webnovel

Prologue, Revisited

Hujan turun di bagian North Suisse. Di sela-sela hujan deras itu, ayahku dimakamkan. Bagiku yang hanya tumbuh ditemani seorang ayah dan saudara kandung, miris sekali rasanya meninggalkannya. Ibuku meninggal sejak lama. Apalagi setelah saudaraku pergi, mencari asa sebagai seorang musisi. Banyak payung hitam yang ditegakkan, senada dengan semua jas dan baju hitam di sana. Seorang pastor berbicara panjang lebar mengenai ayat Alkitab.

Aku tidak terlalu mendengarkan. Muak sudah rasanya aku disuruh untuk menjadi tegar dan menahan diri. Tidak, sekarang bukan saatnya. Ayahku mati ditembak seorang tak dikenal. Ayahku yang tidak berdosa. Dan pelakunya bahkan masih berkeliaran bebas, meninggalkan ini semua, meninggalkan hanya diriku untuk tidak dibunuh – untuk hidup dengan rasa bersalah. Suara hujan menutup rapat telingaku. Isak tangis semua orang tak lagi kupedulikan. Di depan, peti mati ayahku dengan kayu ek yang dipernis tertidur rapi, lengkap dengan peninggalan beliau – kalung salibnya, kacamatanya yang retak dan masih dipenuhi bercak darah, dan arlojinya. Sebuah penghormatan terakhir yang tidak bisa aku lupakan. Mungkin hanya peninggalan itu saja yang kuingat hari itu, tidak banyak yang terlintas di benakku karena aku sungguh ingin melupakan semua ini. Sudah lama sejak ayahku tidak mampu, aku menjalani hidupku sendiri, dengan jalanku sendiri, dan dengan caraku sendiri. Aku ingat sekali, tidak seorangpun yang menyalami tanganku benar-benar peduli dengan apa yang aku alami sekarang ini. Mungkin mereka terlalu sibuk. Entahlah. Aku membalikkan badanku, menutup payungku dan merasakan guyuran hujan yang deras di sekujur badanku. Aku tidak merasakan apa-apa. Semuanya hampa. Semuanya kosong. Semuanya terasa—terasa tidak penting. Mungkin selain jiwaku, badanku pun sudah lama terkujur beku di dunia ini. Semua ini karena pembunuh sialan itu. Aku tak lagi merasakan apa tujuan hidup di dunia ini. Persetan semuanya. Cih. Berada di pemakaman seseorang yang berarti bagiku, pun tidak sedetik pun aku jua mengeluarkan air mataku. Miris sekali. Ibuku pun sudah lama meninggal—juga karena penyebab yang aku tak ingin kenang lagi. I have to say, I miss you, Mother.

"Tuan William?" sebuah suara berat menyapaku dari belakang. Aku menoleh.

"Ya?" balasku dengan pandangan penuh amarah yang kupendam. Sesosok putih rapi, lengkap dengan jas dan rompinya yang hitam. Dia menutup payungnya, menghampiriku dengan langkahnya yang tegap.

"Saya Reverend James." Katanya mengulurkan tangannya. Aku melihat wajahnya dalam-dalam.

"Well, Reverend," kataku dengan pelan dan sedikit mengejek, "Sekarang bukan waktunya untuk berkenalan, bukan? Selalu ada waktu lain, saya rasa."

Dia tersenyum. "Maybe, Tuan William. Tapi bahkan Anda pun tidak memperdulikan ayahanda Anda sendiri. Anda hanya ingin membalas dendam." Katanya mengeluarkan sebuah kacamata hitam. Orang ini bisa membaca pikiranku. Tangan kiriku perlahan meraih bagian belakang jasku, mengambil pistolku untuk berjaga-jaga.

