webnovel

Bagian 12 (Catatan Erika)

.

.

Aku menyadarinya. Hubungan ini tidak normal.

Tapi apa yang harus kulakukan? Sungguh aku tidak tahu.

.

.

***

Hari ulang tahun Yoga ...

Jam pulang sekolah. Aku membantu Yoga membawakan dua plastik besar berisi kado ulang tahun dengan beragam warna bungkusnya. Aku tidak percaya ini. Aku tahu dia populer, tapi please, deh. Masa' anak perempuan yang kasih dia kado sebanyak ini??

Yoga tadi siang mentraktir teman-temannya dua kali. Sekali untuk anak-anak sekelasnya. Dan sekali untuk teman-temannya yang biasa nongkrong dengannya di kantin. Tadi siang beberapa staf restoran steak dan salad yang terkenal, datang ke sekolah, diiringi tatapan kagum anak-anak di koridor.

Mereka berbisik.

"Wow. Siapa yang pesen makanan mewah itu ya??"

"Itu lho. Yoga anak IPA 10. Dia ulang tahun hari ini."

"Waahh ... aku mau jadi temen sekelasnya!"

Yang kasih dia kado bukan cuma teman sekelasnya, tapi anak kelas lain juga. Bahkan tadi kudengar ada anak dari sekolah lain, menitipkan kado lewat pak satpam. Buat Yoga - IPA 10 katanya. Diselipkan pesan ucapan selamat yang sudah sempat kubaca tadi. Di akhir ucapannya ada gambar kecupan bibir. Hiiihhhh NYEBELIN BANGET!!! Apa mereka tidak tahu kalau aku pacarnya??

Yoga memperhatikan wajah kesalku.

"Sayang, biar aku aja yang bawa," kata Yoga.

Aku segera merubah ekspresi wajahku. Khawatir kalau dia berpikir aku tidak ikhlas membawakan barangnya.

"Oh enggak. Biar aku aja. Ini gak berat, kok," kataku.

Kami sudah memasukkan kado-kado itu ke dalam mobil. Aku duduk di kursi depan sambil menghela napas.

Yoga sedang bersiap menyalakan mesin mobil.

"Kita ke tempat lesmu?" tanya Yoga.

"Enggak. Hari ini libur," jawabku.

Yoga menoleh padaku.

"Eh?" seru Yoga kaget. Karena biasanya jadwal lesku hanya libur di tanggal merah. Dan hari ini bukan hari libur nasional.

"Aku meliburkan diri. Hari ini 'kan hari spesial," kataku tersenyum penuh arti padanya.

Yoga terlihat senang seperti anak kecil. "Oh ya?? Asiikk. Nanti kita makan malam di luar, ya??" rengeknya.

"Iya. Aku udah izin sama Ibu," ucapku.

"Trus sekarang kita ke mana dulu, ya?" tanya Yoga.

"Kita ke rumahku dulu, yuk. Aku 'kan juga mau kasih kado buat kamu," kataku tersenyum lebar.

"Aku jadi gak enak. Kamu gak perlu repot-repot, Erika. Cuma karena anak-anak itu kasih aku kado, bukan berarti kamu juga harus kasih. Aku gak dikasih kado dari kamu juga gak apa-apa kok. Maksudku, ada kamu di sampingku juga aku sudah senang," ucap Yoga malu-malu.

Aku memperhatikan gerak-gerik Yoga yang menggemaskan. Ingin kucubit rasanya.

"Enggak, kok. Aku emang mau kasih kado buat kamu. Yuk, berangkat," kataku bersemangat.

***

Aku meletakkan benda itu dengan hati-hati di atas meja teras rumahku. Sengaja kubawa ke teras, karena khawatir akan mengotori meja ruang tamu.

Alis Yoga berkerut, saat melihat benda besar itu tertutupi oleh kain hitam. "Apaan nih, sayang? Kok mirip perlengkapan sulap? Dalamnya kelinci?" tebaknya acak.

Aku tersenyum. Kelinci? Coba tebak lagi, kamu sudah dekat.

Tiba-tiba terdengar suara eongan dari dalam benda itu.

"Yah ketauan deh!" kataku tertawa.

Yoga menyingkap kain hitam itu. Dari suara yang didengarnya barusan, dia sudah tahu kalau di dalamnya adalah seekor kucing, tapi dia tidak menyangka kucing itu adalah anak kucing persia yang berwarna putih polos. Dilihat dari penampakannya, kelihatannya betina. Bulunya terlihat sangat lebat dan panjang.

