webnovel

Bagian 25 (Amarah)

.

.

"Bagaimanapun, dia Ayahku."

.

.

***

Tangan Yoga gemetar di meja. Kepalanya tertunduk ke lantai. Dengan gerakan tiba-tiba, layar laptop ditutup dengan kasar hingga berbunyi keras. Dia mengangkat laptop itu dan melemparnya jauh ke udara hingga akhirnya jatuh menghantam dinding yang jaraknya sekitar 5 meter.

PRAKKKK!!!

Hantaman itu membuat layar dan bagian keyboard terbelah dua dan komponennya terserak di lantai.

Yoga menutup mulutnya masih dengan tangan gemetar, lalu menutup wajahnya dan meremas rambut. Ujung matanya merah dan urat nadi di tepi keningnya mulai nampak. Tangannya meraih vas bunga kaca di dan dilemparnya ke sebuah foto keluarga di atas meja console tak jauh dari kursinya. Foto itu terpental ke dinding sebelum akhirnya jatuh berbarengan dengan kaca yang pecah.

Dia kembali menutup wajahnya dengan kedua belah tangan dan berteriak putus asa, "AAAARRGHHH!!!"

Dua orang pelayan berseragam hitam yang lewat di koridor mendengarnya. Mereka saling tatap.

"Ada apa, ya?" tanya salah satu dari mereka.

Suara teriakan terus terdengar dari dalam kamar Yoga, diselingi dengan suara benda pecah dan dilempar.

Salah satu dari pelayan mencoba mengetuk pintu, tapi Yoga tak menyahutinya sama sekali.

"Tuan Muda Yoga. Maaf, Tuan. Ada apa, Tuan Muda?" tanya pria itu. Tak ada jawaban.

Masih terdengar suara teriakan yang terkadang dibarengi dengan benda dilempar. Mereka berdua nampak khawatir, tapi tidak berani membuka pintu kamar Yoga.

"Ayo cepat! Kita panggil Bastian!!" ujar sang pelayan.

Yoga meraih sebuah buku yang tebal dan melemparnya sekuat tenaga ke lampu duduk di atas meja di samping tempat tidur.

"BRENGSEKKK!!!!!!" pekiknya.

Lampu itu terpental ke dinding dan jatuh ke lantai.

"TUAN MUDA!!! ADA APA??"

Yoga bisa mendengar suara Bastian menggedor pintu, tapi dia tak peduli, dan malah melempar buku ke arah pintu.

"TUAN MUDA, MAAFKAN SAYA. SAYA AKAN BUKA PINTUNYA!"

Bastian membuka pintu dan terkejut saat sebuah buku melayang ke arahnya. Dia menangkisnya dengan tangan yang disilangkan di depan wajahnya. Buku tebal itu jatuh ke lantai.

"PERGI!!! PERGIII!!!! AKU BENCI SEMUA ORANG!!! SEMUANYA BRENGSEKKK!!!" maki Yoga lantang.

Bastian pucat melihat Yoga nampak seperti kesetanan. Matanya merah dan urat nadinya keluar. Pipinya basah dengan air mata. Namun Bastian tetap berusaha mendekatinya.

"Tuan Muda, tenang dulu. Ada apa?" tanya Bastian baik-baik.

Napas Yoga tak beraturan. Amarah yang ada di dadanya belum semuanya keluar. Dia tidak tahan! Dia harus mengeluarkan semuanya! Tangannya lagi-lagi mengambil sebuah buku besar dan melemparnya ke arah langit-langit. Buku itu menghantam lampu gantung kristal dan terdengar suara kaca pecah.

"PRANGGGGG!!!!"

Serpihan kaca berjatuhan dari lagit-langit ke lantai dan membuat dua orang pelayan berteriak ketakutan. Bastian berusaha melindungi kepalanya dari serpihan kaca. Dia menoleh ke pelayan di belakangnya.

"TELEPON TUAN BESAR!! SEKARANG!! MINTA BELIAU DATANG SEKARANG JUGA!!!"

