webnovel

Antologi

Isi sesuai judul, kumpulan cerita (cerita pendek, mungkin ada yang sedikit panjang, ada juga yang agak panjang) tanpa benang merah. Suatu kali mungkin ada nama tokoh yang sama, itu hanya karena Author malas berpikir. Suatu kali mungkin ada cerita yang seolah tersambung ke cerita lain, itu hanya karena Author kurang kreatif. Satu cerita mungkin akan sangat kamu benci, tapi bisa jadi kamu akan jatuh cinta pada cerita yang lain. Jadi, silakan menikmati…

NurNur · Fantasy
Not enough ratings
25 Chs

Kelakar [Teenlit].

Senja. Tentang indahnya tatkala lembayung merona. Tentang cahaya temaram. Tentang detik-detik sang mentari kembali ke peraduannya, berganti gelap.

Aku berdiri di sini. Tidak terhenyak. Tidak pula menatap terpukau, terpesona, atau penuh kekaguman. Aku justru sedang mengutuk. Sumpah serapah merancau terkulum. Aku terkurung dalam kemelut kebencian nestapaku.

Rupaku dipenuhi bulir-bulir air yang terus ditumpahkan oleh mataku. Pakaianku dipenuhi bercak kekuningan yang berasal dari air kotor yang sengaja diguyurkan. Dari wajah, ketika aku menengadah hingga basah seluruhnya. Kaki kiriku telanjang tanpa alas. Kurasakan telapakku mendarat di permukaan yang tidak resik. Butir-butir kasar pasir tersebar di setiap langkahku berpijak. Yang kanan masih untung, sebuah kaus yang tidak lagi putih masih membalutnya. Kacamataku yang tidak lagi berbentuk tergeletak tidak jauh dari ranselku. Mataku terpejam. Bibirku gemetar.

Bagaimana bisa aku berada dalam latar pemandangan terbaik dengan keadaan yang begitu menyedihkan.

Angin sedang bersenandung, sepoi, menggulung bersama debu ke udara. "Inilah yang seorang pecundang memang pantas dapatkan." Aku mendengarnya. Sang angin berbisik lembut, menyeringai. Memandangku dengan sinis. Udara di sekitarku pun ikut mencemooh. Semua sama. Sama-sama berengsek!

Pecundang?

Ya. Aku memang seorang pecundang. Aku jengah. Langit tidak akan menungguku pergi dan menjadi gelap. Tiga puluh tiga menit. Rona lembayung telah tenggelam. Petang menyelimut. Akhir dari sebuah keindahan.

Aku berada di bagian paling atas pada bangunan tempat aku seharusnya menuntut ilmu. Tempat yang disebut-sebut menjadi kunci masa depan. Tempat di mana pengetahuan alam dan sosial diletakkan dalam boks yang sama. Tempat di mana otak kanan dan otak kiri diasah dan terus diberi stimulus.

Tapi tidak!

Ini adalah sebuah neraka bagiku. Kumpulan dari semua kepayahan, sikap pongah. Pelampiasan dan himpitan rasa jenuh. Berbagai kelakar perusak, penyebab petaka di masa depan.

Selangkah lagi, aku akan mengakhiri semuanya. Rasa sakit, malu, tidak berdaya. Hanya perlu selangkah lagi dan aku akan terbebas dari rutinitas yang menjemukan ini. Yang pedihnya justru tidak berkurang meski hari demi hari berlalu. Aku mungkin akan merasakan rasa sakit lagi untuk terkhir kalinya. Yang luar biasa menyerang hingga ke ubun-ubun. Ketika ragaku rusak, dan darah tumpah membasahi bumi. Sepersekian detik sebelum nyawaku di angkat ke tempat yang jauh. Tidak, tidak apa-apa.

Aku menghela napas panjang. Kurentangkan tanganku. Bibirku mulai menyebut angka tiga. Pelan. Telingaku sendiri nyaris tidak menangkap suara itu.

Dua. Bibirku bergumam lagi. Kukumpulkan keberanian dengan segala daya dan upaya yang masih tertinggal.

Satu. Lama. Sudah sangat lama aku menantikan hari kebebasanku.

Dan...

Otakku memberi instruksi melompak. Tubuhku serasa terbang. Melayang. Menikmati saat-saat terakhir kebebasanku. Menikmati saat-saat sebelum ragaku membentur bumi. Sebelum rasa sakit untuk terakhir kalinya memenuhi setiap sendiku.