"Sia-sia saja, Tuan William." Kata Reverend James dengan secepat kilat mengeluarkan revolver dari saku bajunya. Arah selongsong pelurunya menarget tepat bagian jantungku. Orang ini bukan orang biasa, pikirku hati-hati. "You're not a Reverend, aren't you?" kataku padanya, sambil menaikkan kedua tanganku, mecari damai di situasi ini. Toh, memang bukan saatnya aku baku tembak di saat orang lain sedang berbelasungkawa.

"I see you're carrying a gun, Tuan William." Kata Reverend James membalas perkataanku. "Quite proficient with weapons?" lanjutnya lagi sembari tersenyum, "Anda boleh turunkan tangan Anda, Tuan William." Kata Reverend James sembari mengembalikan revolver ke saku bajunya. Aku semakin penasaran dengan orang ini. Namun sebelum aku sempat membalas, dia mengeluarkan sesuatu. "Saya mempunyai sebuah kesempatan untuk Anda," katanya mengeluarkan sebuah kantong plastik berisikan pistol dengan silencer, pisau taktis, dan sebuah rompi antipeluru. "Dan Anda akan menerimanya." Aku melihat dengan baik ujung kantong plastik itu. Ada bercak darah lama yang sepertinya dicuci bersih.

"And why is that?" kataku bertanya. "Tuan William, Anda dipenuhi perasaan amarah dan dengki. I would suggest you channel those emotions to people pulling the strings." Kata Reverend James tenang. Yeah, but you're not a bloody Reverend either, mate.

But he has a point though.

"Okay," kataku menghilangkan rasa tegangku sepenuhnya dan mengambil napas panjang. "Saya akan mendengarkan." Kataku mendekat padanya.

Reverend James tersenyum. "But I can't call you by name, aren't it?" kataku bertanya. "I am your absolver. Your Messiah. Call me—" katanya pasti dan penuh ambisi, "Call me Christ." Hujan deras dan kilat yang menyambar berkali-kali ini menambah misteri Reverend James. Orang yang akan mendikte hidupku nantinya. Orang yang akan mengontrol hidupku sepenuhnya, hanya demi satu tujuan—menemukan orang-orang yang aku butuhkan.

"Do you need something to be done, Tuan William?" kata Reverend James sambil menyodorkan sebuah pil. "What is this?" kataku bertanya sambil memegang pil itu dari telapak tangannya. "I need you to forget my name. To forget this day. To forget who you are, Tuan William." Katanya serius. Aku melihat pil putih itu.

"Pil ini untuk menghapus memorimu."

"But before you took it," katanya menghentikanku yang sedemikian beringas menelan pil itu, "I need you to tell me what's need to be done first." Lanjut Reverend James. Aku berpikir. Lalu berhenti sesaat, dan melihat Reverend James di matanya. "I need you to find someone." Kataku melihat pil itu. "And who that might be?" tanya Reverend James. "Saudaraku. Seseorang yang lama sudah tidak aku dengar kabarnya."

Reverend James menimpali, "Your brother is one of the people pulling the strings, Tuan William." Aku sedikit tersentak. What? How could you? After Mother left us, you left me also and murder Father, leaving me all alone? Aku semakin marah. "I need a name, Tuan William Francis." Kata Reverend James. Aku menaruh pil putih itu di mulutku.

"His name is Dean Francis."

Lalu aku menelan pil itu bulat-bulat.

"I remember now." Kataku menatap Reverend James dengan pandangan yang berbeda sekarang. Ya. Reverend James memutuskan untuk memberikanku sebuah rumah di Prior Street dan memberikanku pekerjaan yang tidak seorang pun orang lain mau melakukannya. Menghabisi orang-orang jahat.

He is a saint. He may not like the other Reverends out there...and you can say that his methods were quite unorthodox and not methodical, unlike all Catholics out there, but you cannot deny he gets the job done. He deals with the sinners his own way.

Creating the world a fucking better place.

"Reverend James." Kataku penuh dengan rasa percaya diri sekarang. Efek pil putih itu udah mengaburkan beberapa – jika tidak semua – memoriku terdahuluku, dan mungkin sudah mengubahku menjadi orang yang benar-benar berbeda. "William." Lanjut Reverend James sambil tersenyum. Pertama kalinya aku melihatnya tersenyum.