"Ya ampun Erika. Ini kucing persia! Bukannya harganya mahal? Kamu gak apa-apa kasih aku kucing ini?" tanya Yoga dengan raut khawatir.

"Gak apa-apa, dong. Aku 'kan emang mau kasih ke kamu," kataku enteng.

Aku menghabiskan akhir pekanku kemarin dengan berkeliling mencari anak kucing persia di toko hewan. Kupilih yang terbagus yang ada di sana. Harganya lumayan hingga aku mengeruk tabunganku yang jumlahnya tak seberapa itu. Tapi aku senang dengan kucing yang kupilih. Warnanya putih polos, bulunya lebat dan panjang, matanya berwarna biru muda. Dengan hidung kecil berwarna pink membuat kucing itu terlihat sangat imut.

"Aku sendiri yang pilih. Entah kenapa, waktu pertama lihat kucing ini, aku ingat kamu. Dia putih dan terawat sepertimu. Bulunya panjang dan halus, mirip rambutmu," ucapku terkikik.

Yoga tersenyum. "Kalo gitu, aku namain 'Yoga' aja, apa ya?" tanya Yoga.

"Yee jangan doong. Dia 'kan betina!" protesku.

"Kalo gitu namanya 'Erika'," putus Yoga tanpa pikir panjang.

"Yoga, kamu kurang kreatif, deh. Cari nama lain, dong!" kataku malu membayangkan Yoga mengelus kucing itu sambil memanggil namaku.

"Gak mau, ah. Kunamain Erika aja. Suka-suka, dong. Dia 'kan udah jadi kucingku," ujar Yoga.

Aku tersenyum mendengar Yoga menyebut 'kucingku'. Tapi dalam beberapa detik, tatapan Yoga ke kucing itu seolah menyiratkan dia terbebani. Apa itu cuma perasaanku?

"Maaf aku kasih kamu kucing sebagai kado. Kuharap kucing ini gak bikin kamu repot," kataku sungkan.

Yoga terlihat kaget dengan pernyataanku.

"Kok kamu ngomong gitu? Enggak dong, sayang. Ini 'kan hadiah dari kamu. Mana mungkin hadiah dari kamu bikin aku repot?" sanggahnya.

Kami saling melempar senyum. Yoga celingukan ke dalam rumah, seperti memastikan kalau ibuku masih di dapur. Tiba-tiba Yoga memelukku dan mencium keningku dengan lembut. "Makasih kadonya ya, sayang," bisiknya di telingaku.

Aku tertunduk malu. Mataku menatap kucing yang sekarang bernama sama denganku. Aku berharap, usahaku ini tidak sia-sia.

***

Sembilan bulan sejak aku dan Yoga bersama ...

Sejak dua bulan lalu saat aku menghadiahi Yoga seekor kucing, kuperhatikan Yoga sangat jarang membicarakan 'Erika', kucing itu. Dia hanya menjawab kalau aku bertanya. Membuatku merasa kalau dia sebenarnya mungkin tidak suka dengan hadiahku. Mungkin ini salahku. Padahal aku sudah menduga kalau dia tidak suka kucing. Yoga selalu protes kalau aku mengelus-elus kucing liar. 'Kotor', 'Kamu bisa kena penyakit'. Begitu katanya. Dan biasanya dia akan menyuruhku cuci tangan segera.

Tapi kupikir itu karena kucing liar. Kalau kucing persia, kupikir sikap Yoga akan lain.

Siang itu saat sedang duduk bersama Yoga di bangku luar kelas, karena rasa penasaran, aku menanyakan kabar kucing itu.

"Yoga, gimana kabar 'Erika'?Eh ... maksudku, kucingmu?"

Aku bingung melihat Yoga memalingkan wajahnya.

"E-eeh -- itu --," gumam Yoga gugup.

"Kenapa, Yoga?"

Yoga menarik napas sebelum akhirnya berkata jujur, "'Erika' --kucingku, dia ... mati. Kemarin."

Aku terdiam. Dia bercanda, 'kan? Aku baru dua bulan lalu memberikan kucing itu padanya.

"Mati? Kenapa?" seruku syok.