Tapi tidak! Itu hanya ada dalam benakku. Keinginan yang sudah ribuan kali terpikirkan namun nayaliku masih sama ciutnya kali ini. Nyatanya tubuhku tidak melompat ke depan melainkan jatuh ke belakang. Jantungku masih berdetak. Tidak ada darah atau nyawa yang ditarik paksa meninggalkan raga.

Pecundang, ya itulah aku. Jangankan mengangkat tinju untuk membeladiri, mengangkat belati dan menusuk jantung sendiri aku pun tidak mampu.

Brak - Suara pintu di dorong dengan kasar. Mereka. Mereka akhirnya menemukanku.

"Wah, di sini rupanya anak haram ini sembunyi."

Seseorang yang pertama kali menampakkan wajahnya setelah pintu terbuka berkata. Dibanding tiga orang sesamanya yang lain, anak itulah yang tabiatnya paling buruk.

Yuga, anak satu-satunya dari konglomerat terkenal. Paling terkenal di kota ini. Pengaruhnya terhadap sekolah cukup terasa. Ayahnya seorang pengusaha batu bara, sementara ibunya model senior. Kaya dan memiliki wajah maskulin blasteran Jerman. Setiap gadis pasti akan memuja-mujanya. Bermimpi bisa dekat dan menjadi pasangannya. Dia-lah sampah yang sebenarnya.

Walau bukan cenayang, aku bisa melihat dari sikapnya bahwa dia seorang pemakai. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat. Sering berkeringat tiba-tiba, juga perubahan suasana hati yang benar-benar buruk.

"Tidak. Mungkin saja dia sedang berpikir untuk melompat dari atas sini."

Adit. Seorang yang mengenakan kacamata. Dia selalu berpenampilan stylish. Anak seorang pejabat pemerintahan. Kalimatnya manis namun berbisa. Tipe yang bisa membunuh hanya dengan kata-kata. Entah sudah berapa banyak orang yang hidupnya dihancurkan oleh lisannya.

"Dia berani melakukannya?" Randi berkata sinis.

Randi, tubuhnya besar, tegap. Anak seorang kepala kepolisian. Dia yang paling suka mengangkat tinju dari semuanya. Tukang onar. Emosinya sama buruknya dengan Yuga.

Langkah Randi lebar dan cepat, menuju ke arahku. Ditariknya kerah bajuku dengan kasar. Aku berdiri dengan paksa. Leherku tercekik. Meski tahu, dia sama sekali tidak peduli. Selama aku tidak terbunuh semua hanya dianggapnya lelucon. Sesakit apa pun orang yang menerima perlakuannya, semua hanya lelucon baginya.

Masih menarik kerah bajuku, Randi membawaku ke bibir atap lagi. "Kau berani melakukannya? Ayo, tunjukkan!" tambahnya menantangku. Senyumnya tersungging mengejek.

"Aku bertaruh dia tidak mungkin berani melakukannya," Lufi menimpali.

Lufi adalah orang terakhir yang tiba di atap. Tidak seperti ketiga sesamanya, Lufi bukan berasal dari keluarga konglomerat ataupun berkuasa. Dia hanya tinggal bersama ayahnya yang mengelola perusahaan kecil. Bagiku Lufi yang paling menjijikan karena selain suka bertaruh, ia sangat pandai menjilat.

"Ayo, lompat!" Adit mulai memprovokasiku. "Bukannya kamu merasa sangat muak diperlakukan seperti ini? Bukannya kamu tidak tahan? Bukannya ini satu-satunya jalan?" tambahnya berbisik pelan diakhir kalimatnya. Suara tiga yang lainnya saling menyahut. Terdengar sunggut, meradang, dan berceletuk tajam.

Aku memperhatikan bagaimana Adit menatapku. Matanya menggeliat durjana. Senyumnya merekah. Dia bak iblis kecil yang mengerikan. Dia benar-benar ingin aku melompat. Sungguh berharap aku mati. Ingin aku berakhir tepat di depan matanya, saat ini juga.

Mereka merendahkanku. Terus memprovokasiku. Telingaku tidak bisa menangkap dengan jelas setiap kalimat yang mereka ucapkan. Sibuk berkonfrontasi dengan sebagian dari diriku yang lain. Tapi mataku menangkap lekat. Menyekat jauh. Lebih jauh lagi. Gigiku bergemeletuk.

Menatap keempat orang itu, dadaku bergemuruh. Amarah kebencian berdentam kuat bagai di tabuh dengan genderam bertenaga kuda.

