webnovel

Cinta (?) [Romance].

Nuraina, usia 24 tahun, tinggi badan 155 senti. Aku tinggal bersama ayah, ibu, dan adik laki-lakiku. Aku tidak pandai memasak, tidak juga cantik. Aku pemalas karena lebih suka bersantai di kamarku yang nyaman.

Aku tidak banyak memiliki teman akrab karena lebih suka mengurung diriku di rumah. Bekerja di salah satu perusahaan kontraktor listrik menjadi rutinitas keseharianku selain berebut remot televisi dengan adikku.

Berebut remot memang terdengar kekanak-kanakan untuk usiaku. Hal itu sebenarnya bentuk pelarian dari kejenuhan rutinitasku. Karena tidak ada lagi yang bisa kutindas selain adikku. Jika dia tidak terima, aku bisa mengancamnya dengan tidak membayarkan cicilan motornya, atau tidak membayar uang semesternya, atau melaporkan pada pacarnya.

Hah... ternyata aku memang kekanak-kanakan.

Aku dan adikku hanya berbeda dua tahun dan pacar adikku adalah teman dekatku saat SMA.

Aku sangat benci saat Erie –pacar adikku, ke rumah dengan alasan untuk bertemu dengaku. Padahal jelas, seperti yang kukatakan, hanya alasan. Yang sebenarnya ingin dia temui sudah pasti Akbar, adikku. Yang ingin dilihat sudah pasti Akbar, adikku.

Bukannya aku cemburu, bukannya juga tidak ada orang yang kusukai…

"Aku pasti akan datang, aku janji!"

Suara cowok dari masa laluku tiba-tiba mengiang begitu jelas di telingaku. Sangat jelas seolah baru ia katakan beberapa hari yang lalu. Nyatanya, janji itu dibuat 6 tahun lalu.

Seharusnya suara itu sudah memudar karena tertimbun banyak kenangan lain selama beberapa tahun ini, atau bahkan terlupakan. Enam tahun itu, 'kan bukan seperti 6 bulan, 6 hari, 6 jam, 6 menit, 60 detik. Tapi kenapa rasanya masih terdengar sangat jelas.

Aku melirik undangan reuni yang berwarna hijau daun dengan ukiran garis di tepinya, di atas meja, di samping ranjangku. Kuletakkan di atas majalah game, kutindih buku antologi fiksimini, dan kututupi koran yang memang sengaja kuambil dari ruang depan.

Tujuanku repot-repot menyembunyikan udangan reuni tentu saja agar mataku tidak tertuju terus ke sana, dan bisa tanpa sengaja terlupakan.

Tapi tidak! Aku bahkan masih ingat ukiran garis di tepinya yang terputus-putus karena tinta cetaknya tidak bagus. Di ujung atas, sebelah kiri.

Seharusnya, jika aku memang sengaja ingin melupakan undangan reuni itu, dari awal aku robek saja, atau kubenamkan di kloset, atau kubakar dan kubuang ke tong sampah belakang rumah. Harusnya seperti itu. Bukan satu jam sebelum acara dimulai baru kusembunyikan. Berharap lupa.

"Aku pasti akan datang, aku janji!"

"Iya, iya aku tahu!" sentakku seolah orang yang sedang berbicara itu ada di depanku, tengah mendesakku agar segera mengambil keputusan, menikmati saat-saat pergolakan dalam diriku.

Mungkin ini akhirnya. Hari di mana aku harus menagih janjinya, berhenti menunggu.

Sebenarnya aku tidak menunggunya, aku hanya sering teringat cowok menyebalkan itu. Dan menjadi lebih sering setelah menerima undangan reuni sialan itu.

Lantas setelah bertemu bagaimana?

Bahkan kemarin aku sudah merapikan potongan rambutku di salon. Sekalian creambath, hair spa, smoothing, dan facial. Seperti orang bodoh saja. Bagaimana kalau hanya aku yang menunggu hari ini, hanya aku yang bersemangat? Bagaimana kalau dia lupa, tidak datang, atau sudah menikah? Oh astaga…

"Apa aku ini gila, atau idiot!" Aku memaki diriku sendiri.

