webnovel

Bagian 26 (Melarikan Diri)

.

.

"Aku tidak bisa meneruskan hubungan kita.

Aku sudah gagal mencintaimu."

.

.

***

Gito terbangun mendengar suara cicit burung dari arah taman. Mendadak matanya terbelalak.

Dia segera panik mencari petunjuk waktu. Tangannya meraih ponsel dan melihat angka menunjukkan pukul 5.31.

Gito bergegas ke kamar mandi untuk wudu. Yoga tak ada di kasurnya. Terpikir untuk mencari keberadaan Yoga, namun salat Subuh dirasanya lebih mendesak.

Gito segera ngibrit ke kamar mandi, wudu, menyingkirkan kekacauan di lantai agar setidaknya dia punya ruang 1x2 meter untuk bisa salat di lantai.

Setelah salat, dia celingukan mengamati sekeliling kamar. Secarik kertas di atas meja bundar menarik perhatiannya. Gito membaca tulisan di kertas itu.

Gito,

Maaf. Gara-gara aku, kamu jadi menginap di rumahku. Dan maaf lagi, aku pergi tanpa mengabarimu. Kulihat kamu tidur pulas. Aku tidak tega membangunkanmu.

Hari ini aku berangkat ke salah satu pulau pribadiku di daerah Kepulauan Seribu.

Aku perlu menyendiri. Mungkin dalam 1 atau 2 minggu, aku akan kembali. Jadi jangan heran kalau ponselku tidak bisa dihubungi.

Sebelum itu, aku akan ke rumah Tania untuk menyelesaikan urusan di antara kami. Maaf aku tidak pernah cerita soal ini. Aku merasa tidak enak karena kamu terlihat sangat ingin hubungan kami berhasil. Tapi nyatanya, aku sudah gagal.

Aku sudah minta pada Bastian untuk menyiapkan sarapan untukmu. Kalau perlu apa-apa, bilang pada Bastian.

Jaga dirimu, To.

Terima kasih kamu selalu ada di saat-saat terburuk dalam hidupku.

(Yoga)

Gito menghela napas. Dia sudah tidak tahu lagi harus dengan cara apa menolong sahabatnya yang satu ini.

***

Pagi itu Yoga menghubungi Tania. Dari suaranya, Tania terdengar senang ketika Yoga bilang kalau dia ada di depan rumahnya. Tapi Yoga tahu, sebentar lagi Tania tidak akan senang.

"PUTUS?? Apa maksudmu, Yoga?" Tania berdiri di hadapannya. Dia menutupi piyamanya dengan sweater pink. Wajahnya terlihat pucat mendengar kata 'putus' keluar dari Yoga.

Yoga menunduk ke jalanan. Berbicara gugup, "aku tidak bisa meneruskan hubungan kita. Aku sudah gagal mencintaimu."

Tania terlihat heran. "Apa maksudmu? Lalu apa arti ciuman-ciuman itu??" tanya Tania dengan suara bergetar.

"Itu ... seharusnya aku tidak melakukan itu padamu. Maaf. Itu salahku," jawab Yoga menelan saliva.

"Ini gak masuk akal buatku! Kasih aku alasan yang jelas, Yoga!!" desak Tania menggeleng. Ada amarah pada sorot mata gadis itu.

Yoga menarik napas sebelum menjawab, "aku masih belum bisa melupakan mantan pacarku. Pacar pertamaku dulu. Aku tadinya berharap, denganmu aku bisa melupakan dia. Tapi --"

Tania menutup bibirnya dan air matanya keluar butir demi butir. "Jadi ... kamu menciumku dan semuanya itu, itu untuk bisa melupakan dia??" pekik Tania dengan kepedihan nyata pada nada suaranya.

Yoga tidak menjawab. Dia memejam. Tidak tega melihat rasa sakit yang nampak di ekspresi wajah Tania.

PLAKKKKK!!

Tamparan keras mengenai kulit pipi Yoga. Mata Yoga terbuka. Tak seberapa sakitnya dibanding hatinya sekarang. Luka di hatinya masih terbuka menganga akibat melihat undangan pernikahan Erika, dan sekarang ditambah dengan rasa bersalah karena telah melukai hati perempuan sebaik Tania.

Tania menangis dan pergi meninggalkan Yoga.

Yoga terdiam tak bergerak.

Aku pantas mendapatkan ini.

Aku bahkan pantas mendapatkan yang lebih buruk dari ini.

Seorang Erika dan seorang Tania terlalu baik untuk laki-laki brengsek sepertiku.

Laki-laki brengsek hanya pantas dengan perempuan brengsek.

***

Yoga 'melarikan diri' ke sebuah pulau kecil yang adalah salah satu dari pulau milik keluarganya.