Aku akan melompat. Aku akan terjun dengan menarik Randi yang berada paling dekat denganku. Meski tubuhnya kuat, jika aku menariknya tiba-tiba, tidak akan ada daya yang bisa diperbuatnya. Dengan begitu aku tidak akan mati seorang diri. Paling tidak seperempat dari dendamku tertuntaskan. Tawa mereka tidak akan lepas atau pecah membelah langit. Setengahnya akan berubah sendu, pilu. Akhirnya aku bisa melakukan sesuatu. Membuktikan pada langit yang mengumpat, bumi yang bersungut bahwa aku bukanlah pecundang. Aku berhasil membawa salah satu dari mereka abadi bersamaku di neraka.

"Pada dasarnya pecundang tetaplah pecundang." Adit mendesis tajam. Dia berbalik, membayar taruhannya pada Lufi, dan meninggalkan atap lebih dulu.

Aku menyumpahi diriku sendiri. Lagi dan selalu saja. Aku menggepalkan tinjuku hingga bergetar.

Ke mana sembunyinya nyaliku. Kenapa selalu lebur saat amarahku bergema di tepi putus asa. Hatiku bebal, otakku sumbang. Tersisa raga yang telah ringkih saja. Meski menderit penuh rasa sakit, dihujat kalimat laknat, hanya terbenam dalam ribuan serapah yang bermain tangkas dalam persembunyiannya. Bersembunyi di kepalaku.

Randi menarikku turun. Gerakannya yang cepat membuatku terseok. Tidak kuasa mengimbangi, aku terhuyung beberapa kali. Terbentur dinding dan terjerat kaki sendiri. Aku diperlakukan layaknya benda mati. Di seret. Aku tidak lagi menangis. Kering. Air mataku telah jenuh untuk tumpah.

Aku dihempaskan hingga terjerembap di lantai. 24 orang, semua penghuni di kelasku memadati ruangan. Jam kelas tambahan sudah selesai sejak satu jam lalu. Tapi tidak satu pun dari mereka yang beranjak. Entah pulang atau menghabiskan waktu di tempat lain. Beberapa sangat menikmati saat-saat aku di permalukan, di serang secara fisik maupun mental. Beberapa lainnya acuh tak acuh. Sisanya hanya mampu berdoa agar aku segera enyah.

Ini bukan mengenai kasta. Aku bukan si miskin yang kesulitan mencari makan. Yang harus menadahkan tangan, atau memelas kasih orang lain. Ibuku seorang desainer yang rancangannya telah dikenakan banyak publik figur. Model terkenal mana yang belum pernah mengenakan busana rancangan Ibuku. Bakatnya bahkan sudah tersohor sampai Paris dan Milan, dua kota yang dianggap sebagai pusat mode dunia.

Sebelumnya hidupku masih baik-baik saja sampai ibuku kedapatan dekat dengan ayah Adit.

Ibuku memang bukan wanita suci. Tabiatnya yang sering gonta-ganti pasangan sudah sangat dikenal orang-orang dalam kalangan mereka. Ibu Adit berusaha balas dendam. Berusaha menjatuhkannya. Mereka saling bertarung. Saling melemparkan tuduhan, saling caci-maki. Mereka sama-sama angkuh, sama-sama egois. Mereka yang bertarung dan aku yang terluka di sini.

Dari situlah sebutan anak haram bermula. Ketika ibu Adit, mengetahui desas desus masa lalu ibuku. Itu memang benar. Aku anak yang lahir di luar nikah. Tidak kutahu rupa bahkan siapa ayahku. Lingkungan akan mencibir perilaku menyimpang, kuanggap normal. Itu pertanda norma masih berlaku. Aku tahu dan sadar karena hidup dalam tatanan masyarakat seperti itu. Tapi bukan mereka yang berada di kelas ini yang berhak mencibirku. Bukan mereka! Mereka tidak jauh lebih baik dari aku yang anak haram ini.

"Segera selesaikan, jangan membuang waktuku lebih lama di sini!" Ketua kelas angkat suara. Dia adalah orang ketiga yang mengenakan kacamata di kelas. Dia berdiri dan mengepak semua barang-barangnya dan memasukkan sekaligus ke dalam tas.

Ini sungguh bukan mengenai kasta, dan aku bukan penerima beasiswa. Tidak juga di urutan buntut ketika berbicara mengenai ilmu logika. Hebatnya kelas ini adalah kelas cepat. Kelas terbaik yang menjelma menjadi neraka terbaik. Semua karakter menjijikan ada di sini, berkumpul menjadi satu. Hebatnya mereka berilmu sekaligus pandai memanipulasi.

