dan siap menjawab semua pertanyaanmu ...''

''Kau perlu tisu?'' Aku menyodorkan selembar tisu ke hadapannya.

''Terima kasih.'' Pria biru ini mengusap ingus yang ngeces di hidungnya.

Dia menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dia melakukan itu beberapa kali hingga dia merasa tenang kembali.

''Kau boleh bertanya padaku!''

''Yakin, kamu udah tenang?''

''Yes, i am sure!''

''Well ... next question! Bagaimana reaksi keluarga Mr. Iphone setelah mereka tahu bahwa kau ternyata anaknya?''

''Mereka sangat shock. Dan tidak mempercayainya. Bahkan Tante Icherry memintaku untuk test DNA.''

''Kau melakukannya?''

''Ya ...''

''Hasilnya?''

''Positif ... aku memang darah daging Mr. Iphone.''

''Mereka jadi percaya?''

''Percaya, tapi untuk menerimaku ... tidak!''

''Terus?''

''Ya ... tidak apa-apa, mereka menerimaku atau tidak bagiku tidak masalah. Aku bisa memahami mereka. Dan mereka memang butuh waktu untuk menerimaku.''

''Bagaimana sikap Oppo terhadapmu?''

''Kamu tahu, sebelum kami mengetahui bahwa kami ternyata bersaudara kami telah menjalin persahabatan yang baik. Pada awalnya Oppo memang menolakku bahkan dia membenciku. Namun, lambat laun akhirnya dia sadar dan mau mengerti. Hingga dia pun bisa menerimaku sebagai saudaranya.''

''Bagaimana dengan Bang Kia dan Meizhu?''

''Bang Kia, dia sangat dewasa dalam bersikap. Dia tak terpengaruh dengan peristiwa ini. Aku anak dari Mr. Iphone atau bukan dia tetap menganggapku adiknya dan selalu bersikap baik. Sedangkan Meizhu ... dia juga baik.''

''Syukurlah kalau begitu. Apa sekarang kamu tinggal di rumah Ayah Kandungmu?''

''Tidak, aku tetap tinggal di rumahku sendiri. Dan selama aku kuliah aku juga tinggal di tempat kost.''

''O, gitu ...''

''Ya, kamu main dong ke rumahku, biar kamu tahu dan mudah mendeskripsikan bentuk rumah sederhanaku.''

''Boleh, kapan aku diizinkan ke sana?''

''Kalau kamu mau sekarang juga gak papa, nanti aku masakin masakan spesial buat kamu.''

''Oke deh, kalau gitu ...''

''Ayo!''

Setelah kami membayar kopi. Aku dan Pria Biru bergegas pergi. Kami menggunakan sepeda motor kami masing-masing. Menyusuri jalanan berbatu menuju sebuah desa. Tempat di mana Pria biru dan kisahnya berawal.

''Lihat itu perkebunan melati!'' tunjuk laki-laki manis itu kepadaku.

Mataku langsung terpukau memandang hamparan perkebunan bunga melati yang tumbuh subur dan terselip titik-titik putih dari bunga melati itu sendiri. Indah. Segar. Harum. Udaranya sejuk dan aroma wangi terendus di indra penciumanku.

Di sebuah tempat kami berhenti. Ketika kami melihat gubuk yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Bangunan yang terbuat dari tiang bambu dan atap jerami.

''Kau dan Bang Sam pernah berteduh di situ?'' ucapku.

''Iya!'' sahut pria biru ini sembari mengangguk mantap.

''Romantic Place.''

''Hehehe ...''

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Hingga kami pun tiba di rumah sederhana milik laki-laki itu. Temboknya bercat warna biru. Pintu dan jendela juga berwarna biru. Atapnya juga memiliki warna yang senada. Benar-benar pecinta biru sejati.

''Welcome to my jungle!'' ujar dia setelah kami memarkirkan sepeda motor di halaman rumah.

''Hahaha ... bukankah itu jargonnya Hua Wei?''

''Hahaha ... iya, aku nyontek dia ... '' Pria biru membuka pintu rumahnya dan menyuruhku masuk ke ruang tamu.

Di sini hanya ada sofa usang yang berdebu. Tak ada hiasan apa pun di dindingnya hanya jam tembok yang jarumnya tak bergerak lagi. Mati. Mungkin baterainya sudah kadaluarsa.

''Hai ... kemarilah!'' seru Pria Biru.

Aku segera menghampirinya.

''Ini kamarku ...'' tunjuknya sembari membukakan pintu kamarnya.

''Waw ... keren. Penuh dengan ornamen warna biru. Sprei bergambar Doraemon. Bantal dan guling juga. Dan sebuah boneka lumba-lumba warna biru.''

''Hehehe ... i love blue. Warna harapan!''

''Kuharap kau selalu memiliki harapan yang baik!''

''Aamiin.''

''Di kamar ini berarti kau dan Bang Sam melakukan bulan madu menghabiskan malam pertama dengan ritual ena-ena?''

''Hahaha ... tidak hanya satu malam saja, sih.''

''Jadi ... ada malam lain juga yang kalian berdua lakukan di sini?''

''Hehehe ...'' Pria Biru nyengir.

''Ayolah ceritakanlah seperti apa adegan syurnya?''

''Hahahaha ... kenapa sih, aku bertemu orang se-kepo kamu?''

''Kurasa bukan aku saja yang kepo dan ingin tahu kegiatan ranjangmu, tapi ...''

''Pembacamu juga!''

''Hehehe ... iya!'' Aku mantuk-mantuk dan senyum-senyum.

''Jangan khawatir aku pasti akan menceritakannya,''

''Kau dicoblos Bang Sam lagi?''

Pria Biru ini mengangguk malu-malu. Mukanya langsung memerah. Bagai udang rebus.

''Bukankah kau tidak mau melakukannya lagi. Kau bilang yang pertama dan yang terakhir setelah kau melakukan persenggamaan bersama Bang Sam?"

''Ya, aku memang berjanji tidak akan melakukannya lagi. Namun, ternyata kekuatan nafsu yang besar mampu melunturkan janji itu.''

''Baiklah, aku menunggu bagaimana kronologinya, hehehe ...''

''Tunggu ya, tidak sekarang ... tapi nanti!''

''Oke!''

Pria Biru menarik tanganku dan membawaku masuk ke ruang tengah. Kemudian dia menunjukan kamar tidur Ibunya. Selanjutnya dia memperlihatkan kamar mandi dan juga dapur. Memang tak luas, tapi cukup buat tinggal sendiri atau keluarga kecil.