Seminggu berlalu semenjak kejadian itu. Vellice merupakan anggota BEM KM di kampus. Ia kini disibukkan dengan segala macam urusan untuk menyambut para mahasiswa baru. Tugasnya sebagai sie acara menjadi yang paling sibuk. Saat ini, dirinya sedang terkurung di lantai 3 ruangan BEM KM. Semua orang sibuk mengerjakan sesuatu. Di luar sana ribuan air jatuh menghantam tanah.
Vellice menatap bulir-bulir air. Kepalanya bersandar ke jendela kaca di sampingnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah benda yang terus menempel di leher.Sudah seminggu, tapi tidak ada tanda-tanda sedikitpun kenangan itu akan memudar. Ingin sekali ia mencari penulis novel itu, tetapi dirinya saja tidak mengetahui bagaimana rupa si penulis.
Matanya terus menatap kosong ke arah luar. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Dengan kesibukan ini, memang dirinya sedikit melupakan semua kejadian tidak masuk akal itu. Namun, terkadang dirinya bisa seperti ini. Terhanyut dalam perasaan disela waktu tersibukpun.
"Vel!" Seseorang berseru.
"Vel!" Kini yang lain ikut memanggilnya.
"Vellice!" teriak beberapa orang bersamaan.
Vellice tersentak.Ia merasa ada yang memeluknya dari samping.
"Lo kenapa? Ada masalah apa?" tanya seorang gadis yang memeluknya.
Vellice menggeleng sebagai jawaban.
"Enggak usah ngelak! Liat itu! Mata kamu udah merah. Air mata udah kayak pancuran aja. Enggak berhenti." Kali ini, Presiden Mahasiswa menegurnya dari depan sana.
Vellice refleks menyentuh pipi. Basah.
"A-Ah! Sorry, sorry.”Dirinya segera mengusap wajah dengan lengan baju.
"Kamu ada masalah apa, sih?" tanya PresMa yang kini sudah ada di hadapan. Tangannya mengelus rambut Vellice pelan. Cowok nomor satu di kampus ini memang sangat dekat dengannya. Dia yang selalu membantu ketika berada dalam kesusahan. Alasan? Karena dirinya mirip dengan adik yang kini tiada.
Vellice tidak masalah dengan hal itu. Ia juga tidak akan menyukai ataupun mencintai orang yang lebih tua. Apalagi, kini hanya ada Arlan di hatinya.Mengingat cowok itu lagi, tanpa sadar air matanya kembali meleleh.
"Aku gila. Pasti gila. Bisa-bisanya suka sama tokoh fiksi," rengeknya di sela-sela tangisan.
"Apa? Jadi kamu dari kemarin-kemarin murung cuma gara-gara tokoh fiksi? Dari ribuan novel yang kamu baca itu? Astaga!" ucap si PresMa tak percaya. Cowok itu mengacak rambut heran.
"Iya, kan, Bang? Aku udah gila,‘kan?"
"Banget! Ayo pulang!" seru cowok itu, langsung membawa tas Vellice dan menarik gadis itu keluar.
"Bang Gerald, pelan-pelan!" seru Vellice kesal.
Di perjalanan pulang, berkali-kali Gerald melirik ke arah Vellice yang lagi-lagi melamun.
"Itu buku yang bikin kamu ngelamun terus?" tanya Gerald. Ia menunjuk ke arah novel yang ada di genggaman Vellice.
Vellice menghela napas pelan.
"Besok, penulis buku itu bakal ngadaain meet and greet."
Vellice langsung menoleh ke arah Gerald.
"Seriusan? Di mana?" seru Vellice.
"Perlu Abang ingetin kalau besok ada rapat?" tanya Gerald. Ia menaikkan sebelah alis.
"Enggak peduli! Dimana, Bang? Kok, Bang Ger bisa tahu? Aku aja enggakpernah tahu wajah, penulis ini. Kan, dia anonim. Selalu nyembunyiin muka."
"Tahulah. Pacar Abang juga nge-fans. Tiap hari cerita isi buku itu terus. Tokoh utamanya Anna,‘kan?"
Vellice mengangguk sedih. Raut mukanya kembali murung.
