webnovel

Chapter 02

Harid membuka kembali Tongkat Mizara, membuat laju jatuhnya melambat. Pada dasarnya angin yang dihasilkan saat Harid terjun terhalangi oleh payung, sehingga mengurangi bahaya sebelum benturan dengan permukaan terjadi.

Dia mendarat di suatu ruangan yang tidak begitu besar. Kalau dikira-kira luasnya sebesar rumah rakyat, tapi bagi bangsawan ruangan itu mungkin selebar kamar tidur mereka. Kalau dilihat dari bahan dasar pembangunannya, dinding serta permukaan sekitar seperti terbuat dari tanah liat yang dibakar, karena warnanya coklat kekuningan. Dan dari tiap sudutnya banyak dirambati benang putih, sarang dari laba-laba yang menegaskan jika reruntuhan ini telah lama tidak terjamah.

Saat Harid mencermati sekitar, di tengah ruangan terdapat celah panjang selebar jari yang terhubung membentuk segi lima, begitu pula rongga di atasnya yang menuju reruntuhan sisi tebing bentuknya serupa. Serta pahatan garis yang menampilkan lambang Raja Solomon masih terlihat sempurna tanpa kecacatan.

"Lubang ini seharusnya menjadi jalan keluar menuju sisi tebing," ujar Harid. "Namun, lubang sebesar itu, apa mereka cuma memakai sihir angin sehingga bisa terbang seketika ke atas.......terlalu sederhana. Emang semua orang bisa sihir."

Harid tidak puas dengan deduksinya mengenai fungsi dari rongga yang menghubungkan reruntuhan dalam ke luar tebing. Karena bila hanya bermodalkan sihir, itu tidaklah menguntungkan semua orang. Dia memandang sekitar dinding, sayangnya tidak ada hal yang mencolok di situ. Ruangan di dalam sejatinya gelap, akan tetapi karena rongga  di atas, membuat cahaya leluasa masuk ke dalam. Meskipun di luar tadi terasa mendung, sepertinya cuaca kembali normal.

Di bagian dinding ada garis melingkar, saat didekati Harid menemukan sesuatu, ada simbol guratan hijau segitiga terbalik namun tak terhubung.

Ini lambang alkimia tanah. Mungkinkah?

"Terra Point." Harid merapal mantra.

Telapak tangannya menyentuh simbol tanah di dinding, yang seketika berdenyar usai Harid menggunakan sihir level 1 elemen tanah. Diikuti dengan sedikit getaran yang menjalar ke seluruh ruangan, kemudian di tengah tepat di lantai segi lima permukaannya perlahan naik.

Mengagumkan, pikirnya.

Dan mata Harid sontak melebar menyaksikan kejadian tersebut, dia melongo saja sampai permukaan itu meninggi ke luar melalui rongga. Ternyata fungsi lubang itu memang sebagai akses keluar masuk, menggunakan sedikit sentuhan sihir elemen tanah yang direspon oleh permukaan sehingga naiklah seketika.

Efeknya ruangan pun menjadi gulita, sebab satu-satunya akses penerangan yaitu cahaya dari luar yang menjalar melalui lubang sekarang tertutupi rapat. Bukan cuma itu, Harid tidak melihat jalan lain di sekitar, suka tidak suka dia terjebak dalam ruangan yang gelap.

Harid sontak mengutuk dirinya sendiri. "Harid dungu, kau keluarnya bagaimana."

Tapi dia masihlah mujur. Selepas permukaan segi lima itu naik, tidak beberapa lama dinding ruangan berpendar kehijauan. Serta terdapat sepasang garis menyala terang di dinding, garis itu terputus di tengah-tengah, atau lebih tepatnya mengarah ke tembok dalam yang ternyata sebuah lorong.  Nampaknya jalan itu menuju bagian dalam reruntuhan. Masing-masing di sampingnya terdapat dua obor api tak menyala yang menempel ke dinding. Di tepi lorong barulah Harid bisa melihat cahaya yang memancar cerah laksana matahari saat di atas ubun-ubun. Namun, dia heran bagaimana bisa bagian dalam reruntuhan bisa sebenderang itu.