***

Mendengar situasi darurat, Dana datang seecepatnya ke rumah. Dua pelayan menyambutnya dan berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Mereka sedang berjalan cepat di koridor. Apa ini, pikirnya? Yoga mengamuk? Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Bastian berdiri di luar pintu kamar Yoga yang sengaja dibukanya. Dia khawatir jika tidak diawasi, Yoga bisa melukai dirinya sendiri.

Bastian nampak lega melihat Dana sudah datang.

"Ah, Tuan Besar, syukurlah anda sudah datang. Kami kewalahan. Tuan Muda Yoga -- kami tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tadi saat Tuan Muda datang, dia terlihat buru-buru berlari ke kamar. Lalu tak lama kemudian, ini terjadi," jelas Bastian.

Dana memberi isyarat tangan, berusaha menenangkan Bastian. Dana memunculkan dirinya di depan pintu kamar Yoga.

"YOGA!!! APA-APAAN INI!!! TENANGKAN DIRIMU!!" teriak Dana bertolak pinggang.

Mendengar suara ayahnya, Yoga sempat berhenti sesaat. Matanya melebar saat melihat ayahnya di depan pintu. "Ayah," gumamnya.

"HENTIKAN KEGILAAN INI!! JANGAN SEPERTI ANAK KECIL!!" bentak Dana.

Tangan Yoga meraih lampu duduk yang terjatuh di lantai dan melemparnya ke arah ayahnya. Dana terkejut bukan kepalang. Dia masih sempat menjadikan kopernya sebagai tameng. Lampu itu terjatuh ke lantai.

"INI GARA-GARA AYAH!! SEMUANYA GARA-GARA AYAAHHHHH!! BRENGSEEEEKKKK!!!!" maki Yoga kasar.

Yoga kembali melempari barang-barang ke arah ayahnya. Bastian berusaha melindungi Dana.

"TUAN MUDA YOGA!!! TOLONG TENANGLAH!!" pinta Bastian.

"YOGA!!! KAMU SUDAH GILA, YA?? AKU INI AYAHMU!! BERANINYA KAMU MELEMPARI AYAHMU SENDIRI!!" teriak Dana jengkel.

Kondisi itu terus berlangsung, hingga akhirnya mereka memutuskan menutup pintu kamar Yoga. Suara teriakan frustasi dan benda dilempar masih terus terdengar. Bastian berusaha memutar otak.

Dia berbisik pada Dana, "Tuan, bagaimana kalau saya panggil Tuan Muda Gito?"

"Gito?? Ya sudah!! Panggil saja dia kemari!! Pusing kepalaku!!" omel Dana. Capek pulang kerja, bukannya disambut malah disambit anak sendiri.

***

Gito sangat terkejut ketika Bastian menghubunginya malam-malam begini. Situasi darurat katanya. Yoga mengamuk. Yoga mengamuk? Mengamuk seperti apa, sampai seisi rumahnya tak ada yang sanggup menenangkannya?

Gito datang berlari di koridor bersama Bastian. Dana masih berdiri di luar pintu kamar Yoga.

"Om," kata Gito menunduk memberi salam. Dana menepuk punggung Gito. "Maaf malam-malam begini mengganggumu, Gito," kata Dana.

"Enggak apa-apa, Om," ujar Gito menggeleng.

Gito terdiam mendengar suara teriakan Yoga dan lemparan benda-benda keras dari dalam ruangan. Dia menelan ludah.

"Beginilah kondisinya sejak tadi. Apa kamu bisa coba bicara pada Yoga? Siapa tahu kalau kamu yang bicara, dia mau mendengarkan," pinta Dana.

"Saya akan coba, Om," jawab Gito sebelum menyentuh gagang pintu kamar Yoga.

Sementara di belakangnya, Dana berbisik pada Bastian, "kalau Gito gagal, kita cari ustaz yang bisa ngusir setan!"

Alis Bastian berkerut mendengarnya.

