webnovel

Surat Undangan War

"AR... KA... LA...."

"Buset... suara sape tuh?" Gavin berdiri diikuti oleh Iqbaal di sampingnya.

"Kayaknya ni orang bawa toa," balas Iqbaal.

"AR... KA... LA...."

Arkala yang tengah duduk di atas meja pun berdecak. Dia melompat turun dan pergi menemui orang yang berteriak dari arah pintu kelas.

Gavin dan Iqbaal berjalan paling depan. Walaupun Iqbaal bukan bagian dari The Boys, namun Arkala dan teman-temannya sudah menganggap lelaki itu bagian dari mereka.

"Heh, Asnawi! Kenape lo, hah? Kenapa lo teriak-teriak? Lo pikir ini rumah sakit?"

"Ck, hutan bego!" sanggah Iqbaal, sembari memukul kepala Gavin.

Siswa bernama Asnawi itu berdiri di depan kelas mereka dengan terengah. Tangan kanannya mengacung, memberi kode bahwa dia perlu bernapas.

"Lima menit," ucap Arkala.

"Sekolah kita dapet surat." Asnawi membuka suara, setelah napasnya normal kembali.

Gavin merebut surat itu dengan mata berbinar. "Wuidih... sejak kapan sekolah kita punya penggemar?" tanyanya heboh.

"Itu bukan surat dari penggemar, Vin. Tapi dari anak-anak BUSUI."

Seketika bola mata Gavin membelalak. "Apa? Ngapain mereka kirim surat? Mereka hidup di zaman batu apa, ya. Padahal di Instagram gue saling follow sama si Arion. Kenapa dia nggak DM aja? Dasar kuno!"

"Mungkin dia nggak enak hati sama lo, karena di feed Instagram dia banyak foto Helena. Anjay!" Iqbaal menggoda Gavin dengan menyebut nama sang mantan.

"Cih, emang secantik apa sih si Helena? Sampai gue harus banget gitu gagal move on dari dia. Sori ya, gue ini cowok mahal, kalau cuma move on dari dia mah, nggak ada apa-apanya buat gue!"

Gavin merasakan tepukan di bahunya. "Apaan sih, lo?" tegurnya pada Matteo.

"Itu Helena."

Gavin menoleh ke ujung koridor. Dia benar-benar melihat Helena yang tengah melangkah sembari tertawa.

Kedua sudut bibir Gavin berkedut, menahan senyum, diikuti oleh hidungnya yang kembang kempis yang entah menahan apa.

Gavin terpaku. Tiba-tiba dia merindukan gadis itu. Helena nya.

"Halah, baru aja lo bilang udah move on. Sekarang ngeliat dia malah kayak orang bego," sindir Iqbaal, membuat Gavin meliriknya sinis.

"Hai, Vin."

Tangan Gavin refleks melambai, tatkala Helena dan salah satu temannya melewat mereka.

"HELENA, SI GAVIN BELUM BISA MOVE ON DARI LO!"

Gavin memukul kepala Iqbaal cukup keras. "Cepu lo!"

"Vin, baca suratnya." Arkala bersuara. Membuka kembali topik surat yang dikirim oleh BUSUI.

"BLOK M JAM DUA SIANG," ujar Gavin. "Waduh... ini ngapa hurufnya kapital semua? Capslocknya jebol kali, ya?" imbuhnya.

"Itu artinya mereka serius ngajak war," timpal Iqbaal.

"Ngapain juga mereka ngajak war di sekitar Blok M? Itu kan wilayah rawan polisi. Di sana polisinya ganas-ganas. Mereka bosen sekolah kayaknya, udah pengin di bui."

"Siapa yang kirim?" Suara Arkala kembali terdengar.

"Gue nggak tahu. Gue dapet surat ini dari Pak Bowo Tiktok," jawab Asnawi.

"Kumpulin semua anggota The Boys dari kelas sepuluh sampai sebelas, kita kumpul di markas atas."

"La, anak kelas dua belas nggak lo ajak?" tanya Matteo.

"Nggak perlu. Mereka udah off dan harus fokus ujian. Lakuin aja apa yang gue perintah tadi."

"Oke, La!"

Asnawi berlari ke lorong kelas sepuluh, dan anggota inti The Boys lainnya kembali ke dalam kelas.

"Lo serius mau war sama mereka?"