"So what now?" kataku bertanya. "Well," kata Reverend James mengambil Marlboro dari sakunya, "You have found your brother. Killed him, apparently." Katanya santai sambil mengisap rokok kretek itu dalam-dalam.

"Kamu bisa saja mengenalinya dari wajahnya, dan mungkin menyelamatkan hidupnya." Lanjut Reverend James mengebulkan asap, lalu melanjutkan, "But as you said it before, you have beaten him into a bloody pulp." Aku mengulum bibirku. Sulit sekali mengenangnya kembali. Namun masih ada pertanyaan-pertanyaan yang tersisa.

"But who are these people, Reverend James?" kataku bertanya padanya. "Seorang keparat bernama Rutherford, kehadiranmu disini, dan juga dimana Jefferson?" kataku menggebu-gebu, menginginkan jawaban atas semua yang masih tersisa disini.

"Rutherford adalah rekanku." Kata Reverend James. "We know him by the name of Reverend Jameson." Wait. What the fuck? There's a whole bunch of creeps like James out there? Way to blew my fucking mind.

"Working under the name of Christ Assassin Service, I presume." Kataku menyela. "You're a quick learner." Kata Christ melanjutkan menghisap rokoknya itu. "Rutherford menyelamatkanmu dari tempatmu sebelumnya. We work everywhere." Lanjut Reverend James lagi. "And Rutherford needs you to get back on your feet—without forcing you brain too much information, of course."

"Why is he willing to be dead though? From my bullet, even." Kataku mengikuti Reverend James berjalan menuju pintu keluar. Reverend James membuka pintu, "It was his choice. I cannot interfere with that. Now, William," kata Reverend James mengintip ke balik pintu, "It is time that you figure it out yourself." Aku mengintip ke pintu. Seorang pria paruh baya yang terduduk dengan tangan terborgol ke belakang – and furiously beaten up ­– ada di balik pintu, sebuah bilik kecil. He must be the one with further answers.

"Jefferson?" kataku bertanya. Reverend James mengangguk.

Alright, let's get this all over with. Aku masuk, walaupun Reverend James menunggu di luar. "You're not coming with me?" kataku menoleh ke belakang. "You need the answers, not me. Besides, it'll be inappropriate if I listen to the things I shouldn't have listened." Oke. Cukup adil. Aku mengangguk, lalu Reverend James menutup pintu.

Cukup sempit di sini. Selain aku dan Jefferson yang terborgol manis, hanya ada tembok semi-industrial – yang jelas belum dicat dengan benar, bahkan semennya pun cukup berantakan. No decorations, no things, nothing. Just an air duct. I'm beginning to suspect this is a prison. Aku melihat ke muka Jefferson. Matanya lebam. Sekujur mulutnya penuh dengan luka dan darah yang mengering.

"Who are you?" kataku bertanya dengan pelan. "You know me kid. That Reverend told you, didn't it? My name is Jefferson." He seemed honest. I sat down next to him. "Tuan Jefferson, bukankah Anda mantan Presiden Suisse?" kataku bertanya, sambil mengeluarkan pistolku – memberikan sinyal bahwa aku tidak sedang ingin bermain-main.

"Yes. Yes I am." Katanya lirih. Sepertinya dia kesakitan, dan kelaparan. "Lalu kenapa Anda bisa ikut andil dalam semua kekejian ini?," kataku bertanya, "Kenapa Anda, seorang mantan Presiden, berbuat demikian?" Lalu aku diam. Tuan Jefferson tersenyum kecil. "My boy," katanya, "You really has no idea."

"What do you mean?" kataku bingung.

"You look like someone."

"No, I am not. Answer my question."

"Your face looks similar to someone I knew."

"Answer the damn question."

"Francis? Is that you, Tuan Dean?"