Pintu kamar Yoga sudah terbuka lebar.

"Yoga, ini aku, Gito," sapa Gito was-was.

Yoga sedang melempar tempat lilin ke arah dinding. Dia berhenti sesaat dan melirik temannya sebentar. Matanya menangkap sosok ayahnya di belakang Gito.

Tangan Yoga meraih foto keluarga dan berjalan ke arah ayahnya. Gito merinding melihat Yoga yang mirip orang kesetanan. Belum pernah dilihatnya mata Yoga semerah ini, dan urat nadinya muncul semua.

Foto itu dilempar Yoga ke arah Dana, dan nyaris mengenai kening Dana, kalau tak ditepis oleh Gito.

"YOGA, TENANG!! JANGAN MELEMPARI AYAHMU!!" pekik Gito.

Yoga kembali mengambil buku yang terjatuh di lantai. Dan bersiap untuk melemparnya lagi ke ayahnya.

"BIAR SAJA!!! INI SEMUANYA GARA-GARA DIA!! IBU PERGI GARA-GARA DIA!! DAN SEKARANG ... ERIKA!!!" jerit Yoga kembali menangis dan membuat pipinya semakin basah.

Erika?? Gito bingung mendengar nama Erika disebut. Nama itu sudah lama tak disebut Yoga. Dan bukankah Yoga pacaran dengan Tania, sepupunya? Apa yang terjadi sebenarnya? Yoga tak pernah menampakkan padanya kalau mereka berdua ada masalah.

Yoga melempar buku besar itu ke arah Dana, dan kali ini Bastian yang menepis buku itu dengan tangannya.

"AYAH BISA AMBIL SEMUANYA!! MOBIL MEWAH, RUMAH MEWAH, UANG BANYAK, EGO, KESOMBONGAN AYAH!!! AMBIL SEMUANYA!!! AKU GAK BUTUH ITU SEMUA!! BUATKU, SEMUANYA SAMPAHHH!!!"

Yoga kembali melempari ayahnya. Kali ini dengan vas bunga. Bastian kembali melindungi Dana. Dia menyadari ekspresi sedih di wajah Dana setelah mendengar kalimat terakhir Yoga.

Bagaimanapun, dia merasa 'kerajaan' raksasa yang dibangunnya selama ini adalah jerih payahnya. Satu-satunya yang bisa dia banggakan dari dirinya. Selain dari itu, dia hanya punya Yoga. Istrinya sudah meninggalkannya. Sangat menyakitkan mendengar kalimat itu keluar dari anaknya sendiri.

Bastian merasa harus membela Dana. "TUAN MUDA!!! ANDA TIDAK BOLEH BICARA SEPERTI ITU PADA AYAH ANDA!!"

Yoga nampak tak peduli. "KEMBALIKAN SAJA IBUKU!!! KEMBALIKAN ERIKA!!!"

Yoga hampir melempar buku ke arah ayahnya, ketika Gito menahan tangannya.

"SUDAH!!! BERHENTI, YOGA!!!" pekik Gito. Tenaga Yoga sangat kuat. Seperti tenaga dua atau tiga orang dewasa. Gito bingung bagaimana cara menahannya. Dia akhirnya merangkulnya. Seperti yang dulu pernah dilakukannya saat Yoga kehilangan Ibunya.

"SUDAH, YOGA!!! HENTIKAN!!" kata Gito, kali ini terdengar lebih seperti memohon.

Mata Yoga melebar. Tangannya berhenti melempar. Dia ingat suasana ini mirip saat dia kehilangan Ibunya.

"Istigfar, Yoga. Istigfar. Astaghfirullahal'azhiim ... astaghfirullahal'azhiim," ulang Gito.

Buku besar di tangan Yoga terjatuh di lantai, bersamaan dengan air matanya. Kalimat istigfar itu membuatnya merasa ingin beristirahat.

Bastian, Dana dan dua orang pelayan terdiam menatap mereka.

