webnovel

Kisah Si Kikir

Pak Satya lagi berbunga-bunga. Bisnisnya banyak mendatangkan cuan atau keuntungan yang nggak sedikit. Pengeluaran juga nggak banyak. Memang sebetulnya dia ada beberapa banyak hutang dari beberapa supplier atau pemasok barang. Tagihan mereka banyak yang nggak dibayar mulai dari tagihan dari toko bangunan, bengkel motor, bengkel mobil, galon air isi ulang, sampai kepada beberapa anak buahnya sendiri.

Tapi beliau bersyukur karena para penagih banyak yang menyatakan mundur. Mereka menyerah. Khususnya mereka yang tagihannya udah berulangtahun alias udah satu tahun nggak dibayar. Pak Satya nggak peduli bahwa ada dua sampai tiga penagih yang tagihannya tetap nggak dibayar biarpun mereka udah separuh baya dan bahkan uzur. Menurutnya uang yang terhutang nilainya nggak seberapa dan seyogyanya mereka melupakan saja. Alasannya: ia juga melakukan hal yang sama pada orang lain – sebuah informasi yang benar atau nggaknya tentu hanya Pak Satya sendiri yang mengetahuinya. Dia juga senang karena ada beberapa supplier dimana dia berhutang akhirnya telah menyatakan takkan menagih karena udah terlalu capek bolak-balik untuk menagih.

Masyarakat mengenalnya sebagai juragan yang sukses di beberapa bidang usaha yang dilakukan. Dengan tangan dinginnya ia mencapai keuntungan sebagai juragan ini dan itu. Termasuk juga menjadi juragan truk tangka tinja. Dan bagi mereka yang sirik atau tidak suka padanya, pada akhirnya udah menjadi rahasia umum bahwa ia disebut mereka dengan satu sebutan yang sangar sarkas yaitu: juragan tai. Entah mereka menyebut dengan serius atau memaki, ia harus belajar menerima karena sarkas sekali memang dipanggil dengan julukan itu. Tapi, mau apa lagi. Itu adalah fakta yang tak bisa ia bantahkan karena memang terbukti bisnis yang satu itu mendatangkan keuntungan besar.

“Rojab!” teriaknya.

Tak ada sambutan, semenit kemudian ia berteriak lagi.

“Rojaaaaab, sini lu!” teriaknya.

Suaranya yang kencang membahana membuat seseorang lari tergopoh-gopoh dari lantai satu ruko menuju lantai tiga dimana dirinya berada. Seorang pria 20an tahun dengan terengah kini Pak Satya. “Ya tuan.”

“Toko udah boleh ditutup. Pastiin semua dikunci dengan bener.”

“Siap, tuan.”

Rojab terkagum ngelihat meja kerja juragan tempatnya bekerja terdapat kalkulator, buku catatan, alat tulis serta tumpukan lembar dan koin uang aneka pecahan. Itu pasti hasil bisnis hari ini. Mulai dari bisnis rentenir, tangka tinja, rental motor, dan jual beli limbah industri. Di meja itu ada juga boneka kucing yang tanpa merasa pegal dan linu terus menggerakkan satu kaki depannya. Sebuah boneka yang entah orang itu tahu darimana konon bisa mendatangkan banyak keuntungan.

Rojab silau ngelihat apa yang ada di meja di depan Pak Satya. Meja itu penuh uang. Mulai dari lembarah seratus ribu sampai pecahan dua ratus rupiah yang ditaruh dalam kaleng-kaleng khusus sesuai nilai pecahannya.

“Buset, duitnya banyak banget. Pak Satya emang pinter cari duit.”

Pak Satya bangga dengan pujian tadi. “Zaman sekarang emang musti cari duit dengan pintar. Kalo perlu dengan cara di-cloning.”

“Kloning itu apaan, tuan?”

“Cloning itu dibanyakin.”

“Emang duit ini hasil kloningan?”

“Ya nggak lah. Gimana teh. Kamu ini kudet banget. Yang bisa di-cloning itu contohnya kambing, ayam, sapi, semua bisa dibanyakin. Ikan juga bisa. Dari sepotong bagian tubuhnya aja bisa di-cloning. Dari bulu, tulang, daging. Kalo perlu dari yang udah mati pun bisa dibikin yang baru. Yang penting masih ada sepotong bagian tubuhnya yang masih nyisa,” Pak Satya, seperti biasa, menjawab sok tahu.

Wajah Rojab nunjukin kekaguman yang luar biasa.

“Hebat juga. Ikan apa aja bisa di-kloning? Ikan teri juga?”

