webnovel

Tajamnya Setajam Silet

Biarpun ditolak, Sandro tetep ngotot ingin ngebantu sampe Dinda akhirnya nyerah.

"Jadi gini, gue akan terima. Tapi inget, gue nggak suka yang gratisan. Karena elo mau nolong gue, gue juga serius mau nolong. Tapi gue bingung nolongnya gimana."

"Lho, tadi kan elo bilang lagi cari data tentang hubungan gue sama Rannie? Dengan kepinteran elo, bisa jadi elo mampu ngeanalisa kemungkinan kami berdua untuk jadian lagi. Kalo kemungkinan kami untuk jadian lagi dinilai gede, ya gue juga mau coba rebut lagi hati Rannie. Kalo cuma seiprit, ya udah, gue juga mundur teratur. Dinda, coba aja elo terusin dengan ngebikin sebuah aplikasi."

Aplikasi?

Dinda terdiam. Ide dari Sandro itu dirasanya luar biasa. Mendadak dia keingetan dengan aplikasi setengah jadinya yang sepertinya hanya perlu sedikit modifikasi untuk bisa ngejawab kebutuhan seperti yang Sandro alamin.

“Bener juga. Koq gue nggak kepikiran dari tadi. Masalah lu bisa dianalisa dan dicariin jalan keluar kalo ada aplikasi yang tepat," cetus Dinda setelah mikir dalem-dalem.

"Nah itu lho yang gue maksud."

"Gue punya kemampuan bikin aplikasi. Kenapa nggak bikin sesuatu yang berguna? Sebuah aplikasi heboh yang bisa nolong elo dan orang lain untuk dapet gebetan yang cocok."

"Ya udah. Bungkus deh proyek ini, Din. Gue dukung."

"Tapi kalo elo dukung, berarti elo jadi orang pertama di proyek ini. Elo siap?"

"Gak masalah."

"Elo siap gue riset?”

Antara percaya dan nggak, Sandro lantas ngeiyain. "Boleh."

“Sip! Gue siapin tabel di Excel. Nah, gue mau ajuin pertanyaan berikutnya nih. Pertanyaan gue adalah...”

“Tunggu! Ini langsung nih?"

"Laptop ini mau dilego. Kalo nggak cepet, bisa gagal dong?"

Ucapan itu emang masuk akal bagi Sandro. "Pertanyaan elo ada berapa?”

“Belom tau. Yah, liat sampe nanti gue ngantuk aja.”

“Sampe elo ngantuk?” Sandro kaget, “bisa sampe pagi dong kita ngobrol-ngobrolnya? Elo kan insomnia, susah tidur!”

*

Panji rencananya mau beliin gadget yaitu sebuah smartphone baru buat Rannie. Supaya nggak salah beli, dia tunjukin ponsel yang dia punya karena rencananya ponsel seperti itu yang emang mau dikasih. Udah dari tadi Rannie ngutak-atik ponsel kepunyaan Panji dan sejauh ini dia cukup puas.

“Ponsel ini juga video kameranya bagus. Gambarnya tajam.”

“Setajam silet?” tanya Rannie, bercanda.

“Iya. Coba sini gue tunjukin contohnya.”

Panji mengambil ponsel dari tangan Rannie, membuka sebuah video klip dan mengembalikan lagi ponsel itu ke tangan gadisnya. Layar sekarang nampilin sebuah video pemandangan interior sebuah rumah kosong.

“Rumah? Buat apa gue ditunjukin begini?”

“Liat aja baik-baik. Lu perhatiin interiornya. Mulai dari kursi, meja, lemari.”

“Lah ini gambarnya cuma jendela.” Rannie penasaran.

“Liatin terus jendelanya. Jangan sampe miss.”

Rannie mengikuti saran Panji. Ia sampai memicingkan mata demi untuk memperhatikan setiap detil jendela. Walaupun volume udah penuh, tapi suara musik sebagai latar belakang hanya terdengar lamat-lamat. Ini membuat Rannie matanya benar-benar fokus karena penasaran apa yang dimaksud Panji. Dan kemudian, saat lagi melototin itulah mendadak….

“Wuaaaaahhhh!!!!!”

Rannie berteriak kaget dan ketakutan karena gambar tiba-tiba nampilin gambar close up wajah kuntilanak dengan suara horror yang dolby stereo. Gilanya, Panji malah ketawa ngakak ngelihat ketakutan Rannie. Menurutnya itu pemandangan yang lucu banget.

Konflik pertama pun terjadi. Nggak pake lama – dalam kesempatan dan waktu terpisah – Rannie dan juga Panji nulis pengalaman itu di medsos masing-masing. Panji pasang emoticon ketawa, Rannie pasang emoticon sebal.