"Besok Abang kesana, tapi bareng pacar. Tahu sendiri, bakalan sampe ratusan orang yang dateng. Gara-gara penulis itu bilang kalau hanya kali ini bakal nunjukin muka. Cih! Songong banget! Cuma penulis aja, bukan artis."
"Katanya ada rapat?" Kali ini Vellice malah membahas rapatnya.
"O, kamu mau rapat?"
"Eggak!" seru Vellice cepat."Aku mau ikutan lihat penulisnya!"
"Hmm, tapi jangan sampe hilang. Abang cuma punya tangan dua."
Vellice mengangguk semangat. "Abang cuma gandeng Kak Reli juga nggak apa apa!" seru perempuan itu.
"Heh! Dibilangin jangan sampe ilang! Harus gandeng Abang terus!".
"Iya, iya." Akhirnya mereka sampai di apartmen Vellice.
"Thanks, Bang!" seru Vellice.
"Cium dulu," goda Gerald sembari tersenyum lebar. Telunjuknya mengetuk pipi.
"Sorry aja, ya! Udah ada yang punya, wleek!" ejek Vellice. Gadis itu segera memasuki gedung."Enggak, enggak. Lo enggak boleh terlalu berharap, Lice! Belum pasti penulis itu tahu jalan keluarnya." Vellice berusaha menyadarkan diri sendiri. Tangannya memukul-mukul kedua pipi."Tapi, enggak ada salahnya juga kalau berharap, ‘kan?"
***
Langit berubah. Suara hiruk-pikuk memenuhi seluruh penjuru kota. Matahari yang bersinar terik memaksa setiap manusia untuk bangun.Begitu juga dengan cowok itu. Ia terbangun bukan karena sinar matahari mengenai, tetapi suara alarm yang memekakkan telinga.Yang tadinya berniat kembali tidur setelah mematikan alarm, ia langsung terduduk tegap begitu menyadari ruangan begitu hampa.
"Lice! Vellice!"Ia langsung berdiri. Mencari gadis itu ke kamar mandi, tetapi tidak ada. "Lice! Jangan bercanda!"Arlan sangat panik. Cowok itu membanting pintu kemudian berlari mengelilingi ruangan."Lice! Vellice! Argh, Lice!” teriak Arlan terus-menerus.Air mata sudah membasahi kedua pipi. Matanya pun memerah.Cowok itu merasa sesak.
Kini, dirinya terduduk di lantai ruang tengah. Menatap puluhan foto Vellice yang ada di dinding. Tangan kanannya terangkat seakan ingin meraih orang yang ada dalam foto tersebut. Cowok itu mulai sesenggukan.Napas memburu seakan tak ada oksigen di sekitar.Teringat sesuatu, Arlan langsung berdiri kemudian kembali menuju kamar. Mengambil handphone dan menelepon seseorang.
"Angkat, angkat,” lirihnya. Saat itulah dering telepon terdengar di kamarnya. Arlan kembali terjatuh ketika melihat tas Vellice masih di sini.
Masih belum menyerah, Arlan langsung meraih kunci mobil dan segera menuju rumah milik Vellice. Begitu sampai di sana, Arlan bergegas ke pintu masuk. Cowok itu berkali-kali teriak memanggil nama Vellice sambil menggedor pintu.
Anna yang membuka pintu. Gadis itu sampai terkejut melihat kondisi Arlan saat ini. Baju kusut, rambut berantakan, serta air mata yang tidak berhenti membasahi pipi.
"Vellice mana?"Arlan bertanya dengan intonasi yang lebih mirip bentakan.
"Di-Di atas, Kak."
Arlan langsung berlari menaiki tangga. Kembali berteriak memanggil gadis itu.
Pintu kamar Vellice terbuka. Sosok Vellice berdiri di sana. Cowok itu langsung menubruk tubuh Vellice. Memeluk erat gadis itu.
“Lice,” lirihnya.
"Hah? Lan, lo udah sadar? Udah suka sama gue?" tanya Vellice beruntun.
"Hah? Apa sih, Lice? Pertanyaan kamu aneh."
"Bukannya lo benci banget sama gue, ya?"
Bahu Arlan semakin bergetar hebat. Tangisan kembali luruh di wajahnya. Perlahan, Arlan melepas pelukan lalu melangkah mundur perlahan. Menatap Vellice dengan miris.