Aku berpikir sejenak. Sepertinya Tuan Jefferson tergeletak cukup lama dan menjadi gila. I guess I can take advantage from it. Let's gamble. "Yes, it's Francis. Answer the question already."

"You shouldn't have left the ballroom so quickly, Tuan Dean." Kata Jefferson tersenyum licik. Sepertinya aura aslinya mulai terlihat. "What did I miss?" kataku bertanya kembali.

"A lot. The girl I handed you over?" Aku terbelalak. Sepertinya salah satu uratku terputus. "I had to murder her parents, just to cover up your entire bloody fetish." I hear a buzz from my head. But I disobeyed my emotions and feelings. I trembled.

"Continue." Kataku bergidik.

"Apparently, the whole thing we did gets blown," lanjut Jefferson, "And of course, what kind of parents didn't look for his litle girl?" lanjutnya dengan sedikit tertawa. Aku bergetar. Sangat bergetar. "And what did you do next?" kataku terbata-bata, mengeluarkan sedikit demi sedikit airmata dari celah mataku.

"I had to buy another little girl." Kata Jefferson, separuh berbisik.

Oh my God, I cannot stand it.

"But they notice the difference. So, I just had to—" lanjut Jefferson lagi.

"You can stop, Jefferson. Thank you. Thank you so—" kataku menangis.

"I had to murder them all. The girl I've bought too." tukas Jefferson.

Aku menangis terisak. Aku menutup kedua mataku dan aku mencakar lantai. Oh my God. Even after everything, After what I've done and what I've seen, I still cannot stand one's evil deeds. They felt so wrong. They felt so sinister. I cannot do it. I cannot fucking do it. Fuck this. Fuck this entire thing. Fuck this all. Fuck it.

"You're not Francis, aren't you?" kata Jefferson, kepalanya sedikit menengadah menatapku. "No, I am not. No, no. No." Kataku terbata-bata karena isak tangisku.

"I've thought so. So what happens to me next?" lanjut Jefferson lagi. "That's really not up to me to decide. Should I kill you? Avenge someone? Be a hero? Nah." Kataku menggelengkan kepala. I've thought this. How many people have I killed in the past, in the name of justice? Justice is bullshit. My justice is justified. I never look it from another point of view.

I'm merely a dog of Reverend James.

"You can't leave me hanging like this," kata Jefferson dengan cepat dan panik, "Take me somewhere! You—You're not part of this all, aren't you?!" tukas Jefferson cepat. "Just—Just drop me somewhere! Take me with you! Please!" Aku terdiam. Benar-benar terdiam. This man has gone so low in his life. He did deserve this, after all what he has done. Mungkin aku salah. Mungkin pekerjaan ini tepat untukku.

"Can you shut up?" kataku sambil menaikkan tanganku ke mukanya, mendorong mukanya yang mendekat ke mukaku. Menjijikkan. "You know, of all the things you had done, you're scared of this? You're scared of death? Really?" kataku sedikit geram. "Aku tidak takut kematian, lad. Yang aku takutkan hanyalah tempat ini. Dan mereka." Balas Jefferson dengan cepat. Sepertinya dia benar-benar takut dengan Reverend James. The Reverends and their "church" atendees really has been giving this man a taste of hell, it seems.

"Maksudmu orang-orang yang sedari tadi mengejarmu?" kataku. "Ya, benar. They killed most of my bodyguards without hesitation." Kata Jefferson semakin panik.

"Yeah. Just like how you killed the girl's parents." Kataku pelan.

Jefferson terdiam. Looks like I am having a paradox of mind here. I can't let this bastard runs free. Especially after what he's done. Justice? Courts will let this man slide, for a couple of million dollars. Justice is bullshit. Justice is one-sided and tampered. Sabotaged. Could it be that justice seeks only the highest bidder in the game of world?