Malas membahas masalah itu, Pak Satya hanya mengiyakan. Dan begitu ngelihat jarak orang yang dianggapnya terlalu dekat dengan meja Pak Satya memberi isyarat agar orang itu sedikit mundur. Rojab mendegut ludah dan mundur selangkah. Agak jengkel karena ini jelas nunjukin bahwa dirinya bukan pegawai yang pantes untuk dipercaya.

“Ngomong-ngomong soal ikan, itu ikan lohan sayah udah dikasih makan?”

“Udah dari sorehh,” jawabnya yang masih sedikit terengah.

“Dari sore, berarti udah 2 jam lalu?”

“Betul, tuan. Tapi makanannya udah mau abis.”

Pak Satya meraup setumpuk uang senilai empat ratus ribu rupiah dan menyerahkan pada orang itu.

“Alhamdullilah, akhirnya saya dapat gaji.”

“Gaji? Enak aja kamuh. Itu teh buat beli pakan ikan lohan sayah. Beli ya di toko Singkawang sama Ko Acay. Harga pakan lohan itu masih sama dengan harga bulan lalu. Jadi nanti kamuh kembaliin ke sayaaaa….” Ia mengutak-until kalkulatornya. “delapan ribu tujuh ratus perak.”

“Tap, tapi kalo dipotong untuk ongkos angkot pulang pergi udah pasti kurang, tuan.”

“Ahhhh kamu belagak nggak tau sajah. Nanti kalo ditagih angkos ngakuin aja sebagai anak SMA. Jadi kamu bayar tarif anak sekolah. Udah, pergi sana!”

Wajah Rojab berubah. Ia mendegut ludah dan menyisip uang ke dalam kantung celananya yang lusuh. Ia belum sebulan bekerja dan selama tiga minggu ini dibayar secara harian. Biarpun belum lama kenal, ia dengan cepat sadar bahwa ia bekerja dengan juragan paling pelit seantero jagad raya.

Pak Satya pun hanya mau memberi gaji ala-kadarnya ke orang itu. Alasannya satu: orang itu belum banyak punya pengalaman kerja, masih harus banyak diajar ini-itu, dan banyak melakukan kesalahan akibat ‘tulalit’ hampir di semua lini kehidupan, alias IQ jongkok. Ia juga terpaksa memilih Rojab karena tak menemukan lagi calon kandidat lain untuk menjadi bantu-membantu di tokonya karena mereka meminta gaji lebih tinggi dari budget. Melalui bisnis rentenir ia memiliki dua orang preman sebagai penagih alias debt collector. Rojab itu bukan salah satunya melainkah teman dari teman dari teman salah seorang debt collector tadi.

Sempat berniat pergi, ia kemudian membalik badan lagi karena ada hal penting yang ia perlu sampaikan.

“Tuan,” panggilnya. “Gaji saya minggu lalu masih belum dapet. Tolong tuan, ini buat makan. Kalo hari ini belum dibayar, berarti udah dua minggu.”

Pak Satya terlihat nggak suka dengan informasi tadi. “Ahhhh, besok aja. Gampang itu mah.”

“Kalo bisa bayar dua ratus dulu.”

“Saya teh bilang besok!”

“Maaf, tapi dari 4 hari lalu bapak juga bilangnya besok.”

“Jadi kamu bilang sayah itu pembohong?”

“Bukan itu.“

“Sayah tuh belum ada duit,” Pak Satya mulai naik pitam.

Rojab bingung. Belum ada duit? Nah, itu yang di tumpukan meja yang begitu banyak apakah bukan duit?

Pak Satya bangun dari duduk dan mengambil segelas air minum dalam kemasan dari sebuah dus yang ia buka. Ia nggak ada niat menawarkan minum buat Rojab. Dan selama ia pergi mengambil gelas, merobek dus, dan meminumnya matanya berkali-kali tertuju ke meja. Sikapnya sangat hati-hati demi memastikan bahwa Rojab tidak mendekati meja.

“Eh, Rojab, bisnis lagi nggak bagus. Sayah lagi rugi. Jadi kamu jangan makasin sayah untuk bayarin gajih. Kamu pasti saya bayar. Nanti sehabis kamu balik, saya kasih.”

“Bener, tuan?”

“Bener. Nanti saya kasih sebagian.”

“Sebagian?” Rojab lemas lagi.

“Tenaaang, nanti pasti dibantu sama sayah. Saya teh orangnya baik, Rojab. Kamu tuh nggak nyesal kerja sama sayah. Begitu nanti kamu balik pasti saya kasih bonus.”