Mereka nggak pernah nyangka bahwa pada waktu mereka bikin postingan dan staus masing-masing data atau postingan mereka tersimpan di sebuah server berkapasitas gigantic entah di penjuru dunia mana. Bersama milyaran postingan serupa dari para member seluruh penjuru dunia, server itu menyimpan aneka postingan, profil, tanggal kelahiran, aktifitas, suasana hati. Beberapa orang dengan lugu, bodoh, atau kombinasi lugu-bodoh, menyimpan data sangat pribadi termasuk nomor rekening dan bahkan password untuk beberapa situs web. Dengan tautan ke beberapa akun media sosial yang dimiliki, lebih banyak lagi data yang bisa diakses. Tidak banyak yang menyadari bahwa database yang tersimpan sebetulnya memiliki nilai ekonomi yang besar karena membuat mereka jadi target marketing perusahaan atau pribadi yang membutuhkan. Pun tidak ada yang menyadari bahwa database yang sama juga menjadi lahan bagi para hacker atau peretas komputer untuk mengetahui info yang bersifat pribadi atau konfidensial. Tak perlu menjadi peretas handal yang dibiayai CIA sebagaimana ditampilkan di film-film Hollywood, peretas pemula dengan niat iseng pun bisa mendapatkannya.

Data-data tadi yang dibuat Rannie dan Panji pun pada akhirnya merekam tabiat masing-masing keduanya. Data-data itu masih di sana. Tersembunyi dalam sebuah keping sel memori berukuran super-mikro dalam sang Server. Tak terlindungi, tak terjaga, tak terkunci, yang arti sebetulnya adalah ia bisa diakses siapapun yang kepingin mencari tahu tentang pribadi kekinian Rannie dan Panji. Menunggu seseorang yang cukup cerdas untuk bisa membukanya.

*

Amih udah kenal banget dengan satu lagi tabiat suaminya. Apih itu suka kolokan alias bermanja-manja untuk hal yang sifatnya kurang penting. Dalam kasus kemalingan motor Amih yang lebih legowo udah lama pasrah menghadapi kasus ini. Beda dengan Apih yang masih aja suka baperan dan malah nangis atas musibah yang terjadi dua hari lalu.

"Huuu... uuu... "

"Aduh, nggak usah nangis kayak anak kecil gitu. Apih jangan jadi stres atau sakit karena kasus ini." Sambil ngebetulin kolor Apih yang kalo dipake udah super kedodoran sampe melorot melulu.

Usulan Amih ternyata agak dicuwekin dan Apih tetep aja nangis. "Huuu... uuu... Apih masih sebel sama itu maling. Koq dia nggak takut dosa sih. Huuu... uuu... "

"Yeeee si Apih. Kalo takut dosa dia gak bakalan maling atuh. Malah mungkin dia jadi direktur, atau jadi bossnya Apih." Amih nanggepin dengan nyantai.

Nangisnya Apih mendadak berhenti. Ucapannya berubah serius. "Eh, tagihan listrik jangan sampe telat ya. Besok hari terakhir lho."

"Beres. Amih malah mau beresin itu hari ini."

Apih manggut-manggut karena setuju dengan tindakan Amih. Tapi abis itu Apih nangis lagi menyesali diri. "Huuu... uuuu... Nggak kebayang kalo ketemu pak Satya nanti. Bisa dikepret Apih. Huuu... uuu..."

Tetep dengan kesibukannya ngejahit, Amih nanggepin dengan lebih nyantai ngomongnya. "Gimanapun juga Apih musti hadepin masalah. Temui dia dan jangan menghindar seperti waktu itu."

Apih mendadak berhenti lagi nangisnya.

"Apih lupa sesuatu. Itu tagihan sekolah Dinda udah lunas apa belom ya?" tanya Apih serius.

"Udah dari kemarin-kemarin diberesin."

Manggut-manggut sebentar, eh, Apih mewek lagi. "Huuu... uuu... punya anak satu aja repot ya bu.. Huuu... uuu...."

"Jadi maksudnya kita cukup punya 1 anak aja nih?"

Apih langsung berhenti nangis.

"Hush! Kita musti terus ikhtiar. Jangan menyerah! Apih juga janji akan kerja dua kali lebih giat daripada sebelumnya. Pokoknya joss deh..."

"Idiiih, itu mah keenakan di Apih."

"Huuu... uuu..."

Bukannya kasihan, Amih sekarang malah jadi keliatan sebel. "Ceup... ceup... ceup... Stop! Stop! Udah ah. Apih gimana sih koq bisa banget ngobrol-nangis-ngobrol-nangis. Kalo nangis ya nangis. Jangan campur-campur ngobrol segala!"

*