'Sigh.' Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

"Yeah. I did it." Kata Jefferson tiba-tiba, memecah keheningan sesaat. "Tapi," lanjutnya dengan senyumnya yang sebelumnya ada, "Dalam dunia ini, hanya yang berkuasa yang menang. Politisi. Bintang rock and roll. Selebriti. Bahkan Hakim Agung. You never knew how deep this hole runs." Katanya lengkap dengan suara berat dan senyum sinisnya. "Not that I really care about. The world has been like this since centuries." Lanjutku padanya, langsung di mukanya.

"You don't know shit!" teriak Jefferson ke mukaku langsung. Beberapa ludahnya mendarat di pipiku.

"You don't know shit."

"Then tell me what I don't know shit about." Kataku padanya.

Tak lagi kutemukan sisa isak tangisku bermenit-menit lalu, menanyakan sisi humanis dari setiap orang yang kutemui di lini bisnis ini. Karena memang kenyataannya tidak ada, tidak pernah ada. Aku bergumul dengan diriku hanya untuk memperoleh jawaban yag seharusnya sudah terjawab semenjak ayahku mati.

Semenjak ibuku mati.

"Tell me, Jefferson." Kataku semakin berniat membunuh bedebah ini. "I hate running around in circles." Aku semakin memburu jawabannya. Sekarang aku yang dibuat panik oleh tindak-tanduknya. "I will tell you one name; promise me you will let me run free." Tukas Jefferson.

"I will." Kataku dengan tenang, berusaha untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.

"His name is Christopher Blackriver. Seorang Hakim Agung yang tadi aku sebut." Kata Jefferson sambil melirik ke kanan dan ke kiri. "Where is he now?" kataku setengah berbisik.

"That, you have to find out for yourself." Lanjut Jefferson. "Sepertinya hal yang sama bisa aku katakan untuk nasibmu sekarang," kataku berbalik tersenyum sekarang. "You either tell me now, or you can send me postcards from Heaven." Aku berdiri. Sudah saatnya untuk keluar dari bunker Black House ini. Rasanya pengap sekali setelah sekian lama.

"You—You're leaving me here? Wh-Where are you going?!" kata Jeffferson. Akhirnya dia menunjukkan sisinya yang pengecut. Well, nyaris semua orang yang akan mati nahas biasanya menunjukkan wataknya yang asli. Yang masih takut bertemu Penciptanya, dan memohon, meminta, bahkan mencium kuku-kuku jari kakimu—hanya untuk satu jam saja di dunia ini. Menjijikkan.

"Then tell me. Where is this Blackriver lad is." Kataku sambil berjalan menuju pintu keluar dan memegang kenop pintu. "Or you'll be dealing with whatever it is you've been dealing before. I don't give a shit." Aku memutar kenop pintu. Lalu keluar.

"No! Don't leave me! I'll tell you-I'll tell you everything you want! Everything! Wait!!" teriakan Jefferson semakin nyaring saja. Padahal kulihat bibirnya kering dan matanya merah. Sudah kubilang, perjuangan seseorang untuk menghindari jalan maut yang tergambar jelas di masa depannya sangatlah besar. Apalagi seorang pengecut seperti orang ini. Politisi busuk. Membunuh sesamanya, tapi tidak rela diperlakukan demikian. Lalu apa haknya untuk mengakhiri hidup seseorang? Mungkin dia merasa "di atas angin" dengan semua kuasanya, dengan semua koneksinya? Cih. Lihatlah dia sekarang. Tak lebih dari seorang bedebah yang meringkuk manis di kamar kecil, menunggu nasibnya ditentukan dari hasil perjudian hidupnya yang melibatkan orang lain.

Menjijikkan. Sungguh.

Now, it is time for me to go. "So, how's it going to be? You have an epiphany now?" kata Reverend James mengagetkanku. Sedari tadi dia menunggu di sebelah pintu? Tidak. Dia menunggu, seandainya aku membuat keputusan yang salah, aku juga mudah untuk "dibereskan".

"Ya...sepertinya." aku memberikan Reverend James pandangan sedikit sinis.