Saat keluar dari lorong, Harid sekarang berdiri di sebuah tangga yang panjang menurun. Dia berada di suatu aula luas yang dindingnya ditumbuhi pohon-pohon besar yang daunnya sedikit juga robek-robek, batangnya menjalar nyaris menutupi tembok.

Di tengah aula, berdiri menjulang sebuah patung seseorang berjubah. Harid berjengit-jengit mengamati, di dahi patung tumbuh sepasang tanduk kecil, yang mana bila diumpakan kalau patung itu seukuran manusia normal tanduknya mungkin cuma sebesar kelingking. Tangannya menggenggam sebuah tongkat yang memberi kesan kalau dia ahli nujum atau mungkin seorang petapa, ujung tongkanya mirip roda kemudi kapal laut sama persis dengan ukiran pahatan di reruntuhan bagian luar,

kurang lebih begitulah yang Harid ingat.

"Aula yang besar. Apakah dahulu ini tempat peribadatan?" tanya Harid.

Harid menyusuri tangga, berjalan sembari menikmati daya tarik dari arsitektur kuno. Di belakang patung, terdapat dinding berventilasi besar , jumlahnya dua. Hal itu menambah keheranan Harid, karena sebelumnya saat dia mendaki, dirinya sama sekali tidak melihat keberadaan celah di tebing yang menjadi ventilasi reruntuhan di dalam. Meski begitu asal cahaya reruntuhan sekarang telah terkuak, Harid tentu saja senang.

Harid berdiri menengadah. Di hadapannya adalah sebuah patung yang mahabesar di tengah aula. Lekuk dan rupa patung itu ia cermati baik-baik, lalu beberapa saat membuka catatan arche miliknya.

Tidak mirip sama sekali.

Harid sedang membandingkan patung itu dengan lukisan sang raja di reruntuhan luar. Dia tidak melihat suatu kemiripan dari keduanya, maka jelaslah patung yang ada dihadapannya bukanlah Raja Solomon.

"Waktunya pengambilan gambar."

Harid memilih suatu halaman kosong di catatan arche, kemudian halaman itu dia hadapkan ke patung seperti orang yang sedang memegang gulungan terbuka. Dalam sekejap kilauan memancar dari halaman kosong tersebut, lalu suatu titik hitam muncul yang memanjang dengan sendirinya, terus melengkung dan membentuk gambar patung di aula besar secara sempurna.

Berhasil.

Kemudian Harid berjalan pelan mengitari patung dengan konsentrasi maksimal. Kelihatannya dia masih betah menelaah patung besar tersebut. Kepalanya mendongkak, matanya dalam kondisi melebar, pemuda itu melayang dalam lamunannya sendiri. Mungkin orang biasa atau dengan orang yang memiliki kegemaran berbeda akan memandang kalau Harid adalah orang yang aneh.

Pikirannya putus saat ujung kaki Harid menabrak sesuatu yang terasa lunak nan elastis, langsung saja dia tertunduk.

Mata Harid memicing. "Eeehhhh...." dan langsung mendelik saat itu juga. Harusnya aku curiga dengan kondisi dedaunan pohon. Sial.

Nyatanya itu bukanlah benda, tetapi suatu entitas hijau gempal panjang seperti timun namun bertanduk merah, seekor monster bernama Larvaruca Moth. Ukurannya besar, dan mungkin bisa melahap manusia dengan cepat. Harid beringsut mundur ke belakang untuk menjaga jarak. Ia tidak mau tiba-tiba diserang dan membahayakan dirinya sendiri, meski hanya karena berhadapan dengan satu ekor monster ulat.