Kenapa aku bisa memikirkan pertemuan yang menyentuh sementara 6 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Banyak hal yang pasti sudah terjadi dan semua orang bisa berubah.

Sepertinya aku terlalu banyak menonton drama melankonis akhir-akhir ini sehingga berpikir di dunia nyata pun ada dua orang yang sama-sama mau menunggu untuk waktu yang panjang.

Dasar aku!

Tidak sanggup memikirkan kemungkinan lain yang lebih menakutkan, mengerikan, memalukan, atau semacamnya, aku melemparkan diriku ke atas ranjang.

"Aku enggak mau pergi..." Aku mengeluarkan suara yang diisak-isakkan. Aku mengambil selimut dan menyembunyikan diriku.

Aku yang sebelumnya berdiri di depan cermin dengan gaun selutut, dipadankan dengan stocking gelap, dan mekaup yang sudah terpoles, akhirnya menghabiskan waktu hanya dengan meringkuk saja dalam selimut.

*****

Hari tidak cukup cerah karena langit terlihat keabu-abuan. Matahari masih mengintip malu-malu dan angin berembus terlalu sering. Orang-orang di sepanjang jalan berlalu-lalang, tampak sibuk. Beberapa motor dan mobil menumpuk di trotoar karena lapangan parkir tidak muat lagi menampung kendaraan.

"Aina!" Seseorang berseru memanggil namaku.

Meski sebelumnya aku bilang tidak ingin pergi, tapi tahu-tahu saja kakiku sudah menginjak koridor sekolah.

Sebenarnya aku adalah tipe manusia yang memiliki harapan tinggi, yang bahasa kasarnya sering disebut muka tembok. Maka yang akan terjadi, terjadilah. Sementara yang belum tentu terjadi, bagaimanapun juga harus dihadapi.

Kurasa aku benar-benar akan tumbuh dewasa setelah ini.

"Balqis!" Aku balik menyapa.

Kami cipika-cipiki dan basa-basi singkat. Menanyakan kabar, kerja di mana, dan kapan menikah. Pertanyaan standar yang sudah sangat sering kudengar.

Balqis, aku kenal sekali anak ini meski tidak terlalu dekat.

Saat di sekolah Balqis anak yang sangat aktif, disukai semua guru, dan pintar bicara. Dia anak yang mencolok karena begitu memperhatikan penampilannya. Poninya harus selalu terjepit, pakaiannya harus selalu rapi, dan menyapa hampir semua penghuni sekolah. Walau seperti itu, peringkatnya tidak lebih bagus dariku.

Meski terlihat bodoh dalam segala hal, sebenarnya aku masih memiliki otak yang juga bisa diandalkan.

Pembicaraan basa-basi kami terputus saat Erie datang. Ketika ia masuk ke dalam pembicaraan, dengan sendirinya aku tersingkir. Erie selalu tampak ceria dan lugas, mampu mengimbangi seseorang dengan tipikal Balqis. Cukup tahu diri, aku meninggalkan keduanya agar mereka bisa berbicara lebih leluasa.

Setelah lulus sekolah aku memang jarang ke luar rumah untuk main ke tempat teman, atau nongkrong dan membicarakan cowok, atau melakukan apa pun yang sedang populer. Setelah pulang kerja, ya pulang ke rumah. Malam harinya mendekam di kamar. Menonton film, mendengarkan lagu, main game, membaca novel, atau komik. Hari libur juga sama. Aku bahkan tidak ingat pernah liburan selama 6 tahun ini.

Aku bukan seorang introfert, hikikomori, atau apa pun namanya. Aku juga sangat benci jika disamakan dengan orang-orang setipe itu. Menurutku aku tidak seanti sosial itu, meski aku lebih sering berbicara dengan diriku sendiri dibanding orang lain.

Aku hampir saja melewatkan kelas yang dulunya adalah kelasku karena terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran yang sesungguhnya tidak penting.

Aku berjalan perlahan, menghampiri kelas 3 IPS 1. Aku mencoba membuka pintunya dan ternyata tidak terkunci.