Tentu saja dia tidak benar-benar sendirian di sana. Dia membawa serta 5 pelayan dan 1 orang koki.

Berhubung villa di sana jarang ditinggali, pastinya perlu pembersihan besar-besaran, sebelum seorang tuan muda seperti Yoga bisa tiduran santai di kasurnya yang empuk.

Tak banyak yang bisa dilakukannya di sana. Alih-alih mendapatkan ketenangan yang dicarinya, lebih tepat jika dikatakan bahwa dia di sana hanya untuk meratapi nasib. Duduk di tepi pantai sendirian dengan mata menerawang menatap matahari terbit dan tenggelam. Sambil sesekali menangis memikirkan masa lalunya bersama Erika. Dia sendiri merasa dirinya menyedihkan. Dan dia masih berharap pelariannya ini bisa mengobati hatinya.

Dua minggu berlalu dengan cepat, dan saat Yoga kembali ke 'dunia nyata', dia sama sekali tidak menjadi laki-laki yang lebih baik.

***

Di sebuah parkiran tempat hiburan malam, di kursi belakang mobil sport berwarna merah, tubuh pasangan itu saling berdempetan.

Baru kali ini Yoga menjalin hubungan dengan seorang wanita yang sangat agresif. Wanita itu menimpa tubuhnya dan menciumi bibirnya dengan penuh gairah.

Yoga sadar kalau jemari wanita ini menyusup ke sela kemejanya dan perlahan wanita itu berusaha membuka kancing bajunya.

Yoga menggenggam pergelangan pacarnya. "Eits," kata Yoga, mencegah tangan wanita itu melanglang buana terlalu jauh.

Wanita bernama Grace itu nampak kesal. "Yang kayak gini gak boleh juga, sayang?" tanyanya kecewa.

Yoga menggeleng. "Gak boleh," jawab Yoga singkat.

"Ah ... kamu mah payah! Masa pacaran isinya cuma ciuman, pelukan sama pegangan tangan aja. Grepe-grepe dikit aja gak boleh!" omel Grace.

"Ya udah kalo nggak mau. Kamu cari aja pacar lain gih sana," sahut Yoga enteng.

Wanita itu segera merajuk sambil menyentuh kemeja Yoga. "Iiihh, sayang. Kamu kok gitu sih? emang siapa yang mau putus sama kamu?" Kata Grace manja, tidak rela kehilangan Yoga. Buatnya, punya pacar seganteng dan sekaya Yoga adalah rezeki nomplok.

Yoga menanggapi dengan malas. "Ya ya. Coba kamu minggir dulu. Aku mau duduk," perintah Yoga.

Grace memberi ruang untuk Yoga sehingga dia bisa duduk. Yoga menghela napas dan merapikan rambutnya dengan jari. Rambutnya sudah mulai panjang, walau belum sepanjang saat SMA. Dia berpikir akan memotong rambutnya lagi. "Berantakan. Mana sempit di sini," gumamnya.

Grace mendengkus. "Salah siapa gak mau diajak ke hotel??" kilahnya.

"Aku gak mau. Kalo kamu segitu penginnya, cari sana laki-laki lain yang mau ke hotel. Aku gak peduli, kok," kata Yoga tak acuh.

Alis Grace berkerut. Baru kali ini dia punya pacar seaneh ini. Pacar macam apa yang menyarankan hal seperti itu? Menyuruhnya cari laki-laki lain yang mau ke hotel? Tapi tunggu. Itu tidak seburuk kedengarannya. Mungkin itu ide bagus, pikirnya.

Grace membelai pundak Yoga dan menyandarkan kepalanya di bahu Yoga. "Sayang," ucapnya manja.

Yoga menjawab datar, "hm?"

"Besok anterin aku ke bandara ya," pinta Grace.

"Kamu ada jadwal terbang?"

"Iya. Terus lagi, aku mau kenalin kamu ke temen-temenku," imbuh Grace.

Yoga menjawab singkat, "iya."

"Yes! Makasih, sayang!" seru Grace girang, lalu mendaratkan kecupan di bibir Yoga.

"Emm --," gumam Grace ragu,Seperti masih ada yang ingin Grace katakan, tapi malu-malu.

"Apa lagi?" tanya Yoga malas.

Tangan Grace melingkar di leher belakang Yoga. "Uang shopping-ku jangan lupa ditransfer ya, sayang," pinta Grace dengan kedipan mata.

"Ya," jawab Yoga tersenyum sinis.

"YESSSS!!! MAKASIH, SAYANGKUUU!!!" pekik Grace dengan kegembiraan meluap-luap. Dia menimpa tubuh Yoga dan kembali 'menyerang' pacarnya dengan ciuman membabi buta.