Tidak. Itu bukan Vellice-nya. Itu Vellice yang ia kenal dulu, bukan Vellice yang ia cintai.
"Kenapa, Lan? Lo kenapa nangis? Tumben banget nemuin gue. Bukannya enggak suka. Gue sukalah!" seru si Tokoh Vellice.
"Enggak! Lo bukan Vellice."Arlan terduduk di lantai kemudian bersandar ke dinding.
"Apaan sih, Lan?" ucap Tokoh Vellice bingung.
"Lo kesini bukan mau ngucap bela sungkawa,‘kan? Kalau iya, gue enggak butuh.” Tokoh Vellice ikut terduduk di depan Arlan.
"Bela sungkawa?" tanya Arlan dengan suara serak.
"Iyalah. Kemarin, bokap gue udah enggak ada. Emang lo ngga liat bendera kuning?"
"Hah? Akh!" Sakit kembali merajam kepala cowok itu.
“Enggak! Enggak! Enggak!” Arlan berseru panik. Ia takut ingatannya akan benar-benar menghilang, sesuai ucapan Vellice.Arlan langsung mencari-cari handphone, tapi tidak ada. Hanya ada handphone Vellice. Ah, ia melupakannya.
"Loh, HP gue?" tanya Tokoh Vellice bingung. Bagaimana bisa handphone-nya ada di tangan Arlan? Bahkan, beberapa menit lalu ia sedang memainkan handphone itu.
Arlan langsung membuka handphone Vellice.
"Loh! Kok, sidik jari lo bisa buka HP gue, sih?" tanya Tokoh Vellice lagi.
Arlan langsung menemukan pesan yang dikirim oleh Lucas. Cowok itu langsung menelepon Lucas.Begitu tersambung, Arlan langsung berteriak.
"Enggak! Enggak! Jangan!" seru Arlan.
Sementara Lucas yang sedang mengetik langsung terhenti.
"Please, jangan!"lirih Arlan.
"Lima belas menit. Kalau lo bisa sampe depan gue sekarang, mungkin gue bisa berubah pikiran."
Setelah itu Arlan langsung bangkit dan berlari keluar.
"Lan, HP gue!" teriak Tokoh Vellice.
Arlan tak peduli. Ia langsung berlari pergi. Ia mengingat tadi dirinya melihat teman-teman Lucas di taman perumahan ini. Dengan mobilnya, Arlan langsung menuju taman tersebut. Tangannya membuka mobil dengan tidak sabar kemudian langsung berlari ke arah para muda-mudi yang berkumpul.
"Lucas di mana?" bentak Arlan, membuat mereka kebingungan. Apalagi Arlan berteriak dengan muka merah.
“Lo kenapa, sih?” sahut Seno yang bingung dengan raut Arlan.
“Cepetan!”
“Enggak tahu. Tadi bilang ke kita lagi males keluar.”
“Alamat rumah? Apartemen?” Tangannya sekarang sudah menarik lengan Seno untuk berdiri. “Anterin!”
Akhirnya, Seno, Johan, dan Aldi mengikuti Arlan. Bukan karena apa, tapi mereka pikir sepertinya ada hal penting, melihat Arlan yang terus berteriak dari tadi.
"Argh, kenapa macet, sih?" geram Arlan. Cowok itu sampai memukul kemudi.
Dua menit Arlan bersabar, tapi mobilnya hanya berjalan 2 meter.
"Turun! Turun!" teriak Arlan, memaksa Johan, Aldi, dan Seno untuk turun.
"Heh! Mobil lo bikin tambah macet bego!" Johan berseru.
"Bodo amat! Cepetan! Lari!"
Arlan berlari. Lagi-lagi tangan Seno yang ia pegang. Memaksa cowok itu untuk berlari cepat menyamainya.
"Enggak usah gandeng gue juga, Bego!" kesal Seno.
"Entar lo lemot!"
Dua temannya saja masih berada 5 meter di belakangnya.
"Enggak! Lo pikir gue banci?"
"Cepetan!" seru Arlan lagi.
"Lagian ada apaan, sih!"Johan berhasil menyamai Arlan dan Seno.
Mereka berlari kencang. Menyebrang sembarangan sehingga banyak yang meneriaki. Arlan dan ketiga teman cowok Lucas berhasil tiba di apartemen Lucas.