Enam tahun lalu. Sekarang seluruh otakku dibanjiri begitu banyak kenangan masa lalu. Juga tentang dia, Ryota Hamzah.

Meski nama Ryota mirip salah satu grup Jepang Katayose Ryota, tapi itu bukan dia. Ryo juga tidak memiliki darah keturunan Jepang. Ryo murni produk lokal.

Ryo adalah murid pindahan di akhir semester kelas dua. Saat itu logat jawanya masih sangat kental. Anaknya juga sopan dan ramah. Tingginya 175 senti, tapi karena badannya yang kurus, ia terkesan lebih tinggi lagi. Rambutnya hitam legam, lurus, jatuh. Bagiku sangat jarang ada cowok dengan rambut seindah itu. Warna kulitnya kecoklatan khas cowok.

Menurutku, Ryo terlihat paling keren saat dia selesai latihan basket dan berkeringat di mana-mana. Saat ia menundukkan kepalanya dan keringat dari rambutnya yang hitam jatuh menetes.

Mengingat hal itu membuat pipiku panas merona.

Semkin dalam aku memasuki kelas, semakin aliran kenangan itu ditumpahkan dengan deras ke kepalaku. Suasananya, aroma anak cowok yang begitu kental –kelasku saat itu didominasi oleh 75% anak cowok– juga keributannya.

Perasaanku yang mulai dikuasai begitu banyak kenangan, perlahan mempengaruhiku, membuat pikiranku menciptakan imajinasinya sendiri.

Di mulai dengan warna cat dinding yang memudar dari warna yang awalnya biru –saat ini setiap kelas dikreasikan sesuai dengan kreatifitas penghuninya– hingga berwarna putih secara keseluruhan. Putih yang tidak baru, tidak pula terlihat kusam. Kursi-kursi lipat satu paket dengan mejanya juga ikut berubah, menyesuaikan, menjadi meja dan kursi kayu bercat coklat.

Papan tulis pun halnya, ikut tersentuh perubahan. Papan yang awalnya merupakan papan putih, bersih berubah perlahan. Dari sisi sebelah kanan. Seperti sisa bakaran yang melumat sebuah kertas dengan titik-titik apinya. Berubah, hingga kesemuanya menjadi hitam. Bukan papan tulis kosong, karena coretan kaligrafi dengan kapur warna-warni memenuhi papan yang awalnya hitam. Tulisan membentuk kalimat 'XII IPS 1.'

Begitu semuanya sempurna berubah, baik itu hiasan dindingn sampai foto Presiden dan Wakilnya, aku tersadar. Hanya bangunannya saja yang tidak berubah. Semua hal berubah seolah aku berada di tempat yang berbeda sebelumnya.

Apa… 6 tahun itu waktu yang terlampau lama, yang bisa mengubah banyak hal secaraan bersamaan?

"Hajar, kembalikan buku PR-ku!!" Teriakan seseorang menyentak perhatianku.

"Ryo, tangkap!" seru Hajar.

Ryo yang tidak siap dengan operan mendadak dari Hajar melewatkan tangkapannya. Aku yang duduk di belakang Ryo akhirnya harus menerima bahwa kepalaku akhirnya yang menjadi sasaran.

"Maaf, maaf!" Ryo berucap saat mendengarku mengaduh.

Aku tahu itu bukan salah Ryo, tapi aku tetap mendesis padanya. Seharusnya Ryo juga tahu kalau itu bukan salahnya. Karena sudah minta maaf, aku jadi tidak tahu harus bilang apa. 'Iya enggak apa-apa kok.' Haruskah aku bilang seperti itu dengan wajah dimanis-maniskan dan senyum dilebar-lebarkan?

Aku, 'kan bukan tipe semanis itu.

"Hajar, awas kamu, ya!" Akhirnya aku beralih mengancam pelaku sebenarnya.

Jam sedang kosong dan kelas yang didominasi anak laki-laki benar-benar membuat keributan pecah di mana-mana. Ada yang membuat band dengan memukul-mukul meja dan bernyanyi, ada yang bercerita dengan heboh, ada juga yang jahil dan suka menggangu seperti Hajar.