Apa dia sedari tadi menguping? I need to be cautious, after what Rutherford said. That I am an errand boy. "Don't worry, William." Kata Reverend James menutup pintu tempat Jefferson dikurung dan menguncinya. "I didn't eavesdrop. Aku pergi ke pojok hanya untuk menyulut rokokku." Katanya mengeluarkan satu pak Marlboro dari kantongnya. I should fucking hope so. I have to be really cautious not to trust him too much. He may be planting memories in my head.

"So what happens to Jefferson?"

"I will kill him." Kata Reverend James tenang sambil menghisap rokoknya.

Mudah sekali. Orang sekaliber Jefferson, seorang mantan presiden, bisa dihabisi dengan mudah di bunker ini. Bahkan bunker ini sendiri terletak di Black House. Wait. I am right. Everything seems too easy. Either Jefferson is my hero, or Reverend James. Aku harus bertindak sesuai instingku sekarang.

"I want to get out of here. Catch a breath." Kataku kepada Reverend James, sambil mencoba untuk menurunkan tensi di ruangan ini. "Silahkan, William. Tapi satu hal," kata Reverend James menaikkan telunjuknya. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

"After you tell me my past, you're still trying to dictate my future?"

Reverend James membalas. "Aku tidak pernah berkata demikian." Lalu dia menghisap rokoknya. "I may be a sinner and a Devil's beloved, but I didn't bloody lie when I told you all about the evil deeds that Jefferson and his cursed connection does."

"I hear you, Reverend James." Kataku mengangguk. "Good." Kata Reverend James tersenyum. "That's the exit." Kata Reverend James menunjuk manhole cover di pojok kiri ruangan.

"You're just letting me off the hook?" kataku seakan tak percaya. "Yes, and no. William, how well you do out there, you proved me that your skill is second to none. That is your freedom to choose how you life," kata Reverend James tenang sambil mendekatiku, "Know one thing only, William. You didn't choose to partake this life, neither did you accept the fate of both of your parents," lanjut Reverend James sambil menyodoriku sesuatu, "at least point your trigger to people responsible."

It's a Berreta 9mm, with the wood handles carved like a Cross and angels on each side.

"Saudaramu merupakan salah satu bedebah itu," kata Reverend James pelan. "Dan kedua orangtuamu merupakan salah dua yang terkorban karenanya." Aku menatapnya dalam-dalam. Lalu aku mengambil pistol itu.

Aku terdiam. Begitu pula dengan Reverend James. I don't know what to do next, but I know what to do now. Aku membuka kunci pintu tempat Jefferson, dan membuka pintunya lebar-lebar.

Bedebah itu masih meringkuk di dalam. "Made your choice, lad? Is that that bloody fucking false saints who bring me here, over there?" kata Jefferson, separuh terengah-engah dan separuh bergetar, "You will fucking kill me, huh? Huh?! You don't know who I am, kid! I have power! I have money! I will feast on your corpse and dance on your—"

'Bang!' timah panas pertama dari pistol ini dimuntahkan.

"This one is for the uncorrupted soul you feast on."

Aku melihat jasadnya yang terkapar, dengan kepala yang berlubang terarah ke atas. Untuk seseorang yang banyak bicara tentang kuasa dan uang, ternyata mantan presiden pun bisa mati konyol. Aku menutup pintu.

"So what it is next?" kata Reverend James membuang puntung rokoknya. "First, clean off this hell circle." Kataku mengunci pintu. "You're right. What's done is done. I can't even recognize my own brother back then. I only knew that he is one wicked man. And I bloody stab him to death. Might be a trauma to my childhood," kataku menatap Reverend James dalam-dalam dengan dendam kesumat di hatiku, "But I promise I will fucking kill anyone involved. Then they will say their grace to my parents from deep hell below."

"You still haven't answered my question, though."

Aku terdiam. Dan mengangguk. "First, Blackriver."

"Now that's what I am talking about." Kata Reverend James tersenyum lebar.

I wish I can tell them I am coming. Let's unleash hell.