"Uh ... kemarin aku buka kandangnya, kupikir dia pasti bosan kalau di dalam kandang terus. Jadi aku biarin dia jalan-jalan. Kutinggal dia di taman, aku buru-buru mandi. Aku bermaksud akan masukin dia lagi ke kandang setelah selesai mandi. Ternyata, 'Erika' bisa nyelip ke lubang di bawah pintu gerbang, dan dia mati terlindas mobil yang lewat," jelas Yoga.

Aku membayangkan kucing putih kecil yang lucu itu mati dengan cara mengenaskan. Aku menutup bibirku dan air mataku berjatuhan tanpa bisa kutahan.

Yoga mengelus punggungku. "Oh ... Erika. Sudah. Jangan nangis, sayang," ucapnya menghiburku.

"Aku sudah suruh Bastian untuk menguburnya di taman.Bastian adalah kepala pelayan di rumahku," kata Yoga.

"Aku ngerasa bersalah sama kamu, soalnya 'Erika' kado ulang tahun dari kamu," ucap Yoga.

Aku terdiam. Hanya itu kah yang dia rasa? Hanya karena merasa tidak enak padaku yang telah membelikan anak kucing itu sebagai hadiah ulang tahunnya?

Aku memalingkan wajahku dan menatap kosong ke lantai. Semenjak itu, anak kucing itu tak pernah kubahas lagi dengannya.

***

Setelah aku melihat cara Yoga merespon kematian kucingnya, aku jarang tertawa. Di kelas pun aku diam saja. Di rumah juga sama.

Dan setiap jalan bersama Yoga, pikiranku tidak tenang. Setiap kali pelayan atau tukang parkir, datang menghampiri kami, aku ketakutan.

Aku memberikan tatapan berharap pada mereka sambil berpikir, 'tolong jangan buat kesalahan. Jangan buat kesalahan.'

Aku begitu takut sesuatu yang tidak disukai Yoga terjadi, dan Yoga akan kembali 'meledak'.

Aku menyadarinya. Hubungan ini tidak normal. Tapi apa yang harus kulakukan? Sungguh aku tidak tahu.

***

Ratih ada di depanku. Kenapa dia menatapku dengan tatapan iba seperti itu?

"Erika ... ERIKA!!" pekik Ratih.

"Eh?" sahutku tersadar dari lamunan.

Kelas sudah sepi. Anak-anak bubar ke kantin. Ternyata di depanku bukan hanya ada Ratih, tapi juga Esti.

"Lho? Ti? Sejak kapan kamu di sini? Kok aku gak liat kamu dateng?" tanyaku pada Esti.

Ratih dan Esti saling lempar pandang dengan ekspresi khawatir.

Ratih yang menjawab pertanyaanku, "ih ni anak! Esti dari bel istirahat udah ke kelas kita, Erika! Kamu kok jadi sering bengong gini, sih?"

Esti menyentuh pundakku. "Erika, aku dan Ratih mau tanya sama kamu. Apa kamu lagi ada masalah di rumah?" tanya Esti hati-hati.

"Di rumah? Enggak, kok," jawabku.

Lagi-lagi Esti dan Ratih bertatapan. Giliran Ratih bertanya, "kalo gitu, apa kamu lagi ada masalah sama Yoga?"

Mendengar nama Yoga disebut dan dikaitkan dengan kata 'masalah', raut wajahku berubah. Kutatap kedua temanku yang menatapku balik dengan cemas. Rasa haru menyusup ke hatiku.

Air mataku menetes tanpa bisa kutahan. "Maaf ... maaf. Aku gak bisa cerita soal ini ke kalian," kataku. Bukannya aku tidak mau cerita pada mereka, tapi jika aku cerita, aku merasa seolah membongkar aib Yoga. Biar bagaimana, aku cinta anak aneh itu. Aku tidak ingin dia dipandang buruk oleh teman-temanku.

Esti dan Ratih merangkulku.

"Enggak apa-apa, Erika. Kami gak maksa, kok. Kalau kamu gak bisa cerita, kami ngerti kok. Sudah, yang sabar ya," ucap Ratih. Ucapan yang manis sekali, yang bisa diucapkan oleh sahabat.

"Kalau kamu perlu kami buat cerita apapun, kami selalu ada buat kamu, Erika. Jangan khawatir. Insyaallah semuanya akan baik-baik aja," kata Esti mengusap pundakku.

Air mataku masih menderai. Merasa sangat beruntung karena punya mereka sebagai temanku.

Kucoba menanamkan dalam-dalam perkataan Esti.

Tenang Erika. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja.

.

.

***