Gito melonggarkan pelukannya dan menatap mata Yoga yang masih merah.

"Ada apa, Yoga?" tanya Gito.

Yoga melihat kekhawatiran di mata sahabatnya.

"Erika," jawab Yoga.

"Erika?" tanya Gito heran.

"Erika akan menikah," lanjut Yoga.

Alis Gito berkerut. Dia memang melihat undangan pernikahan Erika di-posting di grup. Jadi semua kekacauan ini karena itu? Jadi, setelah empat tahun, Yoga masih belum bisa melupakannya? Apa yang terjadi antara Yoga dan Tania? Apa mereka ada masalah? Ya ampun, Yoga, batin Gito.

"Dia akan jadi milik laki-laki lain. Aku gak bisa -- aku gak bisa terima," kata Yoga dengan air mata kembali menderas.

Gito kembali merangkulnya dan Yoga menangis lama hingga air matanya terkuras habis.

Semuanya membeku menatap drama itu yang akhirnya usai. Di tengah kamar yang porak poranda, lampu kristal yang pecah, dan semua barang hancur berantakan.

***

Sekitar sejam kemudian, Yoga akhirnya tidur di kasurnya. Gito merasa tidak bisa meninggalkannya. Dia minta izin untuk menginap, dan Bastian menyiapkan kasur lipat yang dibentang di lantai kamar Yoga, yang sebenarnya masih kacau balau.

Bastian bicara dengan suara pelan. Khawatir membangunkan Yoga.

"Tuan muda Gito, apa seperti ini tidak apa-apa? Maaf, ruangan ini belum sempat dirapikan," kata Bastian.

"Enggak apa-apa. Jangan khawatir. Saya cuma menginap semalam saja. Terima kasih sudah disiapkan kasur," jawab Gito.

Bastian mohon diri dan menutup pintu kamar.

Karena semua lampu di kamar Yoga sudah dia hancurkan, penerangan hanya dari sinar bulan dan cahaya lampu taman yang masuk melalui jendela kaca.

Gito menghela napas lelah. Dia melihat wajah Yoga yang sedang tidur. Sisa air mata masih mengalir jatuh ke kasurnya.

Yoga ... Yoga. Kamu benar-benar kacau.

Gito ingin tidur, tapi lalu merasa ingin ke toilet. Dia bangkit dari kasurnya dan berjalan ke kamar mandi. Pintu kamar mandi ditutup.

Tak lama, Dana membuka pintu kamar Yoga. Seberkas garis cahaya masuk ke dalam ruangan yang remang. Kaki Dana melangkah mendekati putra tunggalnya yang sedang tidur.

Perlahan dia duduk di tepi kasur, memerhatikan wajah Yoga. Jejak warisan Claire nampak jelas di wajahnya yang semi Brazil. Jemari Dana mengelus kepala Yoga perlahan.

"Kamu tahu kenapa Ayah tidak menikah lagi, Yoga?" kata Dana pelan.

Ruangan sunyi tanpa jawaban.

"Karena Ayah cuma ingin Ibumu sebagai istri ayah. Ayah tidak mau yang lain," kata Dana menjawab pertanyaannya sendiri.

"Tapi Ayah membuat kesalahan besar. Dan semuanya tidak bisa diputar balik. Ayah minta maaf, Yoga. Maaf kamu kehilangan Ibumu karena Ayah," lanjut Dana dengan suara bergetar.

Air mata Yoga mengalir di sudut matanya. Dia sebenarnya belum benar-benar tidur.

Gito terdiam. Dia sudah selesai sejak tadi di kamar mandi, tapi sengaja menunda keluar. Dia tahu Dana ada di kamar Yoga.

Setelah Dana keluar dari kamar Yoga dan menutup pintu, barulah Gito membuka pintu kamar mandi.

Gito memperhatikan Yoga yang meneteskan air mata. Seperti yang selalu dikatakan Yoga,

"Bagaimanapun, dia Ayahku."

.

.

***