Desisan Larvaruca Moth mendengung ke telinga Harid, seakan monster itu bersemangat menyaksikan daging lunak yang nampak lemah seperti manusia.

"Bung. Daun lebih sehat ketimbang daging. Percayalah, Oke?" Di dalam kesempitan Harid masih saja berkelakar. Meskipun kerongkongannya berulang kali menelan ludah.

Monster itu mengangkat tubuhnya, kemudian mulutnya yang hanya berupa titik kecil terbuka, berubah menjadi besar seukuran tubuhnya. Mulut itu dipenuhi gigi yang lebih mirip duri serta jumlahnya banyak sampai memenuhi seisi langit-langitnya. Dan akan terlihat menjijikan kalau-kalau manusia tertangkap oleh monster itu.

Karena lapar, Larvaruca Moth hendak mencaplok Harid dengan sekilat. Tapi, Dia menahannya dengan  Mizara yang terbuka menjadi sebuah perisai, payung yang dijadikan perisai. Meski berhasil menahan, Harid terdorong sedikit ke belakang. Lalu senjata itu ia putar dibarengi dengan sihir angin.

"Ventusio."

Pusaran tornado menghempaskan Larvaruca Moth, namun karena monster yg berukuran besar, sihir itu jadi terlihat lemah. Tapi serangan Harid tidak sampai di situ, dia langsung menerjang dengan teknik sihir lainnya.

"Sihir pedang : Booming Blade," teriak Harid.

Tongkat Mizara menutup dan berpendar keemasan. Dengan tenaga penuh Harid mengayunkannya 180° menghantam Larvaruca Moth. BRUG. SRAT. Dengan ujung tongkat yang setirus jarum, bagian mulut monster itu tersayat dan mengeluarkan cipratan cairan hijau.

Harid menyeringai puas. "Aku kadang berpikir mungkin nama sihirnya dirubah menjadi sihir Mizara, booming umbrella."

Cairan Hijau yang merupakan darah dari Larvaruca Moth menguap serta menimbulkan bau tidak sedap, seperti ikan busuk yang mati di tepi sungai. Harid sampai harus menyumbat hidungnya dengan tangan. Sedangkan Larvaruca Moth memekik kesakitan, desisannya kencang mendengung di gendang telinga Harid.

Tiba-tiba desisan-desisan lain bermunculan satu persatu. Asalnya dari segala penjuru dinding yang ditumbuhi pohon besar.

Gawat, kelihatannya dia memanggil kawan-kawannya, pikir Harid.

Apa yang diduga ternyata benar, dari balik pohon dan bebatangan, Larvaruca Moth lain yang berisitirahat di sarang mereka menampakan diri, Bahkan dengan cepat merayap ke tengah aula menuju ke arah Harid layaknya kawanan piranha berjumpa dengan makanan.

Harid menengok sekitaran, mencoba mencari jalan keluar. Awalnya ia tertahan pada tangga menuju ruangan kecil sebelumnya, akan tetapi tangga itu sudah didiami monster Larvaruca, yang jumlahnya lebih dari satu. Mereka bahkan terlihat seperti peserta yang sedang dalam acara lomba merayap, yang mempunyai aturan kalau siapa cepat dia yang kenyang.

Tidak ingin dirinya dijadikan hidangan di sore hari, Harid berbalik arah, berlari menuju koridor di arah samping aula. Pelariannya tidaklah mulus, Larvaruca Moth dari arah serupa sedang merayap dengan ditunggangi hasrat memangsa.

"Gelombang arus :Booming Blade."

Harid mengayunkan kembali Tongkat Mizara, menghempaskan para monster yang menghalangi ke udara, seolah ada energi tak terlihat menerbangkan mereka secara paksa. Rapalan mantra yang sama terus ia lakukan. Monster terus beterbangan membentur pepohonan dengan keras, beberapa ada yang tertusuk batang pohon, bahkan ada yang jatuh dengan posisi terkulai sampai tak sanggup melata kembali.