"Baal, harga diri sekolah kita sedang dipertaruhkan. Anak-anak BUSUI itu udah keterlaluan," ujar Gavin. Dia adalah anggota paling semangat, jika BUSUI membawa kabar tentang pertempuran. Karena dengan begitu, Gavin bisa memukuli Arion sepuasnya. Ya... itung-itung membalas dendam yang terpendam.

"Kalian juga siap-siap. Bentar lagi kita ke markas atas."

***

Sesuai interupsi dari sang ketua. Markas atas kedatangan anggota The Boys, yang terdiri dari siswa kelas sepuluh dan sebelas.

Arkala berdiri di depan anggotanya, dengan wajah datar dan serius. "Nggak usah panjang lebar. Kita dapet surat tantangan dari BUSUI," ucap Arkan, tanpa pembukaan.

Bisik-bisik mulai terdengar dari wilayah anggotanya. Arkala tahu, kabar ini mungkin sedikit mengejutkan mereka.

"Bos, kalau boleh tahu, masalahnya apa, ya?" tanya seorang anggota, yang Arkala sendiri lupa namanya.

"Gue juga nggak tahu. Makanya gue kumpulin di sini, sekalian mau tanya. Apa di antara kalian ada yang bikin masalah sama mereka?"

Mereka rata-rata menggeleng. "Mungkin dari siswa lain, Bos," ucap anggota lainnya.

Arkala melipat kedua tangan di dada dan membelakangi mereka. Dia berkalan ke arah jendela, menatap langit dan hamparan kota Jakarta.

The Boys bukan geng sekolah sembarangan. Mereka tidak akan melakukan penyerangan jika tidak ada masalah yang jelas.

Beberapa hari ini mereka tidak membuat masalah dengan sekolah mana pun. Lalu, mengapa tiba-tiba rival abadi mereka memberi surat tantangan?

"La, coba lo tanya sama siswa lain. Mungkin aja ada yang ganggu anak cewek di sana." Matteo memberi usul. Bagaimana pun juga, mereka harus menyelidiki biang masalahnya lebih dulu.

"Gavin, lo cari tahu."

"Siap, La!" Gavin menarik salah seorang anggota untuk ikut bersamanya.

"Bang, kenapa lo bawa gue, sih?"

"Udah, ikut aja. Gue gabut kalau jalan sendiri," jawab Gavin.

"Bang, menurut lo siapa yang udah bikin anak BUSUI murka?"

"Mana gue tahu. Gue kan, ikan!"

"Idih.. jokesnya kayak bapak-bapak. Emang calon bapak, lo."

Gavin menggandeng lengan partner in crime nya begitu posesif. "Gue tahu kalau lo pinter nyari soal beginian. Sekarang, lo harus tunjukkin bakat lo yang sebenernya."

"Siap, Bang!"

"Fer, gue udah nggak sabar pengen mukulin mukanya si Arion. Lo tahu sendiri kan, muka dia yang jelek itu pantes buat dipukulin." Gavin berkata dengan menggebu.

"Ini pasti karena Kak Helena. Iya, kan?"

Gavin menoyor kepala Ferdi pelan. "Nggak usah sok tahu, lo."

***

Sepuluh menit berlalu. Namun Gavin dan Ferdi belum kembali ke markas,

"Mereka ke mana, ya? Apa mereka nyasar?" Suara Matteo memecah keheningan.

"Mungkin Bang Gavin mampir ke kelasnya Kak Helena."

Matteo menunjuk salah satu anggota mereka. "Kalau si Gavin ada di sini, udah abis lo sama dia," ucapnya sedikit menggertak.

"Al, lo coba cari koneksi di sekitar Blok M."

Alvaro hanya mengangguk. Si patung berjalan itu memang memiliki banyak koneksi. Selain dari jajaran polisi, dia juga akrab dengan para preman di pasar Blok M.

"Bang Alvaro yang pendiem koneksinya polisi dan preman, hebat banget lo, Bang."

"Bagus dong," sahut Matteo. "Daripada lo, Sur, badan gede tapi koneksinya para bencong," sambungnya, hingga terdengar suara tawa memenuhi markas mereka.

"Gimana?"

"Aman." Alvaro hanya memberikan satu kata sebagai jawaban, dan kembali menjadi patung hidup.

"La, kita udah tahu penyebab anak BUSUI ngajak war."