Keributan semakin memekakan saat Hajar yang dikejar Balqis jatuh karena terpeleset. Anak-anak satu kelas menertawakannya, menikmati kesialannya sebagai tontonan yang menggelitik.

Suara decak sepatu tertangkap di sela-sela pendengaranku, di antara keributan yang kelas ciptakan. Pintu ruangan terbuka. Inilah saat di mana guru-guru tidak lagi mentolerir keributan yang terjadi.

"Kak, acara akan segera dimulai. Silakan ke aula!"

Aku telah dibawa kembali ke masa yang sebenarnya. Aku perhatikan sepatu seorang panitia penyelenggara acara yang berdiri di depanku, masih belum sepenuhnya yakin bahwa aku telah kembali berpijak di masa yang benar. Heels putih setinggi 5 senti.

"Kak!"

"Ah, iya." Aku benar-benar telah sadar sekarang "Terima kasih," tambahku dan membiarkan anak yang terlihat lebih muda itu pergi lebih dulu.

Aku ikut keluar tadi tidak lama setelahnya. Sebelum menutup pintu kelas, aku kembali teringat wajah Ryo yang tertawa. Ia masih berada di depan meja tempatku duduk. Tawanya lebar dan pecah. Tanpa beban, ringan.

Cowok itu, sekarang tumbuh menjadi pria seperti apa, ya?

"Aku pasti datang, aku janji!" Kalimat itu kembali mengiang di telingaku.

Rasanya jadi sangat menyedihkan saat berpikir bahwa hanya aku yang menunggunya, yang begitu ingin bertemu. Bahwa mungkin saja dia sudah melupakan janji itu. Bahwa mungkin saja aku sama sekali tidak penting baginya.

"Aku adalah manusia terbodoh sejagat raya, seantariksa. Bodoh sebodoh-bodohnya. Bodoh yang paling bodoh!!" Aku memarahi diriku habis-habisan. Mendesis dengan kesal.

Kenapa aku begitu mudahnya terbuai. Kenapa selama ini aku terjebak dengan kalimat itu begitu dalam? Kenapa ada manusia sepertiku?

Tidak, aku tidak sedang bertanya. Aku hanya sedang menyesalkan diriku yang begitu rapuh, yang begitu bodoh.

Saat aku mengalihkan pandanganku, sebuah senyum yang mengembang terlihat sangat manis. Senyum yang masih seringan tawanya dulu.

Dia mengenakan kemeja putih yang dilapisi sweter tanpa kancing yang semakin ke bawah, semakin gelap warnanya. Kemeja putihnya terlihat jelas dari kerahnya yang menyebul di sekitar leher, dan panjang bagian bawahnya yang kalah bersaing. Lengannya digulung sampai di bawah siku, memamerkan lengan tangannya yang panjang dan kuat.

Tubuhnya tampak berisi namun tidak gemuk. Rambutnya masih hitam legam, pendek, meski kini tidak dibiarkan jatuh. Dia pasti menggunakan banyak gel untuk bisa membuat sebagian rambutnya berdiri.

"Ryo...ta." Bibirku mengucapkan namanya di bawah kendali otakku.

Menatap senyumnya, parasnya, caranya berbicara, membuatku seolah tidak lagi berpijak di bumi. Nyatakah ini? Dia begitu berubah. Tidak ada lagi kesan imut dan manis. Penampilannya dewasa, tanpa kesan tua. Gagah dengan gaya rambut baru dan caranya bersikap. Aku semakin terkesima, terpesona dengan semua hal yang aku lihat padanya.

Jantungku berdegup cepat, dan darahku seolah mendesir. Ada bagian dari diriku yang mencair. Perasaan lega yang sulit kudeskripsikan. Ada begitu banyak rasa yang bercampur aduk. Aku dibuat kacau, tidak tahu harus bagaimana.