Yoga berusaha lepas dari ciuman Grace.

"Hmmmff -- HEY!! Aku baru aja rapiin rambutku!! Dasar nenek lampir!!" maki Yoga.

"Kamu tuh aneh banget tau gak? Laki-laki itu biasanya seneng kalo aku giniin. Cuma kamu aja yang malah marah, terus panggil aku nenek lampir. Kamu udah gila kali, ya?" komentar Grace dengan tampang heran.

"IYA! Aku emang GILA! Dan kamu, nenek lampir, sama GILA-nya denganku!" tukas Yoga.

***

Seperti yang Yoga pikirkan sesaat setelah putus dari Tania, dia merasa kalau dirinya bukanlah laki-laki baik yang pantas untuk mendapatkan perempuan baik-baik.

Setelah Erika menikah dengan pria lain, Yoga tidak punya pilihan lain selain terus hidup. Hatinya tercabik dan kosong. Dia merasa harus mengisinya. Dan dia perlu sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dari Erika. Di antara dua pilihan, minuman keras / obat-obatan /narkoba dan wanita, dia memilih wanita. Obat-obatan, menurutnya adalah pelarian yang bodoh. Meracuni diri sendiri adalah perbuatan bodoh. Tapi dia juga tidak yakin, apakah pelarian dengan main wanita sama bodohnya?

Jika Yoga mengencani wanita baik-baik, dia tidak tega melukai hati mereka. Akhirnya suatu malam dia tidak menolak saat diajak koleganya ke tempat hiburan malam. Seorang dengan penampilan seperti Yoga tidak perlu melakukan usaha apapun untuk mendapatkan seorang wanita. Merekalah yang datang sendiri padanya seperti serpihan besi menempel pada magnet.

Grace a.k.a 'nenek lampir' adalah wanita pelariannya yang pertama. Yoga merasa wanita itu membosankan. Jadi Yoga hanya sebentar bersamanya, dan dia mencampakkannya dalam empat bulan. Setelah Grace, beberapa wanita dengan tipe serupa datang silih berganti dalam hidup Yoga.

Gito merasa khawatir pada kebiasaan baru sahabatnya, dan suatu hari dia menasehatinya.

"Yoga, mau sampai kapan kamu seperti ini?" tanya Gito iba Siang itu di akhir pekan, Gito sedang berkunjung ke rumah Yoga.

"Apa maksudmu, To?" tanya Yoga yang sedang menatap layar ponsel. Membalas pesan dari pacar barunya yang bernama Riska.

Gito menghela napas.

"Maksudku wanita-wanita itu, yang kamu pacari belakangan ini," jawab Gito.

Yoga meletakkan ponselnya di atas meja.

"Memangnya mereka kenapa?" tanya Yoga lagi.

"Aku gak peduli dengan mereka. Aku peduli padamu, Yoga! Gimana kalo mereka kasih pengaruh buruk ke kamu??" kata Gito dengan alis berkerut cemas.

Yoga tersenyum santai.

"Jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya. Mereka hanya sekumpulan wanita bodoh yang haus dengan belaian laki-laki dan materi. Aku cuma 'main-main' sebentar dengan mereka," komentar Yoga enteng.

Gito menatapnya sedih. "Tapi Yoga, kalau kamu bermain api, kamu bisa terbakar," ucap Gito menasehati sahabatnya.

"Aku bisa menjaga diriku. Biar gimanapun, aku tau 'batas'nya. Aku gak akan kebablasan," kata Yoga yakin.

Gito tidak memperpanjang nasehatnya. Yoga sudah bukan anak kecil lagi. Dia tidak mau memaksanya dan hanya bisa memberi saran.

Yoga memang bukan muslim yang taat beribadah. Ayahnya juga sama. Yoga dekat dengan Bastian, tapi Bastian bukan seorang muslim.

Dulu Gito sering mengingatkan Yoga untuk salat wajib lima waktu sebisanya. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Lama kelamaan Gito merasa tidak enak. Dia tidak mau menasehati Yoga terlalu sering, dan tidak mau terkesan memaksa.

Lega rasanya saat pertama Gito tahu kalau kantornya tak jauh dari kantor Yoga. Tak sekalipun dia absen menyambangi Yoga di kantornya setiap Jum'at siang. Mengajaknya menghadiri ceramah dan salat Jum'at di masjid.

Dan Yoga tidak pernah protes. Dia sebenarnya bersyukur. Ceramah dan salat Jum'at yang hanya sekali dalam seminggu itu, adalah satu-satunya tali penghubung antara dia dengan agamanya.

.

.

***