Arlan memukul pintu Apartemen Lucas dengan kencang.
"Sisa 10 detik."Lucas tersenyum miring saat membuka pintu.
"Lo bikin masalah apa, sih, Cas, sama nih, anak?"tanya Seno heran.
"Thanks. Kalian pergi aja, ya. Oke? Oke?"Lucas menarik tangan Arlan dan segera menutup pintu.
Arlan langsung duduk di sofa. Matanya tak sengaja menatap laptop Lucas.
"Lo yang nulis dunia sialan ini?" tanya Arlan.
"Hmm."
"Bego banget, sih! Bisa-bisanya nulis kaya gini! Vellice kenapa tokohnya lo bikin gitu?"Tangannya memukul kepala Lucas.
"Ya, namanya pembaca. Butuh sedih-sedih juga." Lucas membela diri.
"Terus ini gimana? Awas aja lo bikin gue hilang ingatan! Enggak ada gitu-gituan."
"Gue belom nemu cara, Bego! Gue juga enggak bakal bisa keluar sebelum masalah beres.”
"Ya, terus gimana? Salah lo, ‘kan?”
"Heh, kalau cerita gue enggak ada, lo juga engga ada, ya.” Lucas tidak bisa menahan diri untuk tidak kesal kepada cowok itu.
Akhirnya, semalaman mereka saling berdebat. Sama-sama mencari penyelesaian mengenai masalah ini. Bahkan saat pagi tiba, Lucas yang pertama kali bangun langsung terkejut begitu melihat Arlan yang tertidur di sampingnya.
"Heh!" seru Lucas. Ia refleks menendang tubuh Arlan hingga terjatuh dari kasur.
"Lo gila, ya!" seru Arlan.
"Pulang sana! Lo enggak sekolah?"
"Anterinlah!" Setelah itu, ia menunggu Lucas mandi dan bersiap.
Lucas juga dengan malas-malasan mengantarkan Arlan
"Apartemen lo dimana, sih?"
"Lo enggak tahu? Katanya yang nulis lo." Arlan mencibir.
"Ya, mana gue tahu jalannya, Ogep."Lucas berdecak. "Di sini?" tanyanya.
Mereka berada di depan gedung apartemen Arlan.
"Ikutan!" seru Arlan. Cowok itu bahkan mengawasi Lucas agar tidak kabur. Ia membawa Lucas menuju apartemen.
"Wah, gila. Gue cuma baca di tulisan, tapi lo segila ini? Ini, mah, udah bukan tingkatan suka." Lucas terperangah begitu melihat apartemen Arlan yang penuh foto Vellice.
"Lo yang bikin gue enggak bisa inget Vellice kalau lagi enggak liat muka dia, ‘kan?"
"Cih, itu juga biar lo nyerah! Tahunya enggak nyerah-nyerah sampai sekarang."
"Enggaklah!" Arlan berseru. "Tungguin! Sana maen PS dulu!" Tangannya menunjuk playstasion.
"Iya, iya!"
Arlan langsung memasuki kamar, menyiapkan barang sebanyak mungkin, terutama yang berhuhungan dengan Vellice.
"Lo ngapain, sih! Udah telat, Bego!" teriak Lucas tiga puluh menit kemudian. Ia memang bertanya dengan nada marah, tapi dirinya masih sibuk main.
"Iya, udah!"Arlan keluar kamar.
"Lo gila? Mau kemana, Bego? Bagaimana tidak terkejut? Ia melihat Arlan membawa koper besa.
"Mulai sekarang, gue udah memutuskan buat tinggal sama lo!"
"Heh, enggak usah aneh-aneh!"
Namun, Arlan mengabaikannya. Ia malah mengambil bingkai-bingkai berisi foto Vellice kemudian memasukkannya ke koper.
"Astaga, lo mau tinggal dimana? Apalagi ini. Yang lo bawa semuanya foto!"
"Bodo amat. Ayo!" Arlan langsung melangkah keluar, tidak peduli betapa hebohnya Lucas melihat barang bawaan cowok itu.
Dari situlah awal mula perjalanan mereka untuk menemukan jalan keluar.
***
Hi guys! Jika menyentuh 20ribu pembaca aku akan update chapter bonus!!!