Ryo berada di parkiran bersama beberapa teman yang seingatku berada di kelas yang berbeda. Tiga orang perempuan dan seorang laki-laki. Semua berbincang akrab. Wajah Ryo terlihat begitu jelas dari koridor tempatku berdiri. Mereka pasti sedang bernostalgia dengan sesekali dibubuhi pertanyaan sedang sibuk apa, atau tinggal dimana.

Aku ingin segera menghambur untuk menyapa. Kakiku sudah siap melangkah untuk berada lebih dekat dengan orang yang kusukai, bercerita banyak, bertanya ini-itu. Aku hanya perlu melangkah saja dan membiarkan Ryo melihatku.

Tapi… tiba-tiba saja nyaliku menciut. Waktu 6 tahun itu… kini menjadi sangat menakutkan. Seperti ada dinding tak kasat mata yang begitu kokoh dan tinggi di depanku.

"Aina!" Erie yang entah datang dari mana tiba-tiba menepuk bahuku. Sontak aku terkejut. "Ayo, ke aula sebentar lagi acara dimulai!"

"Ii…iya, aku ke sana, sebentar lagi." Aku yang masih belum bisa memulihkan diri dari kedatangan Erie yang mengejutkan, membuatku terlihat seperti maling yang tertangkap basah. Mendadak gagap dan salah tingkah.

"Kamu kenapa?" Erie bertanya sembari tersenyum geli.

'Sial! Apa dia tahu?' Tatapanku berubah menyelidik. Kupicingkan sebelah mataku.

"Aina!" Seseorang memanggilku.

Dipanggil beberapa kali oleh orang yang berbeda, aku merasa seperti akrab dengan banyak teman sebelum ini. Bukan akrab, mungkin lebih tepatnya masih dikenali. Syukurlah, paling tidak mereka masih menganggapku hidup di suatu tempat selama ini.

Ah, suara itu!

Itu suara yang sangat akrab di telingaku. Aku mengenal suara itu. Sangat mengenalnya. Aku bahkan merindukannya. Jantungku kembali berdegup kencang.

"Kalau begitu aku duluan, ya." Erie berlalu masih dengan cengirannya yang mencurigakan.

'Sial, dia benar-benar tahu!'

Masa bodoh dengan Erie, aku kembali fokus pada Ryo.

Ryo memanggilku. Memanggil namaku. Aku berbalik dan berusaha tersenyum senatural mungkin. Tapi bagaimana bisa, jantungku berdetak kencang sekali. Ryo mendekat ke arahku, semakin dekat.

Tidak, tidak! Dia pasti akan mendengar suara jantungku. Oh astaga! Jantungku benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama. Bagaimana ini, bagaimana kalau aku mendadak pingsan.

"Dasar bodoh!" Sebuah suara dari diriku yang lain memekik. "Kamu adalah Nuraina, jangan mempermalukan jagat raya. Jaga sikapmu!"

"Apa kabar?"

Ryo telah berada di depanku. Dia menanyakan kabarku dan... tersenyum. Manisnya..

Dinding pertahanan yang baru saja dibangunkan oleh suara yang mengataiku bodoh, runtuh seketika. Bagaimana bisa aku menguatkan diri di depan orang yang kusukai, di depan orang yang kurindukan.

Kakiku tiba-tiba saja melemas dan hampir terjatuh jika aku tidak segera menyeimbangkan diri dengan berpegangan pada dinding.

"Kamu kenapa?" Ryo yang terkejut dengan reaksiku bertanya khawatir.

"Maaf, maaf!" Aku berusaha mengendalikan diri "Akhir-akhir ini aku kurang darah, jadi sering pusing." Aku mengalihkan wajahku dan menggigit bibir. Kembali memaki kebodohanku.

Satu per satu para alumni memasuki aula. Masih ada beberapa yang berkeliaran. Mereka mengelilingi sekolah. Melihat seberapa jauh perubahannya, dan bagian mana yang sama sekali tidak tersentuh perubahan.

Aku dan Ryo duduk di kursi panjang depan kelas X-A. Aku sudah lebih tenang dan berjanji pada diriku sendiri untuk segera menyingkirkan kebodohanku.

"Aku sudah lama ingin bertemu dengan Aina." Ryo berucap pelan yang hanya cukup didengar olehku. Suaranya lembut.

