Ditengah kerumunan itu, ketika ia terduduk dengan tangis menyertainya. Sebuah uluran tangan tiba-tiba saja ada di depannya. Suara riuh mendadak hening menatap kejadian itu.
Vellice, perempuan itu mendongak menatap sang empunya. Tangis semakin kencang menderanya. Lengan tangannya ia gunakan untuk menutupi matanya. Suara tangisannya terdengar jelas hingga tempat Lucas berada.
"Sayang, jangan nangis dulu. Jangan nangis disini" ucap laki-laki itu seraya menggendong Vellice.
Kedua tangan Vellice melingkar di leher laki-laki itu. Perempuan itu menyembunyikan wajahnya di cerukan leher laki-laki itu.
"Ssstt, tenang" ucap laki-laki itu.
Tiba-tiba tangan laki-laki itu dicengkram oleh seseorang.
"Turunin! Mau lo bawa kemana Vellice!" seru Gerald.
Laki-laki itu menatap tajam ke arah Gerald. Ia tetap berjalan menuju arah si penulis berada.
"Kalian punya utang sama gue" ucap Lucas, begitu laki-laki itu dan Vellice melintasinya.
Vellice tetap tidak mau melepaskan pelukannya walaupun ia merasa sudah di dudukkan di sofa.
Laki-laki itu menghela nafas karena posisi yang tidak mengenakkan. Ia mengangkat Vellice lagi dan menaruhnya di pangkuannya.
"Udah jangan nangis lagi" ucap laki-laki itu.
"Kamu jahat! Kenapa baru muncul!" seru Vellice.
"Iya-iya maaf, kan udah disini" ucap laki-laki itu.
"Arlannn....." sahut Vellice merengek.
"Iya-iya udah jangan nangis lagi. Astaga Licee" ucap Arlan. Tangannya masih setia mengelus kepala Vellice.
"Bujuk Lucas buat ngadain meet and greet tu sulit banget tahu nggak? Dia bener-bener nggak mau dikenal pembacanya. Akhirnya, sesuai dugaan. Kamu dateng ke acara ini" ucap Arlan.
"Kamu udah ngerencanain ini buat nyari aku?" tanya Vellice.
"Iya lah, satu satunya cara paling efektif buat nemuin kamu" sahut Arlan.
"Kamu kuliah dimana?" tanya Arlan setelah hening beberapa saat.
"Universitas Army" ucap Vellice.
"Jurusan apa?" tanya Arlan.
"Hukum" sahut Vellice.
"Pantesan, berani taruhan buat peringkat satu sama aku. Pinter gini" ucap Arlan menyentil dahu Vellice.
Vellice meringis menunjukkan deretan giginya kepada Arlan. Tentu saja ia berani taruhan karena yakin akan menang.
Sepanjang hari itu mereka terus bebincang di dalam ruangan berukuran 3 x 4 meter. Hingga pada pukul 9 malam. Lucas datang dengan wajah lesunya.
"Sialan, gue susah-susah di luar sana. Capek ngadepin banyak orang. Kalian enak-enak an ya disini! Gara- gara siapa gue kayak gini!" ucap Lucas dengan mata melotot.
Vellice dan Arlan tertawa mendengar kalimat itu.
"Ketawa lagi! Pesen makanan Vel!" seru Lucas.
"Oiya! Kamu belom makan ya!?" seru Arlan panik. Ia bahkan melupakan perutnya karena terus terfokus pada Vellice.
"Udah jam segini anak orang belom lo kasih makan?" ucap Lucas.
Arlan mengabaikan Lucas, ia ikut menatap handphone Vellice yang menampilkan berbagai macam menu makanan.
"Bisa dapet makanan lewat hape?" tanya Arlan. Dahinya mengernyit menatap ada berbagai menu dengan harga tertentu di handphone Vellice.
"Bisa lah! Di tempat kamu emang nggak ada?" tanya Vellice.
"Nggak. Kalau mau beli makanan ya keluar" sahut Arlan.
"Lo kuno banget sih bikin cerita" ucap Vellice pada Lucas.
"Berani nyalahin gue!?" sahut Lucas dengan mata melotot.
"Mata lo tu dijaga! Copot baru tahu rasa!" sahut Vellice ikutan sewot.
"Oiya, handphone kamu kebawa ke sini?" tanya Vellice.
Arlan mengangguk. Vellice langsung tersenyum lebar.
"Minta foto-fotonya!" seru perempuan itu.
"NANTI! PESENIN MAKANAN DULU!" seru Lucas.
"CARI PACAR SANA!" seru Vellice.
"Ngapa jadi pacar?" gumam Lucas.
25ribu view aku tambah extraaa