Ketua kelas berada di urutan pertama. Dia jenius. Sikapnya acuh, dingin, dan tidak suka diganggu. Yuga dan Adit awalnya saling mengejar diurutan kedua dan ketiga. Namun sebulan belakangan Yuga justru jatuh dari posisinya dan tidak bergerak di angka lima. Randi di posisi empat, dan Lufi di peringkat enam.

Dengan rangking, dan rata-rata nilai yang seolah melambangkan segala kebanggaan, betapa antusiasnya guru-guru terhadap kelas neraka ini. Betapa sekolah memuji-muji kami. Piala berjejer, IQ tinggi. Pada akhinya kami-lah penerus Negeri ini.

Kelakar, perangai, tabiat, siapa yang bisa melihat, sementara IQ dilambangkan nyata dengan angka.

Penguasaan ilmu dapat membuat kekuasaan dengan cepat masuk dalam genggaman. Negara seperti apa yang akan dibentuk oleh para pembully, masa depan seperti apa yang akan diciptakan oleh para penonton luka, kehidupan seperti apa yang akan terjalin di antara para pendoa palsu, aku tidak bisa berkomentar banyak. Sementara aku sendiri adalah sampah bagi Negeriku. Pecundang tanpa masa depan.

"Berhenti tertawa!!!" Aku memekik dengan kuat. Begitu kuatnya hingga kurasakan urat-urat leherku seolah tertarik dan menegang.

Aku amati wajah-wajah penuh kemunafikan yang bergemericik di kelas yang sama denganku selama setahun ini, di tahun keduaku bersekolah di Sekolah Menengah Atas elit ini. Ada yang berekspresi aneh, terkejut, menjadi antusias, dan hanya menyipitkan mata tetap memandang rendah.

Aku membacanya seolah semua ekspresi itu tertulis di kening-kening mereka dengan tinta hitam tebal. Ketika kusadari, tidak ada satu pun yang tertawa. Sejak awal. Ketika aku tiba di kelas. Mereka hanya mendesis sinis. Saling berbisik dengan tatapan mata penuh rasa kasihan palsu yang begitu menjijikan.

"Kamu bisa berteriak?"

"Bagus! Ini jadi menarik karena akan ada perlawanan."

"Wah, kupikir selama ini kita hanya bermain dengan benda mati, kotor, dan menjijikan. Ternyata benda mati ini juga bisa bersuara."

Suara Yuga, Randi, dan Adit saling menimpali berurutan. Beberapa anak laki-laki yang lain tertawa senang. Mereka akan mulai memasang taruhan bersama Lufi. Menerka-nerka seberapa lamanya congkakku akan bertahan.

Anak-anak perempuan mengeluarkan suara-suara imut. Mereka memberi dukungan layaknya tim sorak. Mereka tidak pernah berani menyentuhku, tapi mereka tetaplah bagian dari neraka ini.

Randi menampar-nampar wajahku berulang kali. Aku menepis dan dia semakin merasa tertantang, bersemangat. Yuga melempariku dengan gumpalan-gumpalan kertas. Adit mengambil keranjang sampah di kelas lain dan di lempar sekaligus ke arahku. Gemuruh tawa menyeruak, membahana, memenuhi hingga setiap sudut.

Puas. Semua sangat menikmati bagaimana aku diintimidasi. Bagaimana aku diperlakukan seperti bukan bagian dari mereka. Pecundang, sampah, kotoran. Saat-saat aku terinjak serendah tanah.

Telingaku mengiang, terlalu penuh dengan cercaan. Otakku muak menyimpan serapah yang tidak kurun kutumpahkan. Inilah batas dari semua rasa lelahku. Rasa sakit yang menggerogoti sabarku dari tiap bait penghinaan yang menghujaniku.

Aku angkat kursi lipat kosong yang tidak jauh dari jangkauanku. Dengan tubuh kurus, tinggi 172 cm, kuhempaskan dengan mudah ke arah Yuga, Randi, dan Adit berdiri.

Prang- ketiganya menghindar sehingga jendela kaca menjadi sasaran. Pecah. Kacanya berserakah ke mana-mana.

Yuga mulai berang. Serpihan kaca yang terpental sedikit menggores wajahnya. Dia menarik kerah bajuku dan menghantamkan bogeman panas ke wajahku hingga kembali tersungkur di lantai untuk kedua kalinya.