Sangat menyenangkan mendengar Ryo mengatakan hal seperti itu. Pandanganku tiba-tiba saja berhenti pada jari Ryo. Sebuah cincin melingkar di jari manisnya.

"Aku sudah lama ingin meminta maaf karena tidak bisa memenuhi janji kita." Ryo melanjutkan kalimatnya seolah bisa menebak rasa tanyaku mengenai cincin di jari manisnya.

Ada seseorang yang pernah mendengar suara guntur di siang hari yang terik? Kali ini aku mendengarnya. Atau tiba-tiba duniamu hening dan terdengar pecahan kaca? Aku juga mengalami keduanya sekaligus.

Kalian mungkin sedang berpikir bagaimana mungkin bisa terdengar sekaligus dan bukan salah satunya. Aku sendiri tidak tahu. Tidak mengerti.

Sebelumnya aku tidak tahu seperti apa sakit hati itu, tidak juga bercita-cita merasakannya. Tapi mungkin perasaan terluka yang seperti ini. Ketika harapanmu yang sudah terlanjur menggunung dianggap sampah yang tidak dinginkan. Dibiarkan membusuk.

Aku tidak lagi berani menunduk. Tidak ingin bulir-bulir tumpah dari mataku.

"Aku sungguh menyukaimu, tapi..."

"Jangan mengasihaniku dengan kalimat seperti itu!" Aku memotong, berusaha terlihat kuat. Tapi aku sudah sangat hancur, perasaanku kembali kacau namun kali ini dengan rasa sakitnya.

Inilah luka tanpa darah, lukaku.

Diam. Aku tidak menambahkan kata-kataku dan Ryo tidak menanggapi kalimatku. Keheningan menenggelamkan kami, yang akhirnya menyelesaikan penantianku.

*****

"Kakak bagun!!" Sebuah bantal kurasakan menimpuk wajahku dengan kasar. "Erie masuk saja! Kakakku kalau tidur memang susah bangun. Seperti orang mati."

Telingaku mereaksi suara ketus dari adikku.

"Aina bangun, cepat! Nanti kita terlambat datang ke reuni sekolah."

Kali ini suara berisik Erie yang terdengar. Dia menggoyang-goyangkan tubuhku. Benar-benar memperlakukanku seperti orang mati. 'Dasar Akbar!' Dengan malas aku membuka mataku, menimpuk Erie dengan bantal, dan bangun.

"Iya, iya!"

Erie terlihat akan membalasku tapi tiba-tiba diurungkan rencana balas dendamnya. "Kamu tidur sambil nangis? Mimpi buruk?" tanyanya ingin tahu.

"Mimpi?" Aku mengulang. Aku turun dari ranjang dan berdiri di depan cermin.

Ini diriku sebelum meringkuk dalam selimut. Gaun rajut lengan panjang yang menenggelamkan sampai setengah telapak tanganku, dengan stocking, dan wajah terpoles.

"Ternyata hanya mimpi." Aku bergumam pada diriku sendiri.

Aku menghapus air di sudut mataku dan menyunggingkan senyum. Lega, meski rasa sakitnya masih tertinggal, tapi ini lebih baik.

Tidak perlu kuulangi kalau aku adalah manusia dengan tipe harapan tinggi. Lagi pula aku mendapat pelajaran berharga dari mimpi yang menyakitkan ini.

Perhatikan jari manis tangan kirinya lebih dulu. Lebih baik menghindar jika diajak bicara berdua, dibanding dicampakan dengan dua kali rasa sakit, berpura-pura bersikap bersahabat dan lupa dengan janjinya lebih baik. Berpura-pura kuat mungkin akan lebih menyakitkan, tapi aku adalah Nuraina.

"Ayo, kita berangkat!" kataku pada Erie.

Jika ini bukan cinta aku tidak akan merasa sakit, tidak akan tetap memikirkannya selama 6 tahun ini, tidak akan merindunya. Jika ini benar-benar cinta, akan kutemukan jawabannya setelah bertemu orang itu.

END«(20160128)»

Next chapter