Harid memasuki koridor gelap dan panjang.

"Apa!" seru Harid dengan alisnya yang naik sampai membuat  larik-larik di dahinya mengukir.

Naas di tengah perjalanan, koridor itu hanya berupa jalan buntu yang tergenang air. Bagian tengahnya ambruk sehingga menutupi jalan.

"Tidakkah ini berlebihan," gerutunya. Harid berbalik, kumpulan masa Larvaruca Moth masih dalam posisi merayap mengejarnya. "Monster yang keras kepala."

Harid yang bisa berpikir cepat dalam keadaan terhimpit langsung meraba-raba sekitar untuk mengetahui asal dari air tersebut. Pikirannya mengira kalau ada aliran air seperti selokan di balik dinding. DUK. DUK. DUK. Dari dinding di samping kanan suaranya terdengar ringan saat ditimbuk beberapa kali, yang menandakan kalau di baliknya berupa ruangan kosong.

Harid kembali menelan ludah sampai mulutnya terasa kering, tetesan keringat mengalir membasahi pipi. Para monster telah sampai di dekatnya, mulut-mulut mereka seketika terbuka lebar, bersiap untuk menyantap hidangan. Tapi Harid tak punya pilihan lain, dia tak bisa hanya mematung ketakutan. Sebelum para monster mencaploknya, Harid mengancurkan dinding dengan Tongkat Mizara. BUM. BLUR. BLUR. Melesaklah serpihan tembok ke aliran air menciptakan bolongan yang besar. Tanpa pikir panjang Harid menjerumuskan diri ke dalam selokan tersebut, tanpa sedikitpun tahu ke mana ia akan dibawa. Di saat bahaya melanda pepatah 'hiduplah seperti air yang mengalir' mungkin cocok benar untuk Harid sekarang.

"AAKKHHH." Harid hanya bisa memekik kencang.

Badannya terbentur-bentur pada tembok begitu selokan menikung. Yang paling menyakitkan ketika mendadak melewati turunan yang menukik tajam, kelapanya beradu keras dengan atap selokan. Belum lagi ia mati-matian mengatur nafas, menjaga supaya perutnya tidak kembung karena dipenuhi oleh air.

Akhirnya Harid keluar dari selokan, dan tenggelam di suatu kolam yang dalam.

Harid mengayuh-ngayuh kaki, mencoba naik ke permukaan, sayangnya kolam itu berupa ruangan utuh yang terisis air secara penuh. Mau tidak mau Ia menyelam kembali ke dalam kalau-kalau ada jalan lain yang bisa menyelamatkannya. Tapi dasar kolam sama sekali tak nampak. Apa yang Harid lihat berupa atap panjang dengan banyak pilar di sisi-sisinya.

Ilusikah? Atau kepalaku mulai tidak beres karena kekurangan oksigen.

Karena keadaan menghimpit, Harid malah menyelam semakin dalam. Saat tangannya hendak menyapu air kembali, air itu menghilang tak dapat dirasakan oleh indra perabanya seakan-akan ia cuma menyapu-nyapu angin. Keadaan itu membuat Harid merasa lega, otot yang pegal serta kesakitan mendadak lenyap.

Dia menyelam ke dasar dan malah mendapati dirinya keluar dari kolam air, seakan-akan sebelumnya apa yang ia lakukan tidaklah menyelam akan tetapi, naik ke permukaan untuk mengisi kembali paru-parunya dengan udara.

"Ya ampun sihir macam apa yang bisa membalikkan realitas seperti ini." Harid bingung tapi ia kagum oleh cara kerja yang unik dari reruntuhan itu. Sekarang benaknya bertanya-tanya, "Aku ini menghadap ke atas atau ke bawah sih?"

Harid pun menjadi tak sabar untuk menjelajahi seluruh reruntuhan.