Sudut bibirku mengalir darah segar. Rahangku serasa copot. Sakitnya membuat kaku hingga tidak dapat kugerakkan untuk beberapa saat.

Aku kesakitan. Aku menderita. Aku terhina. Aku manusia terbodoh dan aku lemah. Aku tak berdaya. Kuputuskan untuk tidak hanya tinggal diam. Inilah batas akhirku.

Setelah berhasil menguasai rasa sakitku, aku bangun. Nyaliku berhasil menemukan tahta dalam singasananya. Mataku telah buta seutuhnya, kalap. Aku mampu mengudara. Bagai godham aku kuat. Aku menyambar pecahan kaca dan mengacungkannya. Senyumku setipis tekad yang berhasil kubulatkan.

Aku berhasil membalikkan keadaan. Beberapa orang mulai menampakkan wajah ketakutan. Senyum puas mereka beralih samar. Tatapan menggeliat menunjukkan pendar cemas. Tapi tidak! Aku tidak akan memandikan tubuhku dengan darah-darah menjijikan dan munafik mereka.

"Bukankah ini yang kalian inginkan?" Aku menempelkan pecahan kaca di leherku. Siap melakukan tarikan. Membaret, hingga terputus urat nadiku. "Akan kulakukan. Perhatikan dengan jelas saat darahku tumpah. Warnanya yang merah pekat akan melekat kuat. Nodanya akan tetap bertahta abadi. Aroma anyir akan menusuk hidung kalian. Rasakanlah!"

Aku kembali menyunggingkan senyumku. Lagi. Aku bisa merasakan betapa banyak nafas tertahan. Mata-mata yang mulai dipejamkan. Pandangan yang dialihkan. Mereka berusaha mencegahku namun jarak pecahan kaca 0,5 mili telah berada di titik krausial. Waktu bergerak lambat. Aku bisa melihatnya, detik-detik menjelang ajalku. Akhirnya...

*****

Kriiiiiiing-

Aku tersentak bangun dari tidurku. Keningku dibanjiri peluh. Satu, dua. Nafasku berat. Perlu waktu lama untuk mengaturnya hingga kembali normal.

Mimpi?

Mengingat semua rentetan bunga tidur yang begitu panjang yang selesai hanya semalam, aku merasa lelah.

Cermin!

Aku beranjak dari ranjang. Pantulan yang di gambarkan kaca dengan diriku dalam mimpi sungguh sangat berbeda. Rambut, penampilan, semua. Aku amati leherku. Aman. Semua baik-baik saja.

Seandainya alaramku terlambat berbunyi sepersekian detik saja, maka habislah aku. Selesai sudah masa remajaku, ceritaku, mimpiku. Itu bukan dosaku jadi kenapa aku yang harus memikulnya? Kenapa aku harus membiarkan mereka menang dan aku kalah dengan mengenaskan?

Tidak! Harusnya pilihanku berbeda.

Aku menghela nafas. Wajahku pucat dan titik-titik keringat yang belum jua mau menjauh. Tatapan kualihkan. Menyapu seluruh kamar dan terhenti di meja belajar dengan laptop yang masih menyala. 'Kelakar.' Aku membaca judul DVD yang baru kupinjam beberapa hari lalu dari sebuah tempat rental film.

Anak laki-laki dalam mimpiku itu... ternyata ini penyebabnya. Adegannya membenam terlalu kuat hingga masuk dalam mimpiku. Aku mendesis. Kuacak-acak rambutku yang sepanjang bahu.

*****

"Aku pergi dulu, assalamu'alaikum."

"Mina, sarapanmu!"

"Aku sudah terlambat, Kak!"

Aku berlari meninggalkan rumah. Langkahku beradu cepat dengan waktu yang sudah dua menit meninggalkanku lebih dulu. Langit cerah. Mentari tidak menyapa bumi dengan terik yang terlalu membakar. Aktifitas jalan sibuk dan semakin padat. Kepulan asap kendaraan mengudara, mengambil alih, berubah menjadi polusi.

Aku Mina Hariyati, 17 tahun. Tinggal bersama kakak perempuanku. Yatim piatu. Serampangan, tapi bersemangat. Menyukai banyak hal. Ini hari pertamaku pindah ke sekolah baru. Elit. Banyak selentingan mengenai betapa beratnya berada dalam lingkungan sekolah elite. Aku sedikit gugup, juga tidak sabar. Lingkungan bagiku hanya wadah. Bagaimana bisa beradaptasi, semua tergantung pada yang membawa diri.

=END=

Bontang